Credit: Jack Finnigan on Unsplash |
Rasa sakit itu datang lagi. Seakan menyergapku di tengah kesepian yang menemaniku belakangan ini. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menikmati rasa sakit itu. Sampai saat ini, aku masih belum siap menatap ke depan untuk melihat kenyataan. Aku masih ingin terus menoleh ke belakang, memandangi bayang-bayang indahku bersamanya. Ketika kami memulai perkenalan dengan malu-malu, ketika aku menyatakan perasaanku, ketika kami mengukir banyak cerita, ketika kami bertengkar sampai akhirnya... berpisah. Sulit dipercaya, sampai sekarang aku masih menganggap dia ada di dekatku. Aku merasa masih memilikinya dan menjadi miliknya.
“Sudah siap, Gav?” Suara Papa menyadarkan
lamunanku. Aku mengerjapkan mata lalu mengangguk pelan.
“Pergilah sekarang, pesawatnya take off sebentar
lagi,” ujar Mama.
Lagi-lagi aku mengangguk lalu mempererat
genggamanku pada koper yang kubawa. Mama langsung menarikku ke dalam
pelukannya, aku merasakan beliau menangis di bahuku sambil berkata, “Jaga diri
baik-baik, ya, selalu kabarin Mama dan Papa. Kami selalu menunggumu
pulang.
“Iya, Ma.” Aku mendapati suaraku serak dan mataku
memanas. Bertahanlah, aku sudah berjanji akan meninggalkan Indonesia tanpa air
mata.
Ketika Mama melepaskan pelukannya, kini gantian
Papa yang memelukku. Beliau menitipkan banyak pesan padaku dan aku mendengar
suaranya bergetar. Aku tahu Papa pun sedih, tapi beliau tidak ingin melepasku
dengan air mata. Aku tahu Papa menahan tangis agar aku lebih kuat, walaupun
raut wajahnya menggambarkan kalau beliau tidak baik-baik saja. Kalau Mama ingin
melepasku sebagai anak sematawayang, maka Papa ingin melepasku sebagai seorang
laki-laki. Ya Tuhan, aku pasti akan sangat merindukan orangtuaku.
“Jangan lupa hubungi kami ketika kamu sampai.”
Itulah pesan terakhir yang diucapkan Papa padaku.
Aku tersenyum. “Iya, Pa."
Aku menarik koper dan berjalan menjauh dari
orangtuaku. Kulihat Papa merangkul Mama, lalu melambaikan tangan ke arahku.
Tiba-tiba saja langkahku terasa berat. Ada satu perasaan yang seketika
membuncah dalam dadaku. Aku menoleh ke belakang, mendapati Papa dan Mama
menatapku penuh tanya. Lalu aku mengedarkan pandangan, berusaha mencari sosok
itu. Apakah dia akan datang? Aku tidak munafik, sejak tadi aku memang
menunggunya.
Aku menghela napas. Sudahlah, ada baiknya aku tidak
perlu bertemu dengannya di saat-saat terakhirku meninggalkan Indonesia. Aku
tidak ingin melihat wajah sedih itu lagi, aku tidak ingin mendengar suara
paraunya lagi, dan aku tidak ingin mengucapkan selamat tinggal padanya. Akan
lebih baik kalau aku tidak pernah bertemu dengannya lagi.
Maka aku melangkah dengan mantap menuju pesawatku.
Aku mulai merasa siap, sampai akhirnya keraguan kembali terbit dalam hatiku.
Aku kembali menoleh.
Dan orang itu,
benar-benar tidak datang.
***
Kurang lebih 14 jam yang lalu, aku mendengar
kebisingan yang sama. Deru pesawat mendarat, suara roda koper menggilas lantai,
orang yang berbincang-bincang, sampai panggilan keberangkatan. Kupasang headphone
abu-abuku, menggantikan kebisingan itu dengan alunan lagu. Kutelusuri bandara
sambil menggenggam secangkir kopi dingin dalam wadah styrofoam yang
terasa hambar. Sepertinya, ini kopi paling buruk yang pernah kukecap. Atau
karena suasana hatiku yang membuatnya terasa buruk?
