“Yakinlah ada sesuatu yang menantimu selepas banyak
kesabaran (yang kau jalani), yang akan membuatmu terpana hingga kau lupa
pedihnya rasa sakit.” – Imam Ali Ibn Abi Thalib.
Saya selalu percaya dengan kata-kata di atas.
Kata-kata yang menjadi titik acuan saya untuk kembali berdiri dari sekian
banyak kegagalan yang saya alami. Saya pun percaya dengan sebuah keindahan yang
akan datang pada waktunya ketika kita benar-benar siap menerimanya. Nggak bisa
dipungkiri, kegagalan yang saya alami tahun ini cukup membuat saya mengerti
bahwa hidup itu seperti apa. Hidup nggak selalu berjalan seperti rumus
aksi-reaksi. Hidup nggak selalu sesuai dengan ekspektasi. Akan tetapi,
kegagalan dalam hidup lah yang mampu membuat kita berinteropeksi. Saya percaya
bahwa Tuhan nggak akan pernah menyesatkan kita. Saya percaya bahwa di balik
kesedihan yang saya rasakan, Tuhan sudah menyiapkan kebahagiaan yang tak
terhingga. Dan yang perlu saya lakukan hanyalah menunggu dan mempersiapkan
diri, untuk menjadi pribadi yang lebih baik seiring berjalannya waktu.
74 hari berlalu. 74 hari saya menjalani peran baru.
74 hari saya mengenal banyak hal. 74 hari saya menjalani hari-hari sebagai
mahasiswi. 74 hari saya menekuni bidang Ilmu Komunikasi. Il-Kom adalah suatu
bidang yang seumur hidup nggak pernah ada di dalam list mimpi
saya atau bahkan sebagai jurusan yang ingin saya pilih. Akan tetapi, takdir
telah menunjukkan semuanya. Gagal di SNMPTN, SBMPTN, UMB, dan Ujian Mandiri,
membuat hati saya kebal merasakan sakit. Seumur hidup, saya nggak pernah
menyangka bahwa perjalanan saya akan berakhir di sebuah universitas swasta
dengan jurusan ilmu sosial. Tiga tahun lalu saya menekuni IPA, sedangkan empat
tahun yang akan datang saya harus menekuni IPS. Saya nggak kecewa, kenapa?
Justru saya senang karena saya bisa mempelajari bidang ilmu yang luas.
Postingan ini dibuat bukan semata-mata membela diri saya yang gagal masuk PTN. I just want to say,
there are so many ways to be success. All you have to do is accept it.
Seorang trainer di seminar kampus saya pernah
berkata, “Kesuksesan nggak dilihat dari nama sekolah atau
instansi-mu, juga nggak dilihat dari apa profesimu. Contohnya, tukang sate pun
bisa dikatakan sukses, bukan? Tukang sate yang mungkin pendidikannya tidak
lebih dari SMA, tapi memiliki banyak cabang di setiap daerah. See?”
Saya belajar banyak hal di pendidikan yang kini
saya jalani. Luka itu pasti ada, kekecewaan dan kesedihan yang saya rasakan
karena kegagalan nggak pernah bisa dipungkiri. Hal paling buruk yang pernah
saya lakukan adalah menyalahkan keadaan atas kegagalan itu. Akan tetapi, saya
sadar, yang perlu saya lakukan hanyalah bersabar. Dan kini, perlahan-lahan
takdir telah membawa saya ke sebuah tempat di mana saya harus berada.
Di Ilmu Komunikasi, saya belajar banyak tentang
aspek sosial, belajar untuk peka dengan keadaan, gejala-gejala sosial, dan
sifat manusia mencakup kebudayaan. Tanpa disadari, saya merasa telah mengambil
pilihan yang tepat. Saya menikmatinya, saya menyukai bidang ini. Apakah luka yang
pernah saya rasakan dulu perlahan sembuh? Ya. Kenapa bisa sembuh? Karena saya
memilih untuk menyembuhkannya, bukan membuat luka itu bertahan lama dan semakin
lebar. Saya percaya bahwa setiap manusia memiliki jalan hidup masing-masing,
yang akan membawa mereka pada satu kata universal; kesuksesan.
