Credit: Anjana Menon on Unsplash |
Sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya tiga hari yang lalu. Pesan dari seseorang yang telah lama tidak ditemuinya, juga seseorang yang ingin ia hindari. Pesan berisi ajakan pertemuan itu membuat hatinya bimbang selama beberapa hari, hingga akhirnya ia memutuskan untuk menerima ajakan itu, meski dalam suasana hati yang tak menentu. Hari ini, minggu ketiga pada Januari, ia menanti laki-laki itu. Di tempat mereka bertemu terakhir kali, tempat yang juga tak pernah ia kunjungi lagi. Secangkir kopi hitam yang tinggal seperempat menjadi saksi bisu akan penantiannya. Sejak tadi ia tak pernah bisa berhenti mengetukkan kaki, antara kesal dan gelisah menanti sosok dari masa lalunya itu. Sosok yang pernah mengisi relung terdalam di hatinya.
Pintu kedai terbuka. Sontak perempuan itu menoleh dan memicingkan mata. Perlahan-lahan, picingan itu terbuka lebar melihat sosok yang muncul dan berjalan menujunya. Perempuan itu membenarkan tatanan rambutnya, suatu refleksasi yang sering ia lakukan tiap kali berhadapan dengan laki-laki itu. Tak butuh waktu lama, laki-laki itu telah berdiri di hadapannya. Menebar senyum lebarnya yang khas, yang tak pernah lagi dilihatnya selama bertahun-tahun. Perempuan itu hanya bergeming, memuaskan rasa rindu yang membuncah dalam dadanya.
“Sorry, terlambat. Lo tahu sendiri hujan bikin macet,” keluh laki-laki itu, sembari duduk dan membenarkan ujung bawah kemejanya. Perempuan itu hanya bisa menahan napas.
Laki-laki itu membuka menu di hadapannya, memanggil pramusaji, lalu menyebutkan pesanannya. Green tea macchiato. Seperti terakhir kali mereka bersua di tempat yang sama. Laki-laki itu pun berdehem pelan, kemudian menyilangkan kedua tangannya di atas meja, dan mendekatkan tubuhnya ke arah perempuan itu. Perempuan itu sontak memalingkan wajah, membuat laki-laki itu tertawa kecil melihatnya.
"Tsk, Syiana... sejak kapan lo berubah jadi pemalu kayak begini?” canda laki-laki itu.
Perempuan bernama Syiana itu hanya tersenyum kecil. Ia ingin sekali menjawab bahwa segalanya telah berubah setelah laki-laki itu pergi. Ia ingin sekali mengutarakannya, namun sesuatu seolah mengganjal di tenggorokannya.
“Ternyata lo masih lelet kayak dulu. Lo tahu, nggak? Gue nunggu di sini hampir dua jam.” Itulah jawaban yang keluar dari bibirnya.
“Milan nggak pernah macet kayak Jakarta, gue nggak butuh waktu dua jam buat sampai di kedai terdekat,” balas laki-laki itu.
Syiana mendengus. “Well, sepertinya lo menikmati hidup lo di sana.”
Laki-laki itu mengangguk. “Gue mendapatkan apa yang gue mau di sana.”
Jawaban itu seolah membentuk lubang dalam hati Syiana. Perempuan itu hanya tersenyum tipis sambil menatap hujan yang turun tanpa henti. Hujan yang menderu biru seolah melukiskan kekecewaan yang dirasakannya saat ini.
Pesanan laki-laki itu datang, ia berterimakasih pada sang pramusaji, dan menghirup aroma kopinya. Dalam setiap detik yang berjalan, Syiana hanya memandang laki-laki itu dalam kebisuan. Potongan rambut laki-laki itu telah berubah, tidak lagi gondrong seperti semasa sekolah dulu. Kumis tipis di atas bibirnya pun telah dicukur habis, begitu pun rambut halus di sekitar jambangnya. Sembilan tahun yang lalu, mereka duduk di tempat yang sama. Dengan pesanan yang sama, namun dalam situasi dan perasaan yang berbeda. Sembilan tahun bukanlah waktu yang cepat untuk menata kembali perasaan seperti sedia kala. Sembilan tahun sejak kata-kata pengakuan itu terucap, Syiana merasa dunianya seolah runtuh saat itu juga. Sembilan tahun tanpa laki-laki itu di hadapannya bukanlah hal yang mudah untuk berjalan tanpa memikirkan apa-apa. Ada kenangan yang mengaitkan mereka, ada perasaan yang membuat perasaan mereka seolah bertaut. Kini, ketika sosoknya tampak nyata di hadapan Syiana, emosi yang seharusnya memuncak itu justru tertahan dengan kebisuan yang mengendap.
