Banyak
orang berkata bahwa pengalaman adalah guru terbaik di dalam hidup.
Kamis,
21 Mei 2015, saya menempuh suatu pengalaman baru. Hampir 7 bulan saya bergabung
dalam Pers Mahasiswa Universitas Paramadina atau biasa disebut Parmagz. Menjadi
seorang jurnalis memang bukan salah satu cita-cita saya, namun lewat organisasi
ini, saya belajar tentang cara menulis, teknik wawancara, fotografi, dan banyak
hal yang belum saya ketahui. Pada awalnya, saya memutuskan untuk bergabung
dengan Parmagz karena hobi saya yaitu menulis dan fotografi. Akan tetapi, kini
saya mendapat tantangan baru, yang tak hanya menulis, namun juga meliput. Semua
orang bisa menulis, tetapi meliput tidak semudah yang dibayangkan. Bagaimana
seorang jurnalis membuat suatu 'berita' tanpa rekayasa, bukan suatu 'cerita'.
Di sinilah saya mempelajari itu semua. Selama beberapa bulan ini, saya hanya
melakukan liputan di dalam kampus. Saya meliput event, kabar terbaru, sampai
menulis opini tentang isu kampus. Bisa dibilang, selama ini saya hanya meliput
sesuatu yang 'menyenangkan' saja. Saya belum pernah benar-benar terjun langsung
untuk meliput apa yang terjadi di lapangan.
Akan
tetapi, hari itu, setelah kami melewati tahap Journalist Camp, kami mendapat
tantangan untuk terjun langsung ke lapangan. Kami diminta meliput salah satu
aksi yang dilakukan setiap hari Kamis di depan Istana Negara. Aksi itu disebut
dengan Aksi Kamisan. Aksi Kamisan adalah aksi yang dilakukan untuk menuntut
keadilan pemerintah terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, yang
kini mulai diabaikan. Saya sempat mencari info tentang Aksi Kamisan di internet
dan terpengarah begitu tahu ternyata aksi itu sudah berjalan selama 396 kali.
Rasa penasaran saya tumbuh, saya semakin tidak sabar untuk liputan itu. Saya
dan tim begitu antusias, membayangkan liputan itu akan berjalan dengan seru dan
mengasyikkan. Dengan bekal teknik menulis, wawancara, fotografi yang kami
pelajari, kami menyetujui permintaan itu dan mempersiapkan diri untuk melakukan
liputan sepulang kuliah. Dan... dengan seragam pers baru, kami merasa lebih
percaya diri untuk melakukan liputan tersebut.
Kami
berangkat terlambat setengah jam dari jadwal karena kuliah yang selesai lebih
lama dan transportasi yang susah didapat. Salah seorang senior, Kak Syahar
Banu, membimbing kami dalam peliputan kali ini. Sejujurnya, saya pun baru
mengetahui tentang Aksi Kamisan lewat beliau. Beliau adalah salah satu pelaku
aksi yang tak pernah absen untuk memperjuangkan hak-hak rakyat yang tertindas
karena pelanggaran HAM. Maka, lewat tugas kali ini, beliau 'menantang' kami
untuk ikut menjadi bagian dari Aksi Kamisan tersebut.
Sayangnya, tidak semua hal akan selalu berjalan
sesuai dengan ekspetasi manusia. Begitu tiba di area Istana Negara, saya
terkejut melihat ratusan mahasiswa berkumpul di sana sambil berteriak. Mereka
membawa bendera dengan berbagai warna dan lambang, juga mengenakan almamater
yang menjadi kebanggaan mereka. Tak hanya laki-laki, perempuan pun ikut serta
dalam kerumunan itu. Parahnya, kerumunan itu terbagi menjadi dua dengan
pengajuan protes yang berbeda. Saya tercengang melihat situasi yang ada, begitu
pun teman-teman yang lain. Apa-apaan ini? Yang saya tahu, Aksi Kamisan tidak
segarang ini. Aksi Kamisan hanya dilakukan tepat di depan Istana Negara dengan
lebih disiplin dan teratur. Akan tetapi, pemandangan yang saat itu tergambar
dalam visual saya adalah 'beringasnya' para mahasiswa yang berdemo seolah tak
mengerti aturan.
"Wah, ternyata masih ada demo mahasiswa.
Padahal, hari Kebangkitan Nasional, kan, kemarin," kata salah seorang
senior.
Akan tetapi, hal itu tidak membuat semangat saya
dan teman-teman ciut. Kami pun masuk ke dalam lautan orang itu dan berdesak-desakan
untuk sampai di area Aksi Kamisan. Sambil berjalan, saya melihat mahasiswa itu
membentuk pagar pertahanan sambil memegang spanduk yang
bertuliskan"Turunkah Presiden!". Bukannya tidak peduli, tapi di sana
saya tidak mengacuhkan mahasiswa-mahasiswa itu karena niat saya pergi adalah
untuk meliput Aksi Kamisan.
