Aku tidak tahu kenapa aku bisa berada di sini. Yang
kuingat, ketika aku membuka mata dan terbangun, aku melihat sosok wanita
setengah baya sedang menggendong bocah laki-laki sambil menyuapi makan
seorang anak perempuan. Wanita itu bertubuh ramping dan sederhana. Paras
cantiknya tertutup oleh guratan-guratan di pipinya yang tampak lelah. Matanya
yang sayu dihiasi oleh lingkaran hitam di sekelilingnya. Wanita itu, Ibu
Fatimah. Beliau seorang kepala Panti Asuhan Cempaka yang tak lain dan tak bukan
adalah tempat tinggalku. Kembali ke pernyataanku sejak awal, aku tidak tahu
kenapa aku bisa berada disini. Di Panti Asuhan Cempaka, bersama puluhan anak
yang kurasa senasib denganku. Terbuang. Tersisihkan.
Kami memang penghuni panti asuhan, tapi bukan berarti kami tidak sekolah. Usiaku dua belas tahun, kini aku duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Tentu saja Ibu Fatimah yang menyekolahkan kami, mungkin tanpa beliau kami hanya luntang luntung di jalanan. Lagi-lagi pikiranku tidak bisa terlepas dari pertanyaan, kenapa aku bisa berada disini? Dirawat oleh seorang wanita yang kupikir adalah Ibuku, namun tidak mirip denganku. Bertemu dengan banyak orang setiap hari, yang kukira sejak awal mereka ada saudara kandungku. Menyedihkan. Aku bahkan tidak tahu siapa Ibu kandungku. Atau mungkin semua ini rencana Tuhan untuk menempatkanku di Panti Asuhan Cempaka bersama Ibu Fatimah? Jadi sebenarnya darimana asalku? Dari rahim siapa aku dilahirkan? Itu menjadi sebuah tanda tanya yang besar untukku.
Tinggal di Panti Asuhan, kedengarannya sangat menyedihkan. Tapi kenyataannya itu tidak seburuk kedengarannya. Aku merasa bahagia hidup disini, bersama Ibu Fatimah dan saudara-saudaraku yang lain. Aku tidak merasa kekurangan, bagiku untuk makan dan sekolah saja itu sudah cukup. Karena yang kudengar, donatur panti asuhan kami lumayan banyak. Disini Ibu Fatimah memang tidak bekerja sendiri, namun beliau-lah yang lebih sering turun tangan untuk merawat kami.
“Sarah, kau sudah mengerjakan tugas sekolahmu belum?” tanya Ibu Fatimah ketika aku sedang menonton televisi di ruang tengah.
“Belum, Bu. Akan aku kerjakan setelah film kesukaanku selesai” jawabku tanpa menoleh dari layar kaca itu.
“Lebih baik kau kerjakan sekarang. Sekarang sudah jam delapan, pasti sebentar lagi kau mengantuk” ujarnya.
Aku mengangguk dan segera mematikan televisi. Lalu Ibu Fatimah menghampiriku dan menepuk bahuku pelan.
“Maaf mengganggu kesenanganmu, Ibu hanya tidak mau kau melalaikan kewajibanmu” kata Ibu Fatimah bijak.
Bukan hal yang mudah untuk saling mengerti sesama penghuni panti. Aku sadar tinggal satu atap bersama puluhan orang dengan sifat yang berbeda itu tidak selamanya tentram. Terkadang ada saja yang diributkan dan berakhir dengan pertengkaran. Kalau sudah begini, pasti Ibu Fatimah yang turun tangan menyelesaikannya. Butuh kesabaran yang ekstra untuk merawat kami, apalagi terkadang kami suka melanggar peraturannya.
Salah satu peraturan di Panti Asuhan ini adalah jam malam. Kami tidak boleh keluar malam dan harus berada di rumah sebelum magrib, selambat-lambatnya jam tujuh malam. Tapi saat itu aku pernah melanggar jam malamnya, dan aku sangat menyesal telah melakukan itu.
