Credit: Kari Shea on Unsplash |
Lagi-lagi kopi.
Bukan sepuluh atau dua puluh kali kau duduk di
hadapanku dengan secangkir kafein yang mengepul di bawah wajahmu. Entah
sudah berapa varian kopi yang kau kecap untuk menemani harimu. Kau tidak pernah
bisa lepas dari cairan kental nan pekat itu. Bagimu, ia teman sejati. Raut
wajahmu yang tersenyum di antara uap hangat sudah terekam jelas di dalam
memoriku. Kau tampak begitu semringah ketika berhasil menyeruput minuman itu
tanpa menyisakan satu tetes terakhir.
Kafein itu selalu berada di tengah kita.
Mendengarkan ocehan-ocehan yang terlontar, tawa renyah, kekesalan, luapan
amarah, hingga ungkapan kekecewaan. Kafein itu menyaksikan segala bentuk
perjalanan yang telah kita lalui. Bisu, namun hadir. Tak dianggap, namun selalu
ada.
Kau selalu memintaku untuk memesan kafein yang
sama denganmu. Kau tahu betul aku tidak pernah mencicipi kafein mana pun di
dunia ini. Aku membiarkan teh atau cokelat hangat menemaniku, bersanding dengan
gelas kopimu di atas serat kasar meja kayu. Kau selalu bilang bahwa kopi
itu enak. Kopi akan menyajikan berbagai sensasi rasa dengan pemaknaan berbeda
bagi setiap orang. Kopi membuatmu lebih semangat, bagai sebuah alasan yang
membuatmu bangun di pagi hari.
Detik demi detik berlalu. Seperempat gelas tandas.
Lalu setengah. Dan setetes. Gelas itu kosong. Kafein itu telah dilahapmu. Kau
merasa puas karena telah menghabiskannya. Kafein itu menyatu dalam tubuhmu.
Mengalir dan melebur.
Aku tak pernah tahu jika gelas di hadapanmu menjadi
gelas dengan kafein terakhir yang kau hirup hari itu. Kau minum dengan sangat
lama syahdu, seolah tak ingin meninggalkan kawan yang telah lama mengisi cerita
dalam hidupmu. Aku tak pernah tahu jika tetes itu akan menjadi tetes yang tak
akan lagi kau kecap selanjutnya. Tetes rasa yang selamanya akan tinggal di
permukaan indera pengecapmu.
Tak ada lagi kopi hangat dengan uap mengepul yang
tersaji di antara kita. Tak ada lagi tawa lebar dengan lelucon konyol yang
tercurah dari bibirmu. Aku merindukanmu dan segala percakapan kita yang tak
pernah habis, meski kian lama kian terkikis. Aku ingin kau kembali, di
hadapanku, dengan kafein yang menjejak pada bibir cangkirmu.
Lalu, untuk pertama kalinya dalam hidupku,
secangkir kopi tersaji di hadapanku. Kubuang segala ragu yang membelenggu, aku
hanya ingin mengenangmu. Kuhirup kafein pertamaku dan mengerjapkan mata
beberapa detik setelahnya. Rasanya tidak buruk. Kuteguk kembali minuman itu,
lagi, lagi, dan lagi. Astaga, aku mulai candu.
Selanjutnya, tak ada lagi teh dan cokelat dalam
gelasku. Berbagai macam kafein meluncur cepat dalam kerongkonanku. Aku
menemukan kehangatan yang menjalar dari kopi hitam panas yang kukecap, juga
kesejukan dari kopi susu dingin di siang hari.
Kopi itu selalu ada bersamaku, menggantikan sosokmu
yang tak lagi hadir di dekatku.
Kafein adalah dirimu. Membuatku ragu pada pertama
kali kita bertemu. Membuatku candu untuk kembali melakukan pertemuan-pertemuan
denganmu, untuk selalu bersamamu walau hanya singkat waktu. Aku mulai
tergila-gila dengan kafeinmu, zat yang mampu membuatku kembali segar tiap kali
mengingatmu. Kau adalah kafeinku, yang menyajikan banyak sensasi meledakkan
dalam diriku. Kau adalah minuman favoritku, yang selalu kupilih meski banyak
minuman lain yang lebih menggoda darimu.
Namun, seiring berjalannya waktu, aku tahu.
Semakin sering aku bersamamu, semakin sering kau
menyakitiku. Semakin sering aku mengingatmu, semakin perih pula luka yang telah
kau tinggalkan. Kau membawa dampak bagiku, aku memang tak bisa selamanya
bergantung padamu. Panas, dingin, segar, dan nikmatnya dirimu, tak akan mampu
menutupi rasa sakit yang telah terbentuk akan kehilanganmu.
Kafein memang dirimu. Menyapaku, menimbulkan
hasrat, menyisakan sakit.
Pekat, namun candu.
No comments:
Post a Comment