Aku
tiba di Manchester International Airport dengan perasaan kacau. Setengah sadar,
aku masih tidak percaya bahwa aku berdiri di sini. Di tempat impianku. Tempatku
memupuk banyak harapan selama beberapa tahun ke depan. Aku merasa seperti mayat
hidup, berjalan gontai sambil menarik koper dengan pandangan kosong. Entah
sudah berapa kali aku meminta maaf karena koperku menyenggol koper penumpang
lain atau dianggap menghalangi jalan oleh mereka yang sedang
terburu-buru.
Aku tidak percaya, kesan pertamaku tiba di
Manchester harus seburuk ini. Aku tidak peduli bagaimana kerennya bandara ini
dan interiornya yang memanjakan mata. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus
kulakukan setelah ini. Berkeliling kota atau melihat-lihat bangunan
universitas? Aku sama sekali belum memikirkannya.
Hanya satu hal yang terlintas di benakku, aku harus
mengusir bayangan sosok itu. Aku benar-benar tidak boleh mengingatnya lagi.
Tujuanku berada di tempat ini bukanlah untuk meratapi masa laluku yang
menyedihkan. Aku harus membangun kembali mimpi-mimpiku, menutupi kegundahan
yang kini amat menyiksa, dan melupakan semua kesedihan. Akan sangat payah jika
aku pergi ribuan mil jauhnya tetapi perasaan itu masih saja bersarang dalam
hatiku.
Aku menarik napas lalu menghembuskannya kuat-kuat.
Kuangkat wajahku, mendapati matahari bersinar cukup terik di luar bandara.
Awan-awan putih berarak beriringan, seakan tidak ingin berpisah satu sama lain.
Angin musim panas bertiup pelan, seolah menyambutku dengan hembusannya yang
hangat.
Terminal kedatangan luar negeri cukup ramai, aku
memilih untuk menyetop taksi menuju flat baruku. Flat itu berada di Oxford
Road, letaknya masih berada di jalan yang sama dengan kampusku–University of
Manchester–dan bisa kutempuh dengan jalan kaki bila pergi kuliah.
Di dalam taksi, aku lebih memilih untuk diam
menikmati pemandangan di luar jendela. Suatu pemandangan asing yang biasanya
hanya kulihat di internet atau televisi, kini tampak nyata di depan mataku.
Entah kenapa, aku sangat menyukai bangunan-bangunan klasik khas Inggris.
Bangunan yang didominasi oleh bebatuan warna merah bata dan krem bergaya
Victoria dengan pilar-pilar yang kokoh. Walaupun Inggris telah menjadi negara
modern, namun model bangunannya membuatku merasa kembali pada abad 19.
Taksi yang kutumpangi tiba di depan sebuah bangunan
flat empat lantai berwarna merah bata. Flat itu cukup bagus dengan
balkon-balkon yang menghadap ke jalan raya karena letaknya persis di pinggir
jalan. Di samping flat, terdapat deretan kedai junkfood, sedangkan di
seberangnya, berdiri barisan flat mahasiswa yang lain. Lokasi yang lumayan
strategis, menurutku.
Aku mengangkut koper dari bagasi lalu membayar
taksi. Dengan kaki yang lelah, aku pun melangkah menuju rumah baruku. Kamarku
ada di lantai tiga dan sayangnya bangunan ini tidak memiliki lift. Aku
memaksakan kakiku yang pegal untuk naik sambil mengangkat koper 28 inch-ku yang
berat.
Ketika pintu flatku terbuka, aku langsung masuk dan
menjatuhkan diri di sofa berwarna coklat tua di ruang duduk. Rasanya aku ingin
cepat-cepat beristirahat. 14 jam dalam pesawat benar-benar menyiksaku. Bohong
saja kalau menempuh perjalanan selama itu membuat badanku tidak remuk. Pinggang
dan punggungku terasa kaku, sedangkan kaki dan tanganku terasa lemas. Yang kuinginkan
saat ini hanya tidur atau berendam air hangat. Terlebih
lagi, perutku lapar. Sejak tadi perutku meronta-ronta minta diisi. Aku belum
makan sejak turun dari pesawat, hanya secangkir kopi hambar yang menemaniku.