Saat itu salah satu teman sekelasku, Gina, berulang tahun. Ia mengajak kami untuk makan di salah satu restoran fast food bersama orangtuanya. Aku yang memang belum memiliki handphone, tidak menghubungi Ibu Fatimah untuk meminta izin. Aku terlalu asyik menikmati acara itu. Sekitar pukul delapan malam, aku diantar pulang oleh orangtua Gina dan tiba di panti pukul setengah sembilan malam karena jalanan macet. Yang kuingat saat itu para penghuni panti menyambutku dengan raut wajah mereka yang penuh kelegaan. Tapi aku tidak menemukan sosok yang aku cari, Ibu Fatimah. Katanya, Ibu Fatimah sedang pergi mencariku. Tadi ia sempat ke sekolahku untuk memastikan aku sudah pulang atau belum, tapi ternyata aku tidak ada. Ibu Fatimah bingung harus menghubungi siapa, dan kini ia pergi entah kemana.
Tepat pukul sembilan malam, kudengar suara motor berhenti di halaman panti. Ibu Fatimah sudah pulang. Aku langsung berlari keluar untuk menemuinya dan meminta maaf padanya. Aku benar-benar merasa bersalah karena sudah membuat beliau khawatir. Aku berdiri di depan pintu dan menatap sosok Ibu Fatimah yang berjalan mendekat. Wajahnya tampak muram, kesal dan lelah. Aku bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Ibu Fatimah kepadaku. Beliau pasti akan menamparku, atau memarahiku dengan keras. Ibu Fatimah berhenti tepat di depanku dan menarikku. Aku memejamkan mataku dan siap dengan apa yang akan kuterima, namun aku terkejut, Ibu Fatimah menarikku dalam pelukannya dan mengelus kepalaku.
“Tolong jangan buat Ibu khawatir, Ibu tidak bisa membayangkan bila terjadi sesuatu padamu. Ibu senang kau baik-baik saja” nada suaranya yang getir membuat airmataku jatuh.
“Maaf aku sudah merepotkan Ibu, aku janji tidak akan mengulanginya” Isakku dalam pelukannya.
Ibu Fatimah menatapku dan berkata, “Mungkin aku memang ditakdirkan untuk tidak memiliki seorang anak dari rahimku, tapi aku memiliki tanggung jawab yaitu kalian”
Aku terharu mendengar kata-kata Ibu Fatimah, aku mempererat pelukanku dan membenamkan wajahku di bahunya.
Kami memang penghuni panti asuhan, tapi bukan berarti kami tidak sekolah. Usiaku dua belas tahun, kini aku duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Tentu saja Ibu Fatimah yang menyekolahkan kami, mungkin tanpa beliau kami hanya luntang luntung di jalanan. Lagi-lagi pikiranku tidak bisa terlepas dari pertanyaan, kenapa aku bisa berada disini? Dirawat oleh seorang wanita yang kupikir adalah Ibuku, namun tidak mirip denganku. Bertemu dengan banyak orang setiap hari, yang kukira sejak awal mereka ada saudara kandungku. Menyedihkan. Aku bahkan tidak tahu siapa Ibu kandungku. Atau mungkin semua ini rencana Tuhan untuk menempatkanku di Panti Asuhan Cempaka bersama Ibu Fatimah? Jadi sebenarnya darimana asalku? Dari rahim siapa aku dilahirkan? Itu menjadi sebuah tanda tanya yang besar untukku.
Tinggal di Panti Asuhan, kedengarannya sangat menyedihkan. Tapi kenyataannya itu tidak seburuk kedengarannya. Aku merasa bahagia hidup disini, bersama Ibu Fatimah dan saudara-saudaraku yang lain. Aku tidak merasa kekurangan, bagiku untuk makan dan sekolah saja itu sudah cukup. Karena yang kudengar, donatur panti asuhan kami lumayan banyak. Disini Ibu Fatimah memang tidak bekerja sendiri, namun beliau-lah yang lebih sering turun tangan untuk merawat kami.
