Sejauh apapun kita menjelajah, pada akhirnya kita
akan disambut oleh kerinduan untuk kembali ke titik di mana kita melangkah.
Saya menyebut titik itu sebagai kenyamanan.
Bagi saya, detik-detik duduk di depan monitor untuk
menulis adalah waktu yang sangat berharga. Dengan modal komputer di
perpustakaan kampus, sambil menemani teman-teman saya membaca, saya memilih
untuk menenggelamkan diri di pojok ruangan. Bukan karena bosan membaca, bukan
pula ingin menyendiri, saya hanya mengambil peluang ketika saya bisa kembali pada
titik nyaman yang saya punya: duduk, menulis barisan kata ini.
Banyak orang berkata, jika kita ingin mendapatkan
pengalaman besar, kita harus keluar dari zona nyaman. Keluar dari rumah, pergi
ke tempat antah berantah, bertemu banyak orang, lakukan hal-hal yang nggak
biasa, lalu petik pelajaran dari itu semua. Saya setuju dengan argumen itu,
bahwa sesekali, kita nggak boleh memanjakan diri untuk terus duduk manis di
rumah sambil menyesap teh, ketika ada badai di luar sana yang mengharuskan kita
untuk terjun menyelamatkan nyawa para korban. Kita nggak bisa terus menerus
tinggal pada lingkaran yang sama tanpa tahu bahwa ada banyak sekali hal di luar
sana yang belum membuat pikiran kita terbuka. Saya ibaratkan zona nyaman itu
sebagai rumah. Siapa, sih, yang nggak nyaman berada di rumahnya sendiri? Berada
dekat dengan keluarga, makan bersama, tidur di ranjang sendiri, merasa
terlindungi. Bagi saya, rumah adalah tempat yang menyimpan banyak kerinduan,
untuk kembali masuk dan tinggal di dalamnya. Namun saya tahu, kita bukanlah
manusia yang berkembang jika terus mengurung diri dalam rumah itu. Kenyamanan
bisa membuat kita terlena dan lupa bahwa ada sesuatu yang harus kita capai
dengan usaha keras. Kita nggak bisa mendapatkan apa yang kita inginkan jika
kita hanya diam menunggu, kan?
Tapi, bukankah rumah adalah tempat kita kembali?
Mereka yang telah berlayar jauh di tengah lautan,
pasti merindukan rumah yang penuh dengan kehangatan. Begitu pun saya. Entah
atas dasar apa saya menulis tentang hal ini, namun lelah dan penat yang saya
rasakan semakin lama mendobrak kepura-puraan saya untuk tetap tinggal di luar
zona nyaman yang saat ini sedang saya singgahi.
Saya hanya rindu zona nyaman saya.
Sejak identitas kartu pelajar saya berubah menjadi
kartu mahasiswa, saya bertekad untuk lebih aktif berkegiatan. Saya tinggalkan
semua kesenangan saya untuk mengambil tantangan-tantangan yang hadir di depan
mata. Saya selalu berpikir, jika saya memiliki kesempatan, kenapa nggak saya
ambil? Belum tentu, saya akan dapat kesempatan yang sama di lain waktu.
Lagipula, saya masih muda dan inilah masa di mana manusia dituntut untuk
produktif. Saya menekankan dalam diri saya bahwa saya harus meninggalkan rumah
dan mulai menjelajah.
Selama kuliah, saya bergabung dalam satu himpunan
dan tiga unit kegiatan mahasiswa. Semua itu adalah pilihan saya sejak awal,
karena saya merasa harus aktif di dalam kampus. Saya jalani empat organisasi
itu, meski beberapa di antaranya nggak benar-benar saya sukai. Saya berpikir
ketidaksukaan itu adalah bentuk keluar dari zona nyaman itu sendiri. Jadi, saya
coba untuk bertahan dan bersabar menjalani semuanya.
Nggak cuma empat organisasi, saya pun terjun dalam
kepanitiaan event-event di kampus yang membutuhkan persiapan
selama satu bulan lebih. Saya nggak menyesal telah bergabung dengan semua
kegiatan itu, mereka memberi saya banyak sekali pengalaman dari nggak bisa
apa-apa menjadi bisa. Saya paham dengan program kerja organisasi, jobdesc masing-masing
divisi, cara mencari dana, sampai menjalin kerjasama dengan organisasi lain.
Nggak cuma itu, organisasi yang saya ikuti juga mengantar saya bertemu dengan
orang-orang hebat di luar sana, dan pastinya, teman-teman baru. Itu mengapa
saya selalu memiliki alasan untuk tinggal di luar zona nyaman, karena saya
mendapatkan hal-hal yang nggak pernah saya bayangkan sebelumnya.
