Daydreaming. Melamun.
Mungkin saja satu hal kecil yang seringkali dianggap sepele untuk sebagian
orang, saya pun pernah begitu. Tapi akhir-akhir ini, saya baru menyadari makna
dari sebuah lamunan. Siapa sangka? Lamunan itu membuat saya berjalan semakin
jauh, menaiki anak tangga semakin tinggi, hingga nyaris mencapai mimpi.
Baiklah, awalnya saya tidak
menganggap hal ini sebuah mimpi, tapi hal inilah yang seketika muncul dalam diri
saya, seolah mendesak masuk dalam benak hingga akhirnya saya ingin
mewujudkannya.
Menjadi seorang penulis.
Ya, kedengarannya memang muluk
sekali. Awalnya saya tidak pernah berpikir akan menjadi seorang penulis, yang saya tahu,
saya menyukainya. Berkhayal, berfantasi, bercerita, merangkai kata, hingga
menyatukannya, saya pikir itu adalah hal yang sangat sederhana.
Tentang menulis, syaa memang
mulai menulis sejak duduk di kelas dua SD. Berawal dari diari. Saya masih
menyimpan diari itu dan belum lama ini saya baca kembali, rasanya awkward luar
biasa. Tapi dari situlah, tanpa sadar saya menuangkan seluruh pikiran dan
khayalan yang terlintas di benak dalam sebuah tulisan. Di kelas tiga
SD, ayah mulai mengijinkan saya untuk menggunakan komputer -yang saat itu masih
sangat modern bagi saya-tentu adalah kesempatan emas, meski saya hanya paham
menggunakan Ms.Word dan Paint. Saya menulis banyak hal disana, apa pun, yang
saya alami. Layaknya laman Ms.Word adalah sebuah diari bagi saya. Dengan
terbata-bata, saya menghafal tiap barisan keyboard untuk
melancarkan jemari saya bermain di atasnya.
Semakin lama, saya mulai
menulis tentang hal yang lain. Saya membuat cerita yang memang masih sangat
sederhana. Hanya terdiri dari satu paragraf dan saya beri font warna-warni
agar menarik. Sejak saat itu, saya mengenal apa itu cerpen. Saya selalu
menanti saat-saat ayah mengajak saya ke toko buku untuk memborong banyak
kumpulan cerpen dan antologi. Jujur, saya tidak terlalu tertarik dengan buku
dongeng. Namun dengan fiksi, saya begitu menggilainya.
A good writer begins from a
good reader.
Saya pikir pepatah itu benar.
Ketika kita telah membaca
banyak buku, meresapinya, mengambil maknanya, belajar pengolahan kata dan
pemakaian bahasanya, kita seperti mananamkan modal dalam diri kita untuk
membuat suatu cerita. Setelah saya pikir modal bacaan saya sudah
'lumayan', saya mulai menulis cerpen lebih banyak lagi. Sehari bisa dua cerpen
yang saya buat. Saya print semua cerpen itu dan dijilid.
Dengan polosnya, cerpen itu saya bawa ke sekolah untuk ditunjukkan kepada
teman-teman.
Saat itu, saya pikir
cerpen-cerpen itu akan diabaikan, mungkin tidak ada yang mau membacanya, tapi
ternyata... teman-teman justru berebut untuk meminjamnya. Saat itu saya
mulai membuka mata, bahwa saya benar-benar menemukannya. Menemukan hal yang
saya suka dan juga disukai oleh orang lain.
Saya pun kembali menulis,
karena dorongan kuat dalam hati saya. Saya membuat lebih banyak cerpen hingga
beberapa seri.
Rasanya begitu puas melihat
orang lain menikmati karya kita, hingga mengukir tawa dan senyuman karenanya.
Hal itu adalah satu kepuasan
sendiri untuk saya. Sejak itu, fiksi adalah bagian dari hidup saya.
Beranjak SMP, saya mulai
mengenal yang namanya teenlit. Kali ini, makanan saya bukan
kumpulan cerpen anak lagi, melainkan novel bertema remaja itu. Teenlit pertama
yang saya baca berjudul A Little White Lie. Saya begitu
menikmatinya, yang mana penulis membuat alur secara mengalir hingga saya selalu
menyempatkan diri untuk membuka lembar hingga halaman terakhir. Saya membaca
dan membayangkan, seakan setiap adegan yang tergambar membuat saya melihat
langsung tokoh-tokoh di dalamnya. Saya mulai membaca novel lebih banyak lagi
dan menikmati gejolak menyenangkan dalam diri saya.