“Sarah, kau sudah mengerjakan tugas sekolahmu belum?” tanya Ibu Fatimah ketika aku sedang menonton televisi di ruang tengah.
“Belum, Bu. Akan aku kerjakan setelah film kesukaanku selesai” jawabku tanpa menoleh dari layar kaca itu.
“Lebih baik kau kerjakan sekarang. Sekarang sudah jam delapan, pasti sebentar lagi kau mengantuk” ujarnya.
Aku mengangguk dan segera mematikan televisi. Lalu Ibu Fatimah menghampiriku dan menepuk bahuku pelan.
“Maaf mengganggu kesenanganmu, Ibu hanya tidak mau kau melalaikan kewajibanmu” kata Ibu Fatimah bijak.
“Aku mengerti, Bu. Terima kasih sudah
mengingatkanku” jawabku sambil tersenyum.
“Baiklah, kalau kau kesusahan kau bisa minta tolong
pada Kak Rani. Dia pasti akan membantumu”
Kak Rani adalah saudaraku yang paling tua. Ia duduk
di kelas dua SMA dan sering membantu kami mengerjakan tugas. Aku beranjak dari
televisi dan berjalan menuju kamarku.
Bukan hal yang mudah untuk saling mengerti sesama penghuni panti. Aku sadar tinggal satu atap bersama puluhan orang dengan sifat yang berbeda itu tidak selamanya tentram. Terkadang ada saja yang diributkan dan berakhir dengan pertengkaran. Kalau sudah begini, pasti Ibu Fatimah yang turun tangan menyelesaikannya. Butuh kesabaran yang ekstra untuk merawat kami, apalagi terkadang kami suka melanggar peraturannya.
Salah satu peraturan di Panti Asuhan ini adalah jam malam. Kami tidak boleh keluar malam dan harus berada di rumah sebelum magrib, selambat-lambatnya jam tujuh malam. Tapi saat itu aku pernah melanggar jam malamnya, dan aku sangat menyesal telah melakukan itu.
Saat itu salah satu teman sekelasku, Gina, berulang tahun. Ia mengajak kami untuk makan di salah satu restoran fast food bersama orangtuanya. Aku yang memang belum memiliki handphone, tidak menghubungi Ibu Fatimah untuk meminta izin. Aku terlalu asyik menikmati acara itu. Sekitar pukul delapan malam, aku diantar pulang oleh orangtua Gina dan tiba di panti pukul setengah sembilan malam karena jalanan macet. Yang kuingat saat itu para penghuni panti menyambutku dengan raut wajah mereka yang penuh kelegaan. Tapi aku tidak menemukan sosok yang aku cari, Ibu Fatimah. Katanya, Ibu Fatimah sedang pergi mencariku. Tadi ia sempat ke sekolahku untuk memastikan aku sudah pulang atau belum, tapi ternyata aku tidak ada. Ibu Fatimah bingung harus menghubungi siapa, dan kini ia pergi entah kemana.
Tepat pukul sembilan malam, kudengar suara motor berhenti di halaman panti. Ibu Fatimah sudah pulang. Aku langsung berlari keluar untuk menemuinya dan meminta maaf padanya. Aku benar-benar merasa bersalah karena sudah membuat beliau khawatir. Aku berdiri di depan pintu dan menatap sosok Ibu Fatimah yang berjalan mendekat. Wajahnya tampak muram, kesal dan lelah. Aku bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Ibu Fatimah kepadaku. Beliau pasti akan menamparku, atau memarahiku dengan keras. Ibu Fatimah berhenti tepat di depanku dan menarikku. Aku memejamkan mataku dan siap dengan apa yang akan kuterima, namun aku terkejut, Ibu Fatimah menarikku dalam pelukannya dan mengelus kepalaku.
