Menu

Thursday, March 26, 2015

Di Pelataran Dermaga

Credit: Paul Carmona on Unsplash

Tak ada yang lebih menenangkan dari suara sayup burung camar yang terbang melintasi cakrawala. Di bagian dasar, sang ombak bergelung dengan syahdu, pelan namun pasti, berlomba untuk saling mendahului. Dermaga itu sepi, menyisakan sepasang insan yang tengah berdiri sambil bergeming, asyik dengan benak masing-masing. Belum ada kata yang terucap setelah mereka tiba di tempat ini. Mereka menikmati kesunyian yang hadir. Membiarkan langit bertransformasi menjadi ungu, matahari tenggelam malu-malu. Sejak tadi, perempuan dengan blus berwarna aprikot itu terus melirik pada laki-laki berkemeja yang berdiri di sebelahnya. Namun tampaknya, laki-laki itu tidak menunjukkan respon yang sama. Ia hanya tersenyum menatap lautan lepas di depannya, yang entah sudah berapa lama tidak dijumpainya. 

Perempuan itu tak bisa menahan diri lagi. Ia pun dengan jelas menatap laki-laki itu, hingga yang ditatap pun menoleh, dan pandangan mereka bertemu. Laki-laki itu tersenyum. Menampakkan wajah yang dulu selalu terlukis dalam bayangan si perempuan. Wajah yang sangat ia rindukan dalam beberapa tahun belakangan.

Laki-laki itu mengalihkan pandangannya. Ia pun menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya, dan tersenyum lebih lebar.

"Gue kangen banget sama tempat ini," gumamnya sambil merentangkan tangan. "Tapi... sayang banget, ya. Air lautnya sudah mulai kotor."

Perempuan di sampingnya mendengus. "Kalau laut bisa dikuras, lo bersedia nggak temani gue melakukannya?"

"Maksud lo?" laki-laki itu, Raga, menoleh sambil tertawa. "Menguras lautan?"

Perempuan itu mengangguk.

"Gila, sih, tapi gue mau, kok."

"Kenapa?"

"Karena tempat ini punya banyak banget cerita antara lo dan gue."

Sontak, seulas senyum terukir di bibir perempuan itu. Benaknya memutar segala kenangan tentang dirinya dan Raga tentang tempat ini. Mereka selalu mendatangi dermaga setiap pulang sekolah semasa SMA. Mereka bertukar cerita dan mencurahkan kegundahan satu sama lain. Sesekali, mereka pergi ke tepian pantai, membasahi diri dengan saling menyiram dan tertawa sampai puas. Mereka akan merasakan kulit mereka lengket dan melegam, namun mereka tetap kembali ke tempat yang sama.

"Nggak terasa, ya, An, sudah tiga tahun gue nggak datang ke tempat ini," ujar Raga.

"Dan sekarang lo balik ke tempat ini dengan gelar master lo. Hebat," balas perempuan itu, Anjani, sambil setengah meledek sahabatnya.
           
"Nggak usah bawa-bawa gelar, dong. Sebentar lagi tesis lo juga bakal selesai, kan?"

"Doain aja. Gue juga nggak mau kalah sama lo."

Raga tersenyum sambil mengangguk. Ia pun berjalan sedikit menjauh dari Anjani. Tiga tahun ia mengejar gelar Master of Engineering di salah satu universitas di Negeri Paman Sam, ia merasa berbeda ketika berdiri di tempat yang dulu biasa ia datangi namun tak pernah lagi ia jejaki. Tempat yang menjadi saksi bisu setiap percakapan yang terlontar, pun kisah yang terjalin. Tempat yang kembali membawanya pulang. 

Ia mendengar suara sepatu Anjani mendekatinya. Aroma buah langsung menguar, wangi khas perempuan itu yang tak pernah luput dari penciuman Raga. Perempuan itu memeluk lengannya sendiri, mungkin bingung harus memulai perbincangan apalagi setelah ini. 

"Oh iya, Ga, gimana hubungan lo dengan Freya?"

Pertanyaan Anjani membuat Raga tersenyum tipis. "Baik, kok."

Mendengar jawaban itu, Anjani menghela napas. "Tiga tahun mengejar studi, lo sampai lupa pulang ke 'rumah' sendiri. Lupa sama orangtua, sahabat, dan calon istri lo. Untung lo lulus cepet, kalo nggak?"

"Lo kangen gue, ya, An?" Raga tertawa sambil mencubit lengan Biru.

"Sebelum lo resmi jadi suami orang, mungkin ini kesempatan terakhir gue buat kangen sama lo."

