Will you stay awake for me?
I don't wanna miss anything
I don't wanna miss anything
I will share the air I breathe
I'll give you my heart on a string
I just don't wanna miss anything
Lapangan itu ramai. Dalam beberapa detik saja,
rombongan anak muda menjejal menjadi satu di depan area panggung. Hal yang
kupikirkan saat itu hanya bagaimana cara agar bisa melihat John Vesely,
penyanyi favoritku, dari dekat. Sayangnya, kita–perlu kuperjelas? Aku dan
kamu–datang terlambat sepuluh menit sehingga melewatkan lagu pembuka yang
dinyanyikan. Tak mungkin rasanya menerjang ribuan orang yang sudah memenuhi festival
stage, kecuali jika aku rela pulang babak belur. Pupus harapanku untuk bisa
menonton konser Secondhand Serenade dengan jarak intens di bawah sang vokalis
agar bisa meneriaki namanya kencang-kencang. Tapi aku tidak sekecewa itu,
kebahagiaan sudah terlanjur memenuhi dadaku ketika kamu menjemput untuk
membawaku ke konser itu.
Kamu sangat tahu betapa aku ingin sekali berada di
antara ribuan penonton itu, untuk mendengarkan Vesely dengan gitarnya
menyanyikan lagu-lagu yang hampir tiap hari kuputar sebelum tidur. Kamu sangat
tahu betapa gundahnya aku ketika melewatkan konser Secondhand Serenade tahun
sebelumnya, yang pada akhirnya kamu rela merekam semuanya sampai akhir dan
memainkan videonya untukku. Kamu memang sangat tahu bagaimana cara untuk
membuatku tersenyum lagi.
Bukan hal mudah untuk membawaku pergi ke konser
itu. Kamu mengerti bahwa masalahku adalah memiliki orangtua yang protektif.
Mana mungkin aku diizinkan nonton konser dan pulang larut di atas jam malam?
Ditambah lagi, hari itu, aku baru saja memberikan kabar buruk pada orangtuaku
kalau aku tidak lolos SNMPTN. Ah, kukira konser kali ini akan menjadi kekecewaan
kedua yang hanya bisa kutelan bulat-bulat. Namun, perkiraan itu nyatanya tak
terbukti saat kamu datang dan tersenyum pada orangtuaku. Aku tidak percaya kamu
begitu nekat meminta izin pada orangtuaku––meski dengan
sedikit kebohongan. Aku tidak percaya pada akhirnya aku bisa menjadi bagian
dari mereka yang menyanyikan lagu-lagu Secondhand Serenade dengan semangat
langsung bersama sang vokalis––bukan hanya
membaca update dari akun fanclub seperti tahun lalu.
Aku masih ingat ketika kamu menggenggam erat telapak
tanganku untuk mendesak kerumunan penonton agar bisa mendapatkan posisi yang
strategis. Kita memang tidak mendapat posisi paling depan, namun setidaknya,
aku bisa melihat John Vesely-ku dengan jelas.
"Ciee, seneng kan akhirnya bisa nonton
Secondhand?" ledekmu, "Anggap aja ini hiburan biar kita nggak sedih
karena ditolak SNMPTN."
And if it's the hero you want
I can save you, just stay here
Your whispers are priceless
Your breathe, it is Dear.
So please stay near.
Please stay near. Itulah kata yang terus kuulang
dalam otakku sambil menenggelamkan tangan di dalam kepalanmu lebih dalam. Kita
menyanyikan Awake dengan suara yang ditelan keramaian, merasakan angin
malam yang dingin menyusup, dan tak henti menghangatkan satu sama lain lewat
dua tangan yang terpaut. Lupakan soal kupu-kupu, aku merasakan begitu banyak
serangga yang terbang di perutku. Aku masih ingat ketika kita saling menoleh
dan aku mendapati wajahmu tergambar seperti siluet.
Adalah malam yang panjang namun terasa singkat.