“Tolong jangan buat Ibu khawatir, Ibu tidak bisa membayangkan bila terjadi sesuatu padamu. Ibu senang kau baik-baik saja” nada suaranya yang getir membuat airmataku jatuh.
“Maaf aku sudah merepotkan Ibu, aku janji tidak akan mengulanginya” Isakku dalam pelukannya.
Ibu Fatimah menatapku dan berkata, “Mungkin aku memang ditakdirkan untuk tidak memiliki seorang anak dari rahimku, tapi aku memiliki tanggung jawab yaitu kalian”
Aku terharu mendengar kata-kata Ibu Fatimah, aku mempererat pelukanku dan membenamkan wajahku di bahunya.
***
Waktu berjalan begitu cepat sampai tiba saatnya aku
menghadapi Ujian Nasional. Dengan berbekal ilmu pengetahuan yang kupunya, aku
merasa siap mengikuti ujian itu. Aku mengikuti Ujian Nasional selama tiga hari,
setelah itu aku dan Ibu Fatimah sibuk mengurusi berkas-berkas yang diperlukan
untuk pendaftaran di SMP negeri favoritku. SMP itu letaknya cukup jauh dari
tempat tinggalku, namun kualitas sekolahnya benar-benar bisa diacungkan jempol.
Tidak sembarang orang bisa diterima di SMP itu, rata-rata nilai di rapot
minimal tujuh koma lima. Aku merasa cukup percaya diri karena nilai rapotku
diatas rata-rata tapi aku masih harus banyak belajar lagi untuk menghadapi
ujian tes masuk.
Beberapa minggu kemudian, sekolahku mengadakan
acara perpisahan siswa siswi kelas enam sekaligus pengumuman kelulusan.
Acaranya diadakan di sekolah dan orangtua murid diwajibkan datang mendampingi
putra putrinya. Pagi itu aku sudah siap mengenakan baju batik dan sepatu
pantofelku. Toga beserta jas wisuda sudah terususun rapi di tasku dan siap
kugunakan saat acara pelepasan nanti. Aku menunggu Ibu Fatimah yang tak kunjung
keluar. Kulirik jam tanganku, pukul delapan, acara akan dimulai satu jam lagi.
“Ibu, Apa Ibu sudah siap?” Tanyaku sedikit
berteriak. Namun tidak terdengar jawaban.
Kucoba memanggil Ibu Fatimah sekali lagi, barulah
wanita setengah baya itu keluar agak tergesa-gesa.
“Maafkan Ibu, Sarah. Sepertinya Ibu masih ada
sedikit urusan yang harus diselesaikan. Kau berangkat duluan saja, nanti Ibu
menyusul” Sahut Ibu Fatimah.
Dengan sedikit rasa kecewa akhirnya aku berangkat
menuju sekolah seorang diri. Namun segera kutangkis perasaan itu karena hari
ini adalah hari yang aku tunggu. Sampai di sekolah, aku bertemu dengan beberapa
temanku dan orangtua mereka. Kami berjalan menuju aula sekolah dan duduk di
bangku yang sudah disiapkan. Tempatnya memang sederhana namun suasananya
meriah. Satu jam kemudian acara pun dimulai. Aku menoleh dan mendongakkan
kepalaku mencari sosok Ibu Fatimah diantara ratusan orang di ruangan ini.
Kenapa Ibu belum datang? Aku hanya bisa mendengus dan kembali memerhatikan
Kepala Sekolah yang sedang memberi sambutan.
Beberapa kali aku pergi keluar aula untuk mencari
Ibu Fatimah, aku terlihat gelisah dan membuat teman-temanku bingung. Sampailah
pada acara puncak yaitu pengumuman kelulusan dan acara pelepasan. Kami mulai
memakai jas wisuda dan toga kami. Perasaanku campur aduk, antara gugup dengan
hasil ujianku dan memikirkan Ibu Fatimah yang tak kunjung datang.