“Lo masih minum kopi hitam? Pantesan kulit lo nggak
putih-putih dari dulu,” ujar laki-laki itu.
“Dan lo masih minum apapun yang berbau green
tea? Gue berani bertaruh lo bakal berubah jadi Hulk beberapa
tahun lagi.”
Laki-laki itu tertawa. “So, how's life? Is everything fine?”
Syiana hanya diam, menatap laki-laki itu
dalam-dalam. “Ada perlu apa lo ajak gue ketemuan? Selain karena lo ada show di
Jakarta dua hari ke depan.”
“Gosh, lo sahabat gue sejak SMA. Kenapa lo
musti heran kalau gue ajak lo ketemuan? Lo ingat, dulu kita selalu ke mana-mana
bareng, kayak orang pacaran, dan itu sudah biasa, kan?”
Nggak biasa setelah lo pergi, Har. Syiana
menelan bulat-bulat ucapan itu, lalu menundukkan kepala. Ia menggenggam
cangkirnya kuat-kuat, menahan cerita lama yang seolah siap berputar dalam
benaknya.
“Oh ya, Na, gue dengar film terbaru lo dapat rating
tinggi, ya? Berani bertaruh, film itu nggak bakal terkenal tanpa scriptwriter hebat
kayak lo. Lo memang jago nulis dari dulu,” puji laki-laki itu, lalu menyeruput
kopinya.
Syiana tersenyum.”Thanks, Har. Gue lihat, lo juga sudah enjoy sama profesi lo. Nggak nyangka lo bisa jadi desainer dan punya brand keren kayak sekarang.”
“Profesi ini nggak bakal jadi kenyataan kalau waktu
itu lo nggak menyadarkan gue, Na. Sorry, kalau gue pernah marah
karena lo diam-diam lihat gambar gue di sketch book waktu
itu. Thanks, karena lo sudah bikin gue berani bermimpi, Na.”
“And you got your dream, right?” tanya
Syiana.
“Iya, tapi... ada satu hal yang mau gue tanyain ke
lo.” Tiba-tiba laki-laki itu mengubah topik pembicaraan, bersamaan dengan raut
wajahnya.
“Apa?”
“Lo punya pacar sekarang?”
Pertanyaan itu seolah membuat jantung Syiana
mencelus. Ia menatap laki-laki itu––Harly––dengan tatapan kosong. Cerita lama
itu tidak bisa lagi ditahannya, ia pun membiarkan cerita itu bermain dengan
cepat dalam benaknya.
“Nggak.”
Harly mengerutkan dahinya, lalu perlahan tersenyum
jahil. “Nggak punya pacar, tapi punya calon suami. Ya, kan?” ledeknya.
Syiana menggeleng. “Nggak, Har.”
“Why, Syiana?”
Sesaat pertanyaan itu terlontar, Syiana tidak bisa
menahan kekecewaannya lagi. “Karena gue nggak bisa percaya sama cinta.”
Mendengar itu, Harly menatap Syiana bingung.
“Kenapa nggak bisa? Ayolah, Na, lo sudah 29 tahun. Seharusnya lo sudah
berkeluarga sekarang. Lo bukan lagi ‘Syiana SMA’ yang sering galau nangisin
cowok.”
"Dan satu-satunya cowok yang sering gue
tangisin waktu SMA, nggak lain adalah lo, Har. Lo percaya?"
Kerutan di dahi Harly bertambah, ia tak percaya
dengan apa yang ia dengar. “Maksud lo, Na?”