Hening sebentar, Raga pun mengulum bibir dan menatap lautan di depannya. "Lo tahu, An? Nggak semua hal yang terlihat baik-baik saja itu benar-benar 'baik-baik saja'."

Anjani mengernyitkan dahinya. "Lo kenapa, Ga? Jadi sok filosofis begitu."

Raga tertawa lagi. "Serius. Apa yang lo lihat menyenangkan di diri orang lain, belum tentu benar-benar menyenangkan ketika dirasain."

"Jadi, sebenarnya lo mau bilang apa, Ga?"

"Lo inget film Titanic, An? Nahkoda berpikir kalau kapal itu cuma akan melintasi gunung es kecil, tapi dia nggak tahu kalau ternyata gunung es yang 'kecil' itu bisa membuat kapal itu karam. Sama halnya kayak perasaan manusia. Selama ini, kita melihat orang lain dari tampak luarnya saja, tapi kita nggak pernah tahu kalau ternyata ada 'gunung' yang lebih besar di dalam hati manusia yang nggak pernah kita ketahui. 'Gunung' itu menyimpan banyak perasaan terpendam yang seringkali terlupakan, dan terpanggil kembali pada waktu-waktu tertentu."

Anjani mengangguk lalu menghela napas. "Singkat saja, apa lo sedang omongin hubungan lo dengan Freya?"

"Ya... begitulah."

"Ada apa, Ga?"

"Pernikahannya batal, An."

Anjani mendengus. "Lo bercanda?"

"Gue memang suka bohong sama lo, tapi kalau soal perasaan gue nggak main-main."

"But...why, Ga?"

Raga pun menoleh, manik matanya tepat menancap mata kecokelatan Anjani. "Karena gue nggak bisa bohong lagi, An."

"Bohong gimana? Hubungan lo sudah terjalin empat tahun, Ga! Bahkan Freya rela hubungan jarak jauh sama lo. Lo pikir itu mudah?"

"Tapi lo tahu? Bohongin diri sendiri itu menyakitkan, An. Dan apakah gue harus mempertahankan semua kebohongan ini selamanya?"

"Apa yang lo maksud dengan 'kebohongan'? Lo nggak cinta sama Freya, gitu? Empat tahun, Ga. Empat tahun bukan waktu yang singkat untuk jalanin cinta monyet dan lo bukan lagi anak SMP!"

"Terus, kalau hati gue nggak ada di sana, apa yang harus gue lakukan?"

Anjani tampak sangat marah, kini ia menatap Raga dengan nanar. "Freya itu sahabat gue, Ga, dan lo juga. Gue nggak mau kalian saling menyakiti. Memangnya apa, sih, susahnya berjuang? Kalian sudah jauh, Ga. Gimana dengan rencana pernikahan kalian?"

"Gue dan Freya sudah membahas semuanya, An. Now, it's over."

"Gue nggak nyangka lo semudah ini menyerah sama hubungan lo," ujar Anjani lirih, ia pun berbalik dan berjalan menjauhi Raga.

Diam-diam, Raga mengepalkan telapak tangannya. "Lo nggak tahu, kan? Gimana sakitnya membohongi perasaan sendiri?"

Seruan Raga tidak membuat Anjani membalikkan badan. Ia tetap berjalan menjauhi laki-laki itu. Melihat sahabatnya tidak menghiraukan, Raga pun kembali menegaskan ucapannya.

"Dan hal yang lebih menyakitkan daripada membohongi diri sendiri adalah berpura-pura nggak tahu!"

Mendengar itu, barulah Anjani membalikkan badannya. Ia menatap Raga tajam, napasnya pun memburu. Di hadapannya, Raga menatapnya lurus dengan napas terengah-engah. Raut wajahnya serius, wajah yang jarang sekali ditunjukkannya kepada Anjani.

"You know, i love you. For a long time. And I've often said it."

Amarah Anjani memuncak. "Apa maksud lo, Ga? Gue nggak suka lo main-main kayak gini!"

"Gue nggak main-main, An. Gue cuma jujur. Sudah lama gue suka sama lo, dari  pandangan pertama sampai perkenalan awal di Facebook sewaktu SMP. Gue juga sudah sering menyatakannya, kan? Tapi respon lo selalu sama. Diam, mengelak."

"Tapi selama ini lo pacaran sama Freya. Freya! Sahabat gue."

"And that's the reason why I couldn't marry her," ujar Raga dengan suara pelan. "Bukan dia yang wajahnya gue bayangkan sebelum tidur, yang namanya gue rapal di setiap doa, yang kehadirannya membuat gue benar-benar depresi ketika kita berjauhan. Dia bukan Freya. Dia adalah lo, Anjani."