Aku pun tidak membawa makanan apapun selain sambal dan bawang goreng buatan
Mama.
Pada
akhirnya, aku mengabaikan rasa lapar yang menyerang dan memilih untuk tidur.
Setidaknya setelah tubuhku merasa lebih baik, aku bisa lebih mudah mencari
makan di luar. Tidak seperti biasanya, aku mendengkur saat tidur. Aku tak
pernah merasa selelah ini sebelumnya.
***
Hari berubah gelap ketika aku membuka mata. Aku
merasakan sakit luar biasa di punggungku. Susah payah aku menegakkan tubuh dan
mendapati flatku gelap. Aku hendak beranjak untuk menekan tombol lampu, ketika
sebuah pemandangan membuat langkahku terhenti. Aku berjalan menuju balkon dan
mendapati pemandangan kota Manchester di malam hari yang sangat menakjubkan.
Lampu-lampu dan reklame di jalan mulai menyala. Kerlap-kerlipnya seakan
mewarnai pekatnya langit malam. Ini bukan pertama kalinya bagiku melihat
pemandangan serupa, hanya saja rasanya berbeda jika melihatnya di negara orang.
Aku berpikir untuk menghubungi orangtuaku di rumah,
namun aku lupa bahwa kartu telepon Indonesia-ku sudah tidak berlaku lagi di
sini. Angin berhembus pelan menggelitik kulitku, seketika aku menggigil dan
kembali masuk ke dalam flat. Meski sedang musim panas, tetap saja malam di
Inggris terasa dingin. Tiba-tiba, aku jadi malas mandi. Aku menimbang-nimbang
akan pergi ke mana setelah ini. Yang jelas perutku lapar, mungkin aku harus
mencoba beberapa restoran di dekat sini. Siapa tahu aku bisa menemukan resto
yang menjual nasi goreng.
Dengan jaket seadanya, aku keluar dari flat dan
berjalan kaki seputar Oxford Road. Suasana ramai, tawa hangat menguar dari
beberapa kedai makanan. Kebanyakan yang tersedia adalah junkfood,
aku sedang malas makan hamburger dan kentang goreng. Aku
membiarkan kakiku melangkah, melewati jejeran pertokoan, dan lalu-lalang para
pejalan kaki. Aku mendapati diriku berjalan cukup jauh sampai akhirnya aku tiba
di depan sebuah kanopi putih bertuliskan “The Temple”. Kanopi itu memanjang dan
memayungi tangga bawah tanah yang mengarah ke suatu tempat.
Penasaran, aku pun memberanikan diri menuruni anak
tangga dan masuk ke tempat itu. Ah, ternyata tempat itu sebuah pub! Suara
dentuman lagu terdengar sangat keras, lampu diskotek mulai berputar ke sana ke
mari. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan, tapi kakiku yang lelah seketika
menjadi lebih kuat untuk melangkah masuk ke tempat itu. Demi Tuhan, ini pertama
kalinya bagiku masuk ke pub. Aku tidak pernah masuk ke pub mana pun selama di
Jakarta, tapi kini, lepas dari pengawasan orangtuaku, aku berada di surganya
anak-anak muda Inggris.
Aku tahu, ini bukanlah diriku yang sebenarnya. Aku
selalu disiplin pada peraturan yang kubuat sendiri, orangtuaku, dan lingkungan
sekitarku. Namun kini, kekacauan dalam benakku membuatku berani memutuskan
untuk memasuki pub––tempat yang selama ini kuklaim berisi anak-anak nakal dan
payah. Well, aku memang sedang payah saat ini. Mungkin tempat ini
memang cocok untukku.