Tapi akhir-akhir ini, saya memikirkan hal yang
berbeda. Apakah semua yang telah saya lakukan pada akhirnya bermanfaat bagi
saya? atau hanya menjadi wadah untuk mendapatkan pengalaman? Hampir setiap
hari, saya punya jadwal rapat yang harus dihadiri. Kadang-kadang, rapatnya
selesai sampai jam 2 pagi, paling cepat jam 10 malam. Dulu, buat saya pulang
sekolah jam 9 malam saja sudah melelahkan, tapi sekarang? Dari pagi sampai
pagi, saya habiskan waktu saya untuk diskusi di kampus. Selain itu, beberapa
jadwal kepanitiaan juga menyita waktu istirahat saya. Saya hampir nggak punya
waktu untuk bersantai. Sekalipun ada waktu senggang, itu saya gunakan untuk mengerjakan
tugas atau proposal.
"Rapat mulu sih, Lel. Kapan free-nya?
Kapan bisa kumpul lagi?"
Pertanyaan itu seringkali terlontar dari bibir
teman-teman saya. Sedihnya, saya cuma bisa membalasnya dengan seulas
senyum nggak enak. Ya, sejak kuliah saya memang jarang sekali
ikut kumpul dengan teman-teman saya. Jangankan dengan teman-teman yang berbeda
kampus, dengan yang satu kampus saja saya jarang nongkrong-nongkrong. Saya
sering dipanggil Kura-Kura karena kerjanya kuliah-rapat-kuliah-rapat terus. Banyak
sekali rencana untuk pergi dengan teman-teman yang saya batalkan karena rapat
mendadak, atau parahnya, rencana liburan saya yang sudah berbulan-bulan
disiapkan. Meski baru memasuki tahun kedua kuliah, saya merasa waktu yang saya
punya terlalu banyak dihabiskan di kampus.
I just don't want to be too
much.
Saya pengin menjalani masa kuliah saya dengan
sewajarnya seperti mahasiswa-mahasiswa lain. Pulang kuliah lebih cepat, tidur
di jam normal, punya waktu untuk membaca buku dan melakukan hobi di waktu
luang... Ya, itulah hal-hal yang selama ini tersita oleh kegiatan saya. Saya
hanya ingin menikmati semuanya, nggak terlalu fokus pada satu titik yang pada
akhirnya membuat saya nggak bebas melakukan sesuatu. Saya ingin menghabiskan
waktu libur saya dengan keluarga, main dengan teman-teman lama, membaca novel,
menulis... See? Bahkan draft novel saya saja nggak
maju-maju. Reading speed saya juga payah banget, baca novel
300 halaman aja butuh waktu dua minggu. Saya merindukan hal-hal yang dulu biasa
saya lakukan, saya rindu titik nyaman itu.
It feels like I push myself too much.
Mungkinkah pilihan-pilihan ini adalah akibat dari
keserakahan saya? Bisa jadi. Saya terlalu serakah untuk mengambil semua bagian
atas dasar kesempatan. Saya nggak memilah-milah sesuatu yang disuguhkan dan
tetap mengerjakannya meski saya nggak suka. Bukan sekali atau dua kali saya
merasa seperti budak yang harus melakukan sesuatu atas dasar
perintah. Saya merasa nggak sayang sama diri saya sendiri, karena terlalu
memaksakan prioritas dan melupakan keinginan...
Bahwa sebenarnya, bukan ini yang saya ingin lakukan.
Ini bukanlah diri saya.
Saya suka sesuatu yang bebas meski saya orang yang
teratur. Saya nggak suka bekerja di bawah tekanan apalagi dengan alasan sumber
daya manusia yang kurang. Saya hanya ingin menikmatinya, sebagaimana hal itu
adalah zona nyaman bagi saya.
Mungkin ini saatnya bagi saya untuk berhenti
sejenak dan kembali pada zona nyaman. Saya hanya ingin memanjakan kembali diri
saya dan menggunakan waktu yang berkualitas untuk hal-hal yang saya inginkan.
Saya rindu hobi saya, keluarga, teman-teman, dan hal-hal yang dulu selalu saya
jadikan prioritas ke-sekian.
Namun, bukan berarti saya nggak akan melangkah lagi.
Saya akan kembali keluar dari zona nyaman saya,
namun saya akan memilah-milah mana yang memang saya ingin lakukan dan butuhkan.
Saya percaya bahwa jika kesempatan itu memang diberikan untuk kita, ia akan
datang pada kita tanpa harus mengambil semua kesempatan yang sebenarnya nggak
ingin kita lakukan.
Insya Allah, saya merasa semua pengalaman ini cukup
untuk saat ini. Saya akan mengeksplor pengalaman baru lagi yang mungkin sesuai
dengan passion dan minat saya.
Saya nggak ingin memaksakan diri lagi.
Well, it's time to back to home. See you another
time, uncomfortable zone!