Setelah saya berhasil keluar dari kerumunan pertama, di sanalah saya melihat para pelaku Aksi Kamisan. Mereka berkumpul tepat di tengah-tengah, di antara dua kubu mahasiswa, terlihat begitu kontras di depan mata. Mereka tidak berteriak garang seperti demonstran yang lain. Mereka hanya diam, mendengarkan seruan pemimpin aksi, memegang payung hitam, dan spanduk bertuliskan "Mei Menggugat". Sebagian besar dari mereka adalah orang dewasa dan lansia. Mereka adalah korban-korban dari tragedi 1965, 1998, peristiwa Semanggi, dan masih banyak lagi. Mereka memegang setangkai mawar putih yang dilambangkan dengan kematian dan keikhlasan. Lalu, saya dan teman-teman mulai meliput. Para pelaku Aksi Kamisan itu menyanyikan lagu Indonesia Raya dan berdoa. Setelah itu, mereka meletakkan tangkai-tangkai mawar itu di pagar pembatas berjeruji, di hadapan para polisi yang berdiri di muka Istana Negara. Setelah itu, mereka pun berbalik dan pergi dari area aksi. Mungkin ada lebih banyak hal yang terjadi di Aksi Kamisan ke-397 itu. Akan tetapi, karena terlambat, saya melewatkan semuanya. Dan saya sadar bahwa seorang jurnalis tidak bisa semena-mena terhadap waktu, karena dalam satu detik dapat terjadi satu kejadian penting.
Liputan kami belum selesai sampai di situ. Kami diberi tugas untuk
meliput salah satu pelaku Aksi Kamisan. Saya memilih Pak Kusnendar. Usianya
sudah dapat dibilang lanjut, namun beliau tetap semangat melakukan aksi demi
memperjuangkan haknya. Beliau adalah salah satu korban dari tragedi 1965.
Beliau menceritakan kepada saya tentang kronologi yang terjadi pada tahun 1965.
Cerita beliau membuka pandangan saya bahwa ternyata apa yang saya pikirkan
tentang tragedi 1965 ini tidak sepenuhnya benar. Beliau menceritakan yang
sesungguhnya dan menegaskan memang banyak manipulasi yang terjadi tentang
tragedi itu. Sampai hari ini, tragedi 1965 seolah tabu untuk diperbincangkan
dan banyak orang tidak tahu siapa 'dalang' tragedi itu sebenarnya.
Satu jam
berlalu, liputan kami selesai. Kami pun menjauh dari ratusan mahasiswa yang
belum lelah berdemo. Di sana, saya dan teman-teman saling bertukar cerita
tentang hasil liputan. Malah, kami sempat narsis berfoto dengan background
para demonstran itu. Saya merasa lega liputan kali ini berjalan dengan lancar.
Akan tetapi, kelegaan itu hanya berjalan sebentar.
Selang beberapa menit setelah kami berfoto ria, terlihat kepulan asap dari para
demonstran. Bisa dipastikan, mereka mulai ricuh dan membakar ban di depan
Istana Negara. Tak lama setelah itu, ratusan mahasiswa itu mendadak berlarian.
Mereka panik dan kalang kabut sambil menyerukan bahwa polisi mulai bertindak.
Seluruh mahasiswa itu seolah berlari ke arah kami, mencari aman, dan menyusup
ke celah-celah. Sontak, bulu kuduk saya meremang. Saya pun ikut berteriak dan
berlari menjauhi mereka. Kami semua berlari, pun para pelaku Aksi Kamisan yang
sudah lansia. Mereka ketakutan dan berlari dengan susah payah. Saya belum
pernah ikut demo dan turun ke jalan, jadi saya merasa ketakutan. Di pikiran
saya, terlintas bayangan penembak-penembak misterius atau ribuan mahasiswa yang
saling melempar batu dan benda keras lainnya. Saya terus merapal doa dan
berlari sekencang mungkin.
Syukurlah, keadaan kembali normal sekitar 15 menit
kemudian. Saya, tim Parmagz, dan para pelaku Aksi Kamisan sudah minggir dan
berdiri di depan gedung RRI. Kami saling menghela napas dan mengeluarkan
pendapat tentang apa yang kami rasakan. Mungkin kericuhan tadi adalah hal yang
biasa bagi beberapa orang, namun menjadi pengalaman yang mendebarkan bagi kami.
Entah saya harus merasa kapok atau terpacu untuk kembali merasakan hal yang
sama.
Saya hanya bisa bergeming melihat fenomena tersebut. Apakah ini yang disebut sebagai 'Persatuan Indonesia'? Di manakah Pancasila sekarang? Hanya ideologi kah? Atau lambang semata? Rasanya tak semua orang memiliki Pancasila di dalam hatinya kini, karena begitu banyak konflik yang terjadi di negeri ini. Apakah ini kekuatan dari demokrasi? Entahlah.
Saya hanya ingin tanah air ini bersatu dan damai kembali. Pengalaman liputan hari itu membuat saya merenungkan banyak hal, termasuk nasib bangsa kita di masa depan.
Bagaimana? Pada akhirnya saya hanya bisa pasrah tanpa mendapatkan jawaban.
Hanya Tuhan yang tahu, bukan?
0 komentar