Banyak hal yang bisa membuat saya sembuh dari luka
lama itu. Saya bertemu dengan banyak teman baru yang menyenangkan,
senior-senior hebat dengan berbagai pengalaman mereka, juga dosen-dosen yang
ramah dan terbuka pada mahasiswanya. Saya sempat berpikir bahwa hubungan dosen
dan mahasiswanya akan bersifat impulsif, namun kenyataannya, saya masih bisa
berinteraksi dengan para pengajar di kampus layaknya teman akrab. Merekalah
yang banyak membuka mind set saya
dan memotivasi bahwa satu kegagalan harus dibayar dengan ribuan kesuksesan.
Satu hal lain yang sayae suka dari Ilmu Komunikasi adalah menulis. Di sini,
kami diwajibkan untuk mahir menulis. Hal itu menjadi tantangan buat saya untuk
terus mengembangkan hobi lebih dalam lagi. Oleh karena itu, saya berani berkata
bahwa; ini dunia saya.
Percayalah bahwa nggak ada manusia yang gagal
seumur hidup. Mereka yang merasa gagal hanyalah mereka yang menancapkan kata ‘gagal’
itu sendiri dalam diri mereka. Saya percaya bahwa kekecewaan itu menguatkan.
Saya pun percaya bahwa kegagalan itu mendewasakan. Maka saya memilih untuk
‘mengisi’ kegagalan dengan melakukan hal-hal yang positif, ikut seminar
misalnya. Satu hal lain yang harus kita percayai di balik sebuah kegagalan
adalah kita menjadi tahu siapa saja orang-orang yang berdiri di garda depan
untuk membuat kita kembali berdiri tegap.
Satu faktor lain yang dapat membuat kita ‘bangkit’
adalah orangtua. Saya nggak pernah lupa betapa orangtua saya nggak berhenti
menyemangati ketika saya gagal. Mereka yang terus tersenyum di depan saya
seolah nggak terjadi apa-apa, namun diam-diam menangis di setiap doa mereka,
membuat saya sadar betapa mereka pun merasakan rapuh seperti apa yang saya
rasakan. Dulu, ayah saya selalu ingin saya kuliah di salah satu sekolah tinggi
akutansi, untuk mengikuti jejaknya. Akan tetapi, meskipun kini saya nggak
berhasil memenuhi harapannya, beliau tetap mendukung saya apa adanya. Begitu
pun Ibu. Menjalani kehidupan kuliah di ‘rumah baru’ membuat komunikasi kami
hanya bisa dilakukan via SMS atau telepon. Saya masih ingat saat Ibu bilang; kalau nanti kamu kos,
Ibu nggak bisa makan bareng kamu lagi, deh. Dan saat ini saya
benar-benar merindukan masa-masa bersamanya.
And then, saya juga
percaya dengan salah satu perkataan teman saya, namanya Elvan Susilo. Dia teman
saya dari SD, tapi kami dipertemukan kembali di tengah krisis kegagalan yang
kami alami. Tanpa sengaja kami bertemu lagi di tes sekolah tinggi akutansi itu,
dan duduk bersebelahan. Dia pernah berkata bahwa “failed is my habbit”,
tapi saya sangat yakin bahwa hal itu nggak benar. Saya yakin dia bisa menggapai
mimpi-mimpinya. And he got it. Dia berhasil lolos di universitas
dambaannya.
Dia berkata, “Menurut gue, setiap orang
berhak mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan di waktu yang tepat,
sekalipun hal itu harus tertunda. Tapi, cuma Tuhan-lah yang berhak menunda apa
yang seharusnya kita dapatkan, bukan orang lain.”
Maka, di akhir postingan ini, saya tersenyum.
Menyadari betapa beruntungnya saya dikelilingi oleh orang-orang hebat yang
membuat saya mengerti tentang pemaknaan hidup. Melihat bagaimana bersyukur
adalah hal terbaik yang dapat membuat kita berterimakasih, bahwa segala sesuatu
telah diatur sedemikian rupa dan kita harus menerimanya sebagai sebuah
pelajaran. Karena sukses atau tidaknya seseorang bukan dilihat dari mana mereka
berasal, tapi dari bagaimana mereka dapat mengembangkan intelektualitas dan
memanfaatkannya dalam hidup.