Suaraku nyaris habis karena begitu histeris. Tapi kita masih punya satu tugas
untuk keluar dari kerumunan itu. Kamu menarik tangan kiriku dan menguncinya.
Aku hanya membiarkan diri mengikutimu meski terdorong dari segala sisi. Aku
bisa merasakan semakin lama genggaman kita mengendur, lalu kamu kembali
mengeratkannya. Kita berjalan cepat menuju bagian depan, sampai tiba-tiba
genggaman kita terlepas, dan terpisah.
Yang kukhawatirkan saat itu adalah bagaimana jika
aku tak bisa menemukanmu, meski aku yakin kamu akan mencari dan menungguku.
Yang kukhawatirkan saat ini adalah bagaimana jika aku benar-benar
kehilanganmu... dan tak ada lagi sosok yang mencari dan menungguku itu.
Saat itu, kekhawatiranku terbayar dengan sebuah
tangan yang menangkap telapak tanganku, aku melihat kamu terengah-engah dengan
raut wajah cemas. Namun aku mengulas senyum dan mengatakan bahwa aku senang
kamu sudah menemukanku.
Akan tetapi, kekhawatirkanku saat ini tak pernah
terbayar karena aku harus melihat kenyataan bahwa tak ada lagi sosok yang
menggenggam tanganku agar aku tetap berada di dekatnya. Aku harus menekankan
pada diriku bahwa salah satu cara agar bisa menghadapi perpisahan ini adalah
menerimanya, bukan melupakannya.
Rasanya ingin menertawakan keadaan, menyadari
betapa banyak orang yang saling jatuh cinta namun tak ditakdirkan untuk
bersama. Mungkin kita termasuk dari mereka yang pernah menukar janji untuk
selalu menapak di atas jalan yang sama, sampai akhirnya di tengah jalan, kita
tidak menyadari bahwa ada dua persimpangan yang harus kita pilih, namun
sayangnya pilihan kita jatuh pada persimpangan yang berbeda.
Aku tahu, meski kita berjalan dengan arah yang tak
sama, kita akan tetap menuju pada satu titik di ujung jalan dan berjumpa di
sana. Namun yang penting bukan soal tujuan. Ini soal proses yang akan kita
lakukan ketika melewati jalan itu. Meski pada akhirnya kita bisa kembali
bersama, nyatanya pilihan yang berbeda itu akan membuat segalanya tak sama.
Mungkin aku akan melihatmu suatu hari dengan postur tubuh yang sama, namun
dengan debar yang berbeda. Aku tak mau. Tapi akankah kamu
berpikir aku egois jika aku memintamu untuk tetap berada di jalan yang sama
denganku? Sedangkan aku tidak bisa memaksakan diri untuk berada di jalan yang
kamu pilih.
1,5 tahun adalah waktu yang panjang tanpa satu pun
pertemuan yang kita lakukan. Aku tak perlu repot menanyakan bagaimana kabarmu
karena aku mendapatkannya dalam setiap postingan Path dan Instagram terbarumu.
Aku tak perlu sibuk mencari tahu di manakah kamu sekarang, siapakah seseorang
yang kini kamu genggam tangannya, apakah kamu masih tergila-gila pada semua
jenis pasta? Aku sudah mendapatkan semua jawabannya, ya. Dan aku harus puas
dengan semua itu.
Kamu pernah bertanya mengapa sekarang, setelah 1,5
tahun, aku terlihat sibuk dengan segala kegiatan kampus. Pun kamu bertanya
mengapa sekarang aku lebih suka hunting foto dan pergi nonton sendirian?
Bukan, bukan karena kamu tak ada di sini untuk menemani. Aku hanya butuh waktu
yang ingin kuhabiskan sendirian tanpa memikirkan siapapun. Kamu tahu? Di balik
seseorang yang (sengaja) menyibukkan diri, ada sesuatu––dan seseorang––yang
ingin ia lupakan. Mungkin sekarang kamu sudah mendapatkan jawabannya.
