Dalam hidup, setiap orang memiliki banyak rencana
yang ingin mereka ubah menjadi pencapaian. Berhasil atau tidak, itu adalah
urusan nanti. Namun kegagalan memang bukan hal yang lain untuk dilalui. Entah
mengapa, dalam keheningan, saya sering memikirkan tentang pencapaian apa saja
yang saja telah dapatkan, pun dengan kegagalan yang telah saya alami.
Pikiran-pikiran itu membuncah menjadi satu buntalan yang membuka mata saya
bahwa cara kerja semesta memang begitu menakjubkan.
Saya yang Payah
Para motivator berkata dengan gamblang bahwa gagal
adalah hal biasa, yang tentunya tak semua orang menyetujui karena tiap kali
mereka berada dalam posisi kritis itu, mereka tidak bisa menganggap itu hal
yang biasa. Namun, jika kita diam sejenak untuk sekadar berpikir, kita akan tahu
bahwa hidup tak seburuk itu. Hidup selalu memberikan kejutan-kejutan yang bisa
membuat kita melonjak girang atau meratap garang. Semua tergantung dari
bagaimana kita memaknainya.
Bukan sekali atau dua kali saya merasa bahwa saya
ini payah. Di luar dari ketidaksyukuran, saya memang sering berpikir bahwa saya
bukanlah apa-apa. Saya menghitung perjalanan 19 tahun dan bertanya "apa
saja yang sudah saya capai sejauh ini?". Saya (atau mungkin semua orang)
hanya tidak ingin menghabiskan waktu untuk sebuah kesia-siaan. Ya, mungkin ini
adalah bentuk ketidaksyukuran saya terhadap diri sendiri. Saya kerap kali
merasakan hal ini ketika melihat orang lain yang berada jauh di atas saya. Di
atas langit masih ada alam semesta yang luas. Ya, saya paham hal itu.
Namun, terkadang perasaan ini menguji diri saya tentang seberapa besar hal yang
akan saya lakukan untuk membuat sebuah perubahan?
Saya menganggap diri saya payah ketika melihat
teman-teman seusia saya sudah banyak menggenggam banyak prestasi. Mereka yang
bisa memenangkan olimpiade nasional dan internasional, yang mewakili nama
Indonesia untuk suatu penghargaan, yang mendapat kesempatan untuk pertukaran
pelajar ke luar negeri... ya, saya merasa bahwa diri saya sangat jauh di bawah
mereka. Entah ini hanya masalah standarisasi saya terhadap kata 'prestasi' atau
memang sejatinya saya masih bukan apa-apa?
Pemikiran ini datang tiap kali saya melihat
teman-teman saya berhasil mencapai mimpinya satu persatu. Tentu, saya senang
akan hal itu, suatu kebanggaan tersendiri melihat teman-teman saya berhasil
meraih yang mereka inginkan dengan usaha keras yang mungkin tidak saya lakukan.
Itulah yang terkadang membuat saya ciut dan kembali bertanya "apa saja
yang sudah saya capai sejauh ini?". Saya berpikir bahwa usaha saya masih
kurang dan belum sekeras mereka untuk berlari mengejar mimpi saya. Terkadang
saya menyesal, dalam beberapa proses, saya tidak menjalaninya dengan serius
sehingga apa yang saya inginkan tidak tercapai. Jika saya bisa mengulang waktu,
rasanya ingin kembali dan mengoreksi semuanya. Namun, tak lagi. Sisa hidup
kemarin sudah diambil oleh waktu yang terkikis.
Masa-masa Kritis
Seseorang pernah berkata pada saya bahwa yang
terpenting bukanlah menjadi orang berilmu, tapi orang yang beruntung. Orang
berilmu tak akan meraih yang ia inginkan jika keberuntungan tidak ada di
tangannya, sedangkan orang beruntung bisa saja mendapatkan tanpa belajar
sekalipun. Namun, saya membantah argumen itu, bahwa menggantungkan diri hanya
pada sebuah keberuntungan tanpa diimbangi oleh usaha yang
keras adalah tidak keren sama sekali. Bagi saya, orang yang berilmu, meski
ia tidak beruntung, ia akan tetap bertahan dan beradaptasi dengan ilmu yang ia
punya, sedangkan orang beruntung, hanya memanfaatkan suatu nasib baik yang kapan
saja bisa datang dan pergi.