"Ayolah, Har, lo bukan lagi anak SMA yang
butuh ungkapan 'gue sayang lo' buat menyatakan cinta, kan?"
Hujan turun semakin deras, mengundang tetesan yang
meluncur pelan di sudut mata Syiana. Perlahan, perempuan itu menghapusnya dan
menatap laki-laki di depannya setegar yang ia bisa.
“Lo tahu? Cinta memang lucu. Gue yang
bertahun-tahun ada di dekat lo, gue yang selalu dengar curhatan lo, gue yang
bersama lo di waktu susah senang, justru menjadi salah seorang yang nggak
pernah terlihat di mata lo.” Syiana tertawa getir.
“Gue nggak pernah tahu soal itu, Syiana,” balas
Harly.
“Kalau pun lo tahu, memangnya semuanya bakal
berubah? Sejak dulu gue sudah menduga kalau lo nggak punya perasaan yang sama,
Har. Dan dugaan gue itu terbukti ketika lo jujur soal perasaan lo sembilan
tahun lalu.”
Harly terbungkam. Ia hanya menatap Syiana dengan
manik mata yang berkaca-kaca. Ia tidak pernah menyangka bahwa ajakan pertemuan
yang diawali dengan maksud reuni akan berubah menjadi satu hal yang
mengejutkannya.
“Dari sekian banyak perempuan di dunia ini, kenapa
harus dia, Har? Kenapa? Kenapa lo nggak pernah sekali aja melihat gue?” Syiana
tak kuasa untuk menumpahkan seluruh kekecewaannya. Ia membiarkan dirinya
membebani Harly dengan banyak pertanyaan.
Bibir Harly yang sejak tadi terkatup, perlahan
terbuka. Sudut bibirnya terangkat sedikit, lalu ia menerawang pada jendela
besar di sampingnya. Hujan yang deras mulai menyisakan rintik, para pejalan
kaki pun menutup payung mereka sembari berjalan melewati trotoar.
“Kenapa gue memilih dia? Gue nggak pernah tahu, Na.
Bersama dia, gue merasa menemukan diri gue yang sebenarnya. Mungkin banyak
orang yang nggak setuju dengan hubungan kami, tapi gue menikmatinya, Na. Gue
merasa semua berjalan seperti seharusnya.”
Air mata Syiana terus menetes, ia menguatkan diri
untuk menatap mata Harly dengan pandangan yang memburam.
Perlahan, Harly menjatuhkan telapak tangannya di
atas punggung tangan Syiana. Laki-laki itu menggenggam tangan Syiana dengan
erat seolah memberikan kekuatan. Ia mengusap tangan itu dengan ibu jarinya,
lalu perlahan melepaskannya lagi.
“Hidup memang nggak selalu berjalan seperti yang
kita inginkan, Na. Ada beberapa hal dalam hidup ini yang memang harus berjalan
keluar dari jalurnya. Kita hanya perlu menerima itu sebagai kenyataan,” kata
Harly sembari menghela napas. “Janji sama gue, Na, mulai hari ini, lo harus
kembali percaya sama cinta. Lo harus membangun keluarga yang bahagia bersama
pasangan lo nanti. Mungkin takdir lo memang bukan bersama gue, Na.”
Syiana tersenyum getir lalu menghapus air matanya.
“Thanks, Har, gue senang lo sudah menemukan dunia lo. Semoga kalian
bahagia.”
Harly mengangguk. “Tian pasti senang dengar ucapan
lo, Na. Nanti gue salamin deh ke dia. Dulu kan lo yang paling berisik teriakin
dia di lapangan.”
Lagi-lagi, Syiana tersenyum. Kali ini lebih lebar
dari sebelumnya. Setelah percakapan itu berakhir, ia merasa tidak punya pilihan
selain merelakan sahabatnya bersama orang lain. Sahabat yang disayanginya,
bersama seorang kapten basket putra yang selalu dielu-elukan oleh para siswi di
sekolah mereka. Seseorang yang mengisi relung hati Harly sejak lama. Septian
Ginanjar.
Minggu ketiga, di tengah biru pada Januari,
segalanya telah terungkap.
No comments:
Post a Comment