"Nggak masuk akal. Selama ini lo menganggap gue sahabat lo, kan? Bukannya kita sudah menyepakati persahabatan ini sejak lama?"

Raga menghela napasnya. "Itulah lo, An. Lo selalu membentengi diri lo dengan status persahabatan kita. Lo selalu menganggap bahwa persahabatan nggak akan pernah menjadi 'lebih' karena lo takut semuanya akan berubah dan nantinya gue akan ninggalin lo. Lo bahkan kalah sebelum lo mencoba untuk melakukannya!"

"Atas dasar apa lo bilang begitu? Memangnya lo tahu gimana perasaan gue?"

"Gue memang nggak tahu, karena gue bukan cenayang. Tapi gue lihat seseorang yang diam-diam nangis ketika gue bilang kalau gue resmi jadian sama Freya. Dan orang itu pun melakukan hal yang sama ketika gue memutuskan pergi ke Amerika," Raga menarik napas sebentar, lalu menghembuskannya. "Mungkin lo berpikir kalau gue sayang sama Freya karena selama ini gue ada di dekatnya. Tapi lo nggak tahu, kan? Alasan gue pacaran sama dia adalah lo. Gue nggak peduli apa pun status kita, gimana pun lo anggap gue, yang penting gue tetap bisa sama lo. That's really enough."

Tak ada sepatah kata yang keluar dari bibir Anjani. Ia hanya menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca dan bibir yang bergetar. Selama ini, Raga memang sering menyatakan perasaannya. Lewat candaan dan sesuatu secara tersirat. Raga selalu setia bersamanya meski banyak perempuan menyukainya. Namun, Anjani hanya menganggap itu sebagai kesetiaan dalam persahabatan. 

Masih dalam posisi bergeming, Anjani melihat Raga berjalan mendekatinya. Ia menatap mata hitam Raga dalam-dalam dan membiarkan dirinya jatuh dalam pelukan Raga. Tubuh laki-laki itu berguncang dalam pelukannya, ia bisa mendengar helaan napas laki-laki itu. Namun, Anjani merasa hatinya beku dan tak tahu harus merespon apa. Ia hanya bisa mendengar laki-laki itu berucap dengan lirih.

"Karena itu, gue mohon, jangan pergi, An. Sejauh apa pun gue pergi, lo adalah tempat gue untuk pulang. Sekarang, gue ada di sini, untuk menegaskan semuanya. Gue nggak mau kehilangan lo, An. Gue pengin memulai semuanya sama lo."

Perlahan, Anjani pun melepaskan diri dari pelukan Raga. Perempuan itu tersenyum lalu menggenggam tangan Raga.

"Nggak akan pernah ada kata 'kita' di antara lo dan gue. Kata yang menyatakan bahwa gue adalah milik lo dan sebagainya."

"Maksud lo apa, An?"

Anjani tersenyum lebih lebar, lalu ia melepaskan genggaman tangannya. "Makasih banyak untuk rasa sayang yang lo berikan ke gue, Ga. Gue nggak nyangka akan mendapatkan kejutan besar hari ini."

Melihat senyuman Anjani, Raga pun ikut tersenyum. "Gue cuma pengin lo tahu, An. Biarpun banyak perempuan yang pernah gue pacarin, tapi perasaan gue selalu 'pulang' ke lo."

Anjani pun mengangguk. "Kalau begitu, gue tunggu lo ya, Ga. Dua minggu lagi. Di Ritz Carlton jam 7 malam. Pokoknya lo harus datang, kalau nggak, gue marah."

Raga mengernyitkan dahinya. "Memangnya ada apa, An?"

Tangan Anjani terangkat, perempuan itu menampakkan jemarinya pada Raga. Mata Raga membesar ketika melihat sebuah cincin melingkar di jari manis Anjani. Tak lama kemudian, matanya beralih pada mata perempuan itu. Raga menahan napas.

"I'll be married soon, Ga. Sebenarnya gue pengin kasih tahu ini sejak tadi. Kebetulan lo ajak gue ketemuan, jadi gue pikir ini waktu yang tepat. Beberapa tahun setelah lo pergi, gue menjalin hubungan, Ga. Tapi gue memang nggak pernah cerita sama lo. Gue pengin ini menjadi kejutan besar buat lo. Eh, ternyata malah gue yang dapet kejutan." Anjani tertawa kecil lalu menurunkan tangannya. "Gue tunggu kedatangan lo, ya, Ga."


Langit menggelap, asa itu tenggelam. Raga tak mengerti bagaimana caranya bernapas lagi. 


No comments:

Post a Comment