Menu

Sunday, October 25, 2015

The Perks of Being 'F' Person


Based on the MBTI personality test, I'm an ENFJ, which means an extrovert who uses intuition and feelings to decide something and live with some regularities. Kindly run this site http://www.16personalities.com/free-personality-test if you want to know more about MBTI personality test and find 'yourself' there. 

There are eight elements of personality in MBTI test: Introvert and Extrovert, Sensing and Intuitive, Thinking and Feeling, Perceiving and Judging. Yes, I'm the huge part of Feeling person. What comes to your mind when you hear that word? Over-emotional? Mawkish? Weak? Well, I got those three judgments all of my days.

Banyak orang berpikir bahwa feeling is always about emotion. Sebenarnya, nggak ada yang salah dengan pernyatan itu, yang salah hanyalah mereka yang bingung mengartikan kata 'emosi' itu sendiri. Sebagai seseorang yang terlahir sebagai F person, saya betul-betul merasakan kinerja feeling dalam diri saya. Biasanya, hal itu terjadi ketika saya sedang memutuskan sesuatu. Berbeda dengan Thinking person yang mungkin bisa mengambil keputusan berdasarkan realitas dan logika, F person kebanyakan selalu mempertimbangkan masalah keharmonisan dan dampak terhadap orang yang bersangkutan dengan keputusan tersebut. F person always put more weight on personal concerns and the people involved. Terkadang, mereka melewatkan realitas atau suatu hukum tertentu dalam memutuskan sesuatu hanya karena memikirkan perasaan orang lain. 

Akan tetapi, itu bukan berarti F person nggak bisa membuat keputusan. Memang, F person sering kali dianggap sebagai orang yang baper alias bawa perasaan, terlebih lagi jika terlibat dalam suatu masalah. Namun sebenarnya, baper itu sendiri nggak melulu menuju pada hal yang negatif, bahwa F person adalah orang yang cepat tersinggung, marah, dan cengeng. F person hanya berusaha untuk menyeimbangkan antara suatu keputusan dengan kepentingan pihak yang bersangkutan agar mencapai suatu kesepakatan yang win-win solution.  F person akan lebih fokus memperhatikan nilai atau kepribadian seseorang ketimbang suatu realitas yang harus dilakukan. 

Selain menyadari bahwa saya adalah seorang F person berdasarkan personality test, saya memang sering merasa diri saya melakukan beberapa pertimbangan sebelum membuat keputusan atau membicarakan sesuatu. Saya (atau mungkin F person yang lain) bukan orang yang mudah bicara terang-terangan dan selalu memikirkan dampak yang akan terjadi dari ucapan saya. Misalnya, ketika ada kotoran di rambut teman saya, saya nggak akan bilang "Ih, di rambut lo ada something, tuh!" di depan umum, tapi memilih untuk mengajaknya ke toilet dan bicara pelan-pelan. Begitu pula ketika saya nggak suka dengan sikap seseorang, mungkin seharusnya saya bicara padanya terang-terangan bahwa saya nggak suka, tapi yang biasa saya lakukan justru menunjukkan sikap nggak suka itu secara non verbal sampai orang itu paham dengan sendirinya. Mungkin itu kenapa, dalam pengambilan keputusan, F person lebih banyak mendengarkan dan memikirkan tanggapan orang lain dibanding dirinya sendiri. Sering kali F person dianggap menomorduakan dirinya demi kepentingan orang lain, tapi sebenarnya ia hanya berusaha menghargainya. 

Dalam situasi tertentu, saya ingin menjadi seorang T person yang kritis terhadap sesuatu dan mengedepankan realitas (but it doesn't mean T person nggak memikirkan orang lain, ya), tapi nyatanya yang saya lakukan tetaplah melihat sekitar dan memperhatikan apa yang terjadi. Menurut saya, menjadi seorang F person nggak buruk, kok. F person diberi kesempatan lebih banyak untuk memperhatikan hal-hal kecil yang jarang dilihat orang lain dan berusaha menjaga keharmonisan, karena yang terpenting bagi mereka bukan hanya hasil, tapi juga hubungan yang baik, dalam suatu proses. Tentu adanya T person dan F person 'diciptakan' untuk saling melengkapi, bahwa T person bisa melahirkan ide-ide yang inovatif dan tegas dalam realitas, sedangkan F person ditugaskan untuk lebih peka terhadap potensi masing-masing orang dalam menjaga hubungan interpersonal.

Satu hal lain yang menyenangkan, F person sering kali membiarkan feeling-nya bekerja dalam suatu kondisi tertentu. Misalnya, ketika turun hujan, F person nggak hanya melihat realitas bahwa hujan membuat kita basah, tapi merasakan suatu ruh dari kehadiran hujan itu sendiri. Pun ketika mendengarkan lagu, F person nggak hanya menikmati lirik yang bersenandung, tapi juga merasakan suatu nuansa tersendiri dalam jiwa lagu tersebut. Sedikit berlebihan, mungkin, tapi itu yang sejatinya saya rasakan. F person suka memanfaatkan feeling tersebut dalam menciptakan sesuatu, terutama karya seni, seperti Beethoven dengan Winter Sonata dan J.R.R. Tolkien dengan The Lord of The Rings.

Sesuatu yang berhubungan dengan feeling tidak selalu berarti cengeng atau lemah. F person bisa jadi terlihat sebagai orang yang nggak tegas dalam memutuskan, tapi sebenarnya itu hanyalah persoalan bagaimana seseorang mengambil persepsi. F person cenderung lebih memfokuskan diri pada proses ketimbang hasil, bukan memikirkan tentang benar atau salah tapi baik atau buruk, dan tidak hanya memandang dunia dalam area hitam dan putih, tetapi juga gradasi-gradasi dari warna itu sendiri.

So, that's why I'm glad to be F person. 'Cause it's unfair if everyone in this world makes decisions only with their heads. Then, F person presents to make decisions based on their hearts.

No comments:

Post a Comment