Tapi ketika SMA, saya
merasakan hal yang lain. Saat membaca novel, entah kenapa saya ingin sekali
menciptakan cerita sendiri. Saya ingin membuat alur, tokoh, setting dan seluruh
nilai dalam cerita itu dengan cara saya sendiri. Hingga akhirnya terbersit
dalam pikiran saya, saya ingin menulis novel.
Saya mulai menulis, apa pun,
sesuai yang saya inginkan dan bayangkan. Sayamulai membuat alur cerita secara
spontan tanpa memikirkan bahasa yang saya gunakan. Namun karena
saya belum bisa mengatur waktu dengan baik, mungkin juga karena pikiran saya
yang buntu dan rasa malas-yang seperti iblis-sering kali datang, saya tak lagi
melanjutkan draft novel itu.
Sekitar empat draft
novel tersimpan dalam dokumen saya dengan alur yang menggantung dan belum
selesai. Saya sadar bahwa sebenarnya satu hal yang berpengaruh dalam menulis
adalah mood. Tanpa mood yang besar, kita tidak
akan bisa menciptakan cerita yang hebat. Terkadang saya merasa menggebu-gebu
atau terkadang malah sangat layu. Baiklah, saya masih labil memang.
Sampai akhirnya, saya mulai
menantang diri sendiri untuk mengikuti berbagai lomba cerpen. Saya kirimkan
karya itu, lalu melupakannya begitu saja. Saya tidak pernah memikirkan hasil
yang akan saya dapatkan karena saya menulis untuk memenuhi kepuasan diri.
Kekalahan, bukan lima atau
enam kali saya alami. Begitu juga kemenangan. Ketika saya
mencapai titik bahagia itu, rasa puas pun menyeruak namun tidak melebihi rasa
tak sabar saya untuk ingin kembali membuat karya yang baru. Bukan hadiah yang
saya harapkan, bukan gelar yang saya inginkan, tapi bagaimana cerita yang saya
buat dapat dinikmati dan disukai. Saya mengikuti lomba, semata-mata untuk
melatih kemampuan. Mendapat opini dan saran, lalu memperbaikinya.
Menyerah, sering.
Putus asa, tak jarang.
Namun saya selalu berusaha
untuk mencoba lagi, berkat dukungan dari orang-orang di dekat saya.
Saya sering kali melamunkan jalan cerita
yang akan kubuat. Bila sedang mengendarai motor dari sekolah sampai rumah, ide
itu selalu muncul bersama lamunan saya. Sebelum tidur, alur cerita itu
tergambar layaknya potongan-potongan film. Tiap kali teman-teman saya
bercerita, kisah mereka saya bayangkan seperti kejadian di dalam novel.
Semuanya hanya berawal dari
situ.
Khayalan, lamunan, bayangan.
Imajinasi.
Sampai akhirnya...
Novel saya menjadi juara kedua
di salah satu penerbit tanah air.
Saya menangis. Jelas. Air mata
bahagia itu jatuh di kelas setelah saya mendapat telepon dari penerbit yang
memberi tahu bahwa naskah saya menang. Dari sana, saya merasa telah menemukan
sosok nyata dalam diri saya. Kini saya melangkah menaiki anak tangga yang
sangat panjang menuju mimpi saya. Bukan berarti mimpi saya telah tercapai, saya
masih butuh banyak belajar dan masukan. Saya belum menguasai penggunaan bahasa
puitis dan litereter, sampai penokohan dan konflik batin yang baik. Intinya,
saya akan terus belajar sambil perlahan menaiki anak tangga itu. Saya tidak
ingin berhenti, yang saya butuhkan hanya referensi dan belajar lagi.
Banyak orang bisa menulis,
banyak orang bisa merangkai kata, banyak orang bisa mengkhayal dan melamun,
tapi hanya sebagian orang yang bisa menyatukannya dalam sebuah cerita.
Bakat adalah satu hal yang
melekat secara natural dalam dirimu. Kamu hanya perlu merenung dan
mengenali dirimu secara lebih dalam. Seperti pesan yang pernah disampaikan ayah kepada saya, kita nggak perlu terpaku oleh
perkataan orang lain, karena penonton memang selalu lebih 'hebat' daripada
pemain.