“Baiklah untuk kesempatan kali ini, saya akan
mengumumkan hasil Ujian Nasional siswa siswi SDN Cendekia. Satu hal yang sangat
membanggakan, karena diantara siswa siwi SDN Cendekia, ada seorang siswi yang
berhasil mencapai nilai tertinggi di Kabupaten Bekasi dengan rata-rata sembilan
koma tiga atas nama Sarah Chairunnisa!”
Seketika semua orang di ruangan itu menoleh ke
arahku. Aku membelalakkan mataku dan membatu. Kenapa namaku disebut? Benarkah
itu aku? Atau Sarah yang lain? Benarkah itu aku? Yang mendapat nilai tertinggi
se-Kabupaten? Otakku terus bertanya-tanya dan jantungku berdegup cepat. Puji
syukur, aku benar-benar tidak menyangka bisa mendapat nilai tertinggi.
“Untuk Sarah, silahkan maju ke depan untuk
memberikan kesan dan pesan kepada Bapak dan Ibu guru serta tamu undangan yang
telah hadir di ruangan ini” lanjut Bapak Kepala Sekolah.
Dengan gugup aku maju ke audience dan memberanikan
diriku menatap para tamu undangan di depanku. Yang pertama kali terlintas di
benakku adalah Ibu Fatimah. Dimana beliau? Apakah beliau ada disini? Melihatku
berdiri di depan dengan togaku? Mataku terus berputar mencari sosok itu, namun
tidak kutemukan. Tiba-tiba dadaku terasa sesak, airmataku menetes begitu saja
membasahi pipiku. Mungkin orang-orang mengira aku menangis karena terharu, tapi
kenyataannya aku menangis karena orang yang benar-benar aku harapkan tidak
hadir disini. Padahal aku ingin melihat beliau disini, tersenyum bangga
karenaku. Berdiri dan memberikan tepuk tangannya untukku. Aku mengharapkan itu.
Mengharapkan beliau ada disini sebagai orangtuaku, sebagai Ibuku. Sedih sekali
melihat teman-temanku di damping oleh kedua orangtuanya, sedangkan aku? Dimana
orangtuaku? Dimana Ibu Fatimah yang berjanji akan datang menyusulku?
Aku tidak tahu harus berkata apa, aku hanya
menunduk melanjutkan tangisku sambil memegang microfon di genggamanku.
Aku mendongakkan kepala dan melihat semua mata yang tertuju kepadaku. Akhirnya dengan
berat aku coba membuka mulut dan berbicara.
“Terima kasih banyak atas bimbingan Bapak dan Ibu
guru yang dengan sabar mendidikku hingga aku bisa jadi seperti sekarang ini.
Tak banyak yang bisa aku ucapkan, aku hanya ingin…Ibuku berada disini dan melihatku”
suaraku terdengar sangat getir, aku hanya berbicara apa yang terlintas di
pikiranku saat itu. Tangisku pecah, rasa kecewa seakan-akan bertumpuk dalam
benakku. Aku meletakkan microfon
di meja dan berlari meninggalkan aula. Beberapa guru dan temanku terdengar
memanggilku bahkan mengejarku. Namun aku terus berlari sampai tujuanku, Ibu
Fatimah.
Sekolahku memang tak jauh dari tempat tinggalku.
Sebuah papan bertuliskan “Panti Asuhan Cempaka” mulai terlihat, aku mempercepat
langkahku dan membuka pintu panti. Para penghuni panti yang sedang berada di
ruang tengah terkejut melihatku.
“Ibu di mana?” tanyaku serak.
“Ibu ada di kamar Sandi” jawab Nina, salah satu
penghuni panti.
Aku berlari menuju kamar Sandi, dan mendapatkan Ibu
Fatimah disana. Beliau sedang menggendong Sandi yang tampak lemah sambil
mengelus kepalanya. Ibu Fatimah tersadar akan kehadiranku dan tampak terkejut.
Aku memandang Ibu Fatimah penuh kekecewaan dan kekesalan.