Namun, saya tidak bisa memungkiri, saya pernah
dikalahkan oleh orang-orang beruntung itu.
Masa kritis pertama yang saya alami (dan saya
ingat) adalah ketika saya mengikuti ujian tes masuk sebuah SMA negeri. Tentu
saat itu, orangtua saya sangat mengharapkan saya ada di sana, karena SMA negeri
kerap kali dipandang bagus oleh banyak orang. Jadi, saya ikuti tes masuk itu.
Betapa senangnya saya ketika soal yang diberikan hampir seperti soal yang saya
pelajari malam sebelumnya dan tak jauh beda dengan soal Ujian Nasional. Dengan
mantap, saya mengerjakannya dan yakin bahwa apa yang saya kerjakan bisa
menghasilkan sesuatu yang baik. Saya lihat, beberapa teman saya yang ada di
ruangan yang sama, terlihat kesulitan mengerjakannya. Alhamdulillah, saat itu
saya merasa jalan saya dipermudah. Maka ketika pulang dari tes masuk itu,
dengan lugas saya berkata kepada orangtua saya bahwa saya bisa mengerjakannya
dan meyakinkan mereka bahwa saya pasti diterima.
Sampai ketika hari pengumuman tiba, ternyata
keberuntungan itu memang tidak ada di tangan saya. Saya ingat, ketika
teman-teman saya bersorak karena nama mereka terpampang jelas di mading
pengumuman dengan nilai yang begitu gemilang, sedangkan nama saya tidak ada di
sana. Lutut saya lemas. Saya langsung mencari dan akhirnya menemukan nama saya
di bagian nama yang tidak lolos. Saya lihat nilai saya di sana: 4,61. Sungguh,
nilai itu langsung menjatuhkan harapan saya. Namun, hati kecil saya bilang,
bahwa itu bukanlah nilai saya. Dengan segala kepercayaan diri, saya merasa
nilai itu bukanlah yang seharusnya saya terima.
Setelah diselidiki, betapa kecewanya saya ketika
tahu bahwa nilai saya ditukar dengan orang lain. Jujur, saya merasa dikhianati
karena mendapatkan hasil yang tidak sesuai dengan kerja keras saya. Satu hal
yang paling menyesakkan adalah ketika pihak sekolah dan orangtua siswa (yang
diterima) berkata, "Jaman sekarang, bukan lagi ilmu, tapi uang yang
bicara."
Sungguh, ingin rasanya saya menuntut ketidakadilan
itu, namun orangtua saya menenangkan dan memberi saya opsi lain untuk sekolah
di SMA swasta.
Akhirnya, saya tutup luka lama itu dan mulai
menjalani bab hidup saya selanjutnya.
Kembali Dicurangi
Masa-masa setelah kegagalan (yang direncanakan)
itu, saya menjalani hari sekolah seperti biasa. Namun saya, membangun tekad
dalam diri saya untuk membalas dendam dengan belajar lebih baik.
Tapi lagi-lagi, saya kembali dikalahkan oleh
orang-orang beruntung itu.
Maraknya penyebaran kunci jawaban Ujian Nasional
tampaknya sudah menjadi aib buruk pendidikan di negara ini. Entah apa yang
salah dalam diri saya, untuk kedua kalinya saya kembali dicurangi. Bagaimana
sebuah kecurangan kini sudah menjadi hal yang dianggap wajar bagi banyak orang?
Mengapa mereka bisa dengan gamblangnya melakukan kecurangan secara
terang-terangan?
Saya selalu menekankan bahwa seburuk apapun, nilai
itu haruslah hasil usaha saya sendiri. Jadi di sanalah saya, bersama lembar
soal dan jawaban, mencoba mengevaluasi diri selama tiga tahun belajar.
Lagi-lagi, saya merasa tak berdaya. Hasil dari belajar saya dan bimbingan
sampai tengah malam seolah tak membantu saya mengerjakan soal-soal itu. Saya
intip orang-orang di sekitar saya yang dengan asyiknya mengerjakan dengan
selembar kertas di bawah tempat pensil mereka, saya benar-benar ingin meledak.