Mengingatmu adalah hal yang kontras bagiku. Seperti
naik wahana Tornado yang membuatmu takut tapi ingin kamu coba lagi setelahnya.
Aku ingin sekali menghapus masa ketika mengangkat teleponmu dengan perasaan
kacau, mendebat segala ucapanmu, diam-diam menangisimu, dan merasa canggung
ketika menatap matamu. Aku hampir tak pernah lagi memikirkan semua
itu sebelum tak sengaja melihat video rekamanmu tentang konser tahun lalu malam
ini. Ternyata, pertahananku masih seperti bedak yang akan rapuh walau hanya
disentuh sedikit.
Kamu tahu? Aku marah. Aku marah ketika tak ada lagi
ucapan selamat tidur khas kita setiap malam, marah ketika aku bukan lagi orang
yang kamu ajak untuk maraton menonton segala jenis film, marah ketika sadar
bahwa kita tak bisa lagi saling menukar cerita dan perasaan seolah memiliki satu
sama lain.
Aku ingin sekali mengguncang bahumu
kencang-kencang, memukul dadamu keras-keras sampai aku puas, menumpahkan segala
sesak yang kurasakan, sekaligus memelukmu erat-erat sambil menenggelamkan
wajahku di bahumu dan membiarkannya basah oleh air mataku. Aku ingin sekali
meneriakimu tepat di depan wajah, melontarkan segala kata-kata kasar padamu,
memakimu atas segala penyakit mental yang kamu tinggalkan, sekaligus meminta
maaf berulang kali karena telah menyerbumu dengan segala ucapan kasar itu. Aku
ingin sekali menghapusmu dari memoriku, sekaligus menebalkan setiap cerita
kembali. Aku ingin sekali membencimu sampai ubun-ubun, sekaligus menyayangimu
sampai dadaku sesak karena terlalu bahagia bersamamu.
Tak ada ujungnya, ya... perasaan ini belum
menemukan ujungnya.
Kamu bisa melihatku tertawa saat ini, bercanda
seperti biasa, mengenal banyak laki-laki, dan berusaha membuka hati.
Tapi... detik ini, aku tak tahan lagi.
Aku merindukan kamu.
Aku sangat merindukan kamu.
Aku rindu kamu yang tiba-tiba datang ke rumahku
tanpa memberi kabar hanya untuk sekotak teh, piza, es krim red velvet, dan
makanan kecil lainnya. Aku rindu kamu yang meneleponku hanya untuk membicarakan
hal-hal yang tidak jelas sampai pukul dua pagi. Aku rindu kamu yang menyebut
namaku begitu lirih di telepon, namun begitu konyol jika mendengarnya secara
langsung. Aku rindu kamu yang rela menerjang hujan tengah malam di atas motor
sambil sesekali mengetukkan helm-mu ke helm-ku agar aku tidak mengantuk. Aku
rindu kamu yang mengorbankan waktu demi melakukan hal-hal kecil untukku, bukan
karena merasa wajib, melainkan senang melakukannya.
Ada saat-saat dalam riwayat hidupku yang aku rela
untuk menukar apapun demi merasakannya sekali lagi. Namun kenyataannya,
masa-masa kita sudah mencapai titik limit. Kita sudah memakai kesempatan itu
dan kini waktunya telah habis.
Aku tidak tahu apakah aku masih boleh merindukanmu
ketika menyebut namamu saja aku tak sanggup. Mungkin kamu akan tertawa ketika
tahu bahwa aku masih saja menjadi pengecut yang menuliskan semua ini di
blog-ku–alih-alih mengatakannya secara langsung padamu–dan berharap kamu akan
membacanya.
Sometimes, we have done all the good things each
other, but twists happen and we couldn't escape. Just realize, everything that
we faced, makes us learn how to live well in this life. But the point is, I've
tried the best, you've tried the best, universe's given the best, and that's we
get.
2 komentar
gokillll... gua suka nih kalimat-kalimatnya
ReplyDeleteMaluuuu. :")
Delete