Dengan gaya cool, aku berjalan melewati
orang-orang yang tengah duduk sambil tertawa keras-keras. Aku yakin, sebagian
besar otak mereka sudah terkontaminasi oleh alkohol. Aku mendekati seorang
bartender berkepala botak dengan kumis dan janggut tebal yang sedang asyik
menuangkan minuman dari gelas ke gelas. Aku menengadah, bingung harus memesan
apa. Tidak ada daftar menu yang tertera di dinding, sepertinya semua pengunjung
sudah hapal betul dengan apa yang akan mereka pesan. Perutku semakin
keroncongan, sambil berdehem, aku pun bertanya pada bartender itu.
“Permisi, bolehkah aku meminta daftar menu?”
tanyaku dengan aksen Inggris keindonesiaan.
Sang bartender memicingkan matanya padaku. “Kau
tahu apa tujuanmu ke sini?”
Aku mengangkat bahu. “Tidak... yang jelas, aku
lapar.”
Kini, sang bartender mengangkat sebelah alisnya
lalu tertawa meledekku. “Kurasa McDonald’s adalah tempat yang kaucari. Kita
tidak menjual makanan, bung. Hanya ada minuman di sini.”
Aku langsung mengasihani perutku yang lapar.
Melihatku diam, bartender itu menggelengkan kepala lalu sibuk melanjutkan
pekerjaannya. Aku menatap sekelilingku, orang-orang itu sibuk meneguk botol bir
mereka. Tak ada kripik kentang, apalagi nasi goreng seperti yang kuharapkan.
Namun aku sudah terlanjur tiba di tempat ini, canggung rasanya jika aku keluar
tanpa memesan apa pun. Paling tidak, terlihat sedikit mabuk seperti orang-orang.
Seorang lelaki di sampingku berteriak, “Fred, aku
minta satu botol Lager lagi!”
Lelaki itu tampaknya mabuk, karena berdirinya mulai
tak seimbang. Ia sedikit melirikku, cepat-cepat aku memalingkan wajah.
Bartender botak yang dipanggil ‘Fred’ datang dengan sebuah botol berwarna
coklat gelap dan memberikannya pada lelaki itu.
“Ini sudah botol keempat. Jangan terlalu mabuk,
Ronald! Oh... dan jangan muntahi lantai pub lagi!”
Lelaki bernama Ronald itu hanya tertawa lalu
berbalik pergi. Fred yang masih berdiri di hadapanku kini mengalihkan
pandangannya, ia menatapku seolah berkata “Kau sudah tahu akan memesan
apa? Jangan pergi tanpa meninggalkan pound di sini!”.
“Satu botol Lager. Ya... aku... mau satu botol
Lager,” pintaku sedikit gugup.
Fred memberikan tatapan yang meremehkanku, namun
aku tak peduli. Tak lama kemudian, ia membuka tutup botol dan meletakkannya di
depanku dengan tegas. Aku langsung meraih botol itu dan membiarkan Fred berlalu.
Bau minuman itu menyesakkan, seperti bensin. Aku
tidak yakin akan meminumnya. Ragu-ragu, kudekatkan botol itu ke mulutku, lalu
aromanya membuatku menolak. Kedua kalinya, aku lebih nekad dan langsung
meneguknya banyak-banyak. Aku ingin muntah. Bukan karena minuman ini sudah
membuatku mabuk, tapi rasa pahitnya membuatku mual. Aku heran mengapa banyak
orang kecanduan minum minuman yang rasanya seperti bensin. Itu bukan berarti
aku pernah minum bensin, tapi kubayangkan mungkin rasanya tidak jauh berbeda.
Aku langsung meletakkan botol itu dan megap-megap
sendiri. Aku menyandarkan tubuh di meja bar, pandanganku tertuju pada dua orang
yang sedang berbicara serius tak jauh di depanku. Sepertinya mereka sepasang
kekasih, seorang laki-laki jangkung berambut kuning jagung dan gadis berambut
hitam sebahu dengan syal merah melilit di lehernya. Mereka berdua terlihat
sedang bertengkar, karena si laki-laki seolah menjelaskan sesuatu kepada si
gadis sambil menggebu-gebu, namun gadis itu tampaknya sudah muak dan tak lagi
mau mendengarkan. Tiba-tiba, aku jadi teringat dengan pertengkaran yang terjadi
antara aku dan orang itu sebelum aku tiba di Manchester. Seketika, rasa sakit
itu kembali bergejolak.