Akhirnya, ledakan itu membuncah. Saya menangis di
atas lembar soal fisika yang beberapa nomornya tak bisa saya kerjakan. Saya
menangis dalam diam. Kesal pada diri sendiri, marah karena dicurangi, merasa
tidak diadili. Sampai kapan saya akan dikalahkan dengan orang-orang yang hanya
bermodalkan keberuntungan? Saya pun pasrah dan mencoba mengerjakannya sebisa
saya. Ketika hasil itu keluar, nilainya tidak buruk, meski tidak juga gemilang.
Setidaknya, saya bisa mendapatkan yang lebih baik dibanding orang-orang
beruntung itu.
Meski, nilai itu membawa saya pada
ketidakberuntungan selanjutnya.
"Tuhan Tahu yang Terbaik" Bukanlah Sebuah
Kiasan
Singkatnya, saya tidak lolos ujian masuk PTN. Pada
saat itu, saya sempat mengalami dilema tentang pilihan yang saya ambil. Entah
mengapa, saya si anak IPA, merasa jurusan yang ada di ranah saya tidak
benar-benar sesuai dengan diri saya. Saya mulai melirik jurusan IPS yang
tampaknya lebih menantang. Namun, dilema itu benar-benar menjengkelkan, karena
pada akhirnya saya tetap mengambil jurusan yang sesuai dengan rumpun saya
karena menganggap diri saya hanya kebanyakan obsesi.
Di tempat saya menjejak saat inilah, mata saya
mulai terbuka. Ternyata, tempat saya memang bukan di sana. Ini menjadi
pelajaran penting bagi saya bahwa ketika seseorang tidak bisa mengerjakan
sesuatu, itu bukan didasari karena ia bodoh atau payah, tapi karena hal itu
terkadang tidak sesuai dengan passion-nya. Saya yang saat itu menangis
ketika tidak bisa mengerjakan fisika, mungkin tak perlu menyesal sampai
segitunya, karena ternyata diri saya memang tidak ada di sana. Kini,
saya ada di tempat yang sebenarnya, yang mungkin tidak sebesar yang saya harapkan
pada awalnya, tapi berhasil membuat saya nyaman. Saya menyadari bahwa sebuah
penolakan tidak selalu berujung pada hal-hal yang buruk, tapi juga pintu untuk
suatu tempat yang lebih baik.
Ada kalanya, kita tidak mendapatkan apa yang kita
inginkan, karena memang sesuatu itu tidak dinyatakan pantas untuk kita. Usaha
yang kita lakukan tentu saja membuahkan hasil, termasuk suatu kegagalan. Ketika
kita telah mendapatkan A, dan kembali berusaha untuk B, sampai akhirnya
tercapailah B itu, tandanya Tuhan memang menguji apakah mental kita sudah siap
untuk mendapatkannya? Namun ketika tidak, percayalah bahwa apa yang diberikan
pada kita sekarang adalah yang baik untuk kita. Ada masa ketika kita merasa dunia
ini tidak adil, tapi pada akhirnya semua ketidakadilan itu bermuara pada
sesuatu yang lebih tepat.
Seketika, saya tak lagi berpikir bahwa saya ini
payah. Dari segala perbincangan ringan sampai filosofis saya lakukan dengan
banyak orang, saya paham bahwa mengukur prestasi bukan hanya dilihat dari segi
kuantitatif bahwa kita telah meraih sekian banyak. Kita pun harus melihat lebih
dekat bahwa apa yang kita dapatkan saat ini adalah hasil dari merelakan waktu
dan memperjuangkan sesuatu. Dengan badan ini kita berusaha, dengan pikiran ini
kita berpikir, dengan tangan kaki ini kita bergerak, dan dengan keputusan-Nya,
kita mendapatkan apa yang memang seharusnya kita dapatkan.
Jangan pernah merasa bahwa apa yang telah kita
perjuangkan adalah bentuk dari kesia-siaan. Jangan pernah merasa bahwa
keberuntungan (tanpa usaha) hanyalah satu-satunya penghasil sebuah kesuksesan.
Kita berhak memilih rasa apa yang akan hadir di
hidup kita, namun kita tak berhak menentukan berapa
banyaknya. Kita boleh berekspetasi akan hari esok, tapi kejutan
datang di saat yang tak diharapkan.
Takdir bermain di luar kendali
kita, hendakilah tangan-tangan itu menyusun rencana. Biarkan semesta
bekerja di luar nalar kita, maka rasa syukur itu akan menjadi tak
terhingga.
0 komentar