“Sarah…?”
“Kenapa Ibu tidak datang?”
Ibu Fatimah terdiam, raut wajahnya terlihat sedih.
“Kenapa Ibu tidak menyusulku?”
“Maafkan Ibu, Nak. Tapi…”
“Ibu tahu kan hari ini adalah hari yang berharga
untukku? Kenapa Ibu tidak mendampingiku?” aku meninggikan nada suaraku dan
terus menangis.
“Dengarkan Ibu dulu, Nak. Ibu tidak bisa
mendampingimu karena Sandi sedang sakit. Dia masih balita, Ibu tidak bisa
meninggalkannya sendirian. Suhu tubuhnya panas sekali” jawab Ibu Fatimah.
“Kenapa Ibu tidak bisa membagi waktu Ibu untukku
sebentar saja? Andaikan aku punya Ibu kandung yang bisa memberi perhatian lebih
kepadaku!” sahutku sedikit keras lalu berlari menuju kamarku. Aku benar-benar
kecewa, aku hanya ingin didampingi, seperti teman-temanku yang lain.
Cukup lama aku berada di dalam kamar sampai
akhirnya kudengar pintu kamarku terbuka. Ibu Fatimah masuk dan menghampiriku
yang sedang duduk di ranjang.
“Ibu minta maaf karena tidak datang mendampingimu.
Ibu tahu bagaimana rasanya menjadi dirimu. Maafkan Ibu karena sudah
menghancurkan hari terbaikmu. Maaf, bukannya Ibu tidak membagi waktu untukmu,
tapi mereka juga tanggung jawab Ibu. Ibu tidak bisa meninggalkan mereka begitu
saja disaat mereka membutuhkan Ibu. Itu bukan berarti Ibu tidak menyayangimu.
Maaf, mungkin peran Ibu tidak seperti seorang Ibu yang sebenarnya. Yang ada di
sampingmu setiap kali kau butuh. Ibu hanya mencoba menjadi yang terbaik untuk
kalian, Ibu harap kau mengerti” ujar Ibu Fatimah panjang lebar.
Kata-kata barusan seakan-akan memukul hatiku. Aku
sadar ternyata aku egois. Aku hanya memikirkan diriku sendiri tanpa tahu betapa
sulitnya Ibu Fatimah merawat kami. Aku langsung memeluk Ibu Fatimah dan
menumpahkan semua rasa gundahku disana. Seperti biasa, Ibu Fatimah mengusap
punggungku dan membuatku nyaman.
“Tadi ada orangtua temanmu yang menelepon ke panti,
Ibu dengar kau mendapat nilai tertinggi se-Kabupaten? Selamat ya Sarah, Ibu
sangat bangga padamu. Tapi ingat, jangan pernah puas dengan apa yang sudah kau
dapatkan” kata Ibu Fatimah.
“Iya Ibu, maafkan aku telah bersikap egois dan
membentak Ibu tadi. Aku tahu aku masih belum bisa mengendalikan emosiku. Aku
sangat bersyukur memilikimu, Ibu” jawabku sambil terisak.
Ibu Fatimah tersenyum dan mengusap airmataku, aku
benar-benar menyesal telah melakukan hal bodoh tadi. Mungkin Ibu Fatimah memang
bukan Ibu biologis-ku, tetapi aku benar-benar menyayanginya seperti Ibuku
sendiri. Karena beliau orangtua satu-satunya yang kupunya.
Terima kasih karena sudah mendidikku dengan sabar
hingga aku menjadi seseorang. Aku sangat menyayangimu, Ibu. Mungkin aku memang
ditakdirkan untuk tidak mengetahui siapa Ibu kandungku, tapi aku tidak sendiri,
aku masih memilikimu, Ibu Fatimah.
(Cerpen ini berhasil memenangkan juara pertama
dalam kompetisi menulis "Dari Bekasi Untuk Ibu" yang diadakan oleh KCB)
No comments:
Post a Comment