Pertengkaran dua orang di depanku masih berlanjut,
tampaknya makin panas. Aku terus memperhatikan mereka sampai si gadis menyiram
minuman di tangannya ke wajah laki-laki itu dan mengumpat,
“Dasar otak udang!”
Aku terkejut mendengar umpatan dalam bahasa
Indonesia itu. Gadis berambut hitam itu pun pergi meninggalkan pacarnya yang
kini juga mengumpat dengan bahasa yang tidak kumengerti. Perlahan, gadis itu
menghilang ditelan kerumunan. Entah mengapa, aku merasa penasaran dengannya.
Aku hendak pergi mengejar gadis itu, namun seseorang menahan lenganku. Itu Fred.
“Tinggalkan 3 pound di sini, baru kau boleh pergi.”
Dengan kesal, kuletakkan uang itu di depannya. 3
pound hanya untuk minuman rasa bensin? Aku tidak mau minum Lager lagi.
Cepat-cepat, aku berjalan melewati kerumunan dan berhasil keluar dari The
Temple.
Aku membuang pandangan ke segala penjuru, berharap
akan melihat gadis berambut hitam itu. Sebenarnya, aku tidak tahu apa yang akan
kulakukan dengan gadis itu, aku hanya ingin membayar rasa penasaranku.
Kutelusuri Oxford Road, menangkap setiap pejalan kaki dengan syal merah di
lehernya. Tidak ketemu. Kutengok setiap kedai-kedai makanan dan mobil-mobil
yang lewat, namun tak kulihat sosoknya. Mungkin saja ia sudah pergi dengan
taksi entah ke mana, sepertinya mustahil aku menemukannya. Aku berani
bersumpah, Manchester membuat otakku tidak waras sejak pertama kali
menginjakkan kaki di kota ini.
Tapi, ada apa denganku? Kenapa rasanya aku ingin
sekali bertemu dengan gadis bersyal merah itu?
wiss, prekuelnya inseparable nih
ReplyDeleteShock... pas iseng buka blognya Kak Laili dan nemu ceritanya Gav. x) Jujur, aku justru nangis kejer pas Gav nanyain Calya, inget apa enggak itu hari apa. Dan... hhh... nyeseknya dapet. :")
ReplyDeleteSelama ini, aku selalu berandai-andai, kalo aja Gav nagih janjinya buat putus sama Calya delapan tahun lagi demi ganti status ke level yang lebih tinggi, apa yang bakal terjadi? To be honest, aku emang shipper-nya Gav sama Calya garis keras. Hehehe... :3
Semangat nulis ya, Kak... ^^
:') aku juga sempat berandai-andai, gimana kalau saat itu Calya tetap sama Gav atau kembali padanya setelah Tristan pergi? Seandainya itu terjadi, aku tahu luka Calya akan sembuh perlahan-lahan, tapi dia nggak akan menemukan kebahagiaannya kembali. Jadi aku rasa, mungkin itu ending yang terbaik untuk mereka. Sampai saat ini, aku juga suka membayangkan gimana kehidupan mereka selanjutnya, setelah halaman 284 itu selesai. :3
DeleteBerandai-andai itu emang asyik, ya. Sebagai penggemar pasangan Gav-Calya sih, aku rasa nggak bakal ada kesedihan lagi kalo mereka balikan. Tapi, ini kan cerita Kakak, dan tokoh utamanya Calya. Jadi semua keputusan tetep ada di tangan Kakak sama Calya. Ending-nya menurutku udah bagus kok, nggak gantung-gantung banget. Walaupun ya... sering juga mikir kelanjutan kisah mereka. x]
Delete