Whoa, rasanya sudah lama, ya, saya ninggalin blog
ini. Akhirnya dapat waktu luang buat nulis lagi setelah menyelesaikan semester
yang cukup hectic. Anyway, di sini saya mau berbagi pendapat
hal-hal yang menyangkut media sosial. Saya yakin, media sosial dewasa ini sudah
nggak asing lagi karena hampir semua orang mengonsumsinya. Namun, saya
punya perspektif tersendiri terhadap kegunaan dan kepuasan yang didapatkan oleh
user ketika menjadi sosok di balik akun yang hilir mudik di platform
mereka. Saya jadi ingat salah satu mata kuliah di Ilmu Komunikasi, ada teori
bernama Uses and Gratification yang mana khalayak aktif
memilih media sesuai dengan kegunaan dan kepuasannya. Sebenarnya teori itu
berlaku untuk media massa, tapi mungkin saya bisa mengaitkannya dengan situasi
di media sosial.
Awalnya, perspektif ini datang dari pertanyaan teman-teman
yang dilontarkan kepada saya: kenapa sih kamu nggak punya Path? Ask.fm?
Snapchat? Sekarang semua orang main gituan, lho. Kenapa kamu nggak
ikutan?
Well, saat ini saya memang hanya memilki beberapa akun
media sosial yaitu Facebook, Twitter, Instagram, LINE, Interpals, dan
Soundcloud. Beberapa waktu lalu, saya sempat menghapus pula aplikasi BBM di handphone
saya karena nggak sering digunakan. Salah satu media sosial yang paling saya
gandrungi saat ini adalah Instagram, dan yang satu itu cenderung membuat saya
kecanduan. Hampir setiap pegang handphone, saya selalu buka Instagram
lebih dulu dibanding aplikasi media sosial yang lain. Saya pun bisa berjam-jam
meluncur di sana sampai jari saya kram tapi nggak pernah merasa bosan.
Hampir beberapa tahun belakangan, saya juga nggak
terlalu aktif menggunakan Facebook, Twitter, Interpals, dan Soundcloud. Saya
hanya aktif di Instagram dan LINE karena dua media sosial itu menyajikan apa
yang saya butuhkan dan membuat saya puas. Jika dikaitkan dengan teori Uses
and Gratification yang saya sebutkan di atas, terbukti bila setiap orang
cenderung memilih media yang memenuhi standar kebutuhannya dan media tersebut
bisa menghasilkan kepuasan setelah ia memakainya. Hanya sedikit orang yang bisa
membagi 'perhatian' ke seluruh akun media sosial yang mereka punya dengan
frekuensi sama rata. Kebanyakan orang lebih sering menggunakan media yang
mereka sukai. Hal itulah yang mendasari saya mengapa lebih sering menggunakan
Instagram dan LINE daripada media sosial yang lain.
Saya suka fotografi meski sangat amatir dalam hal
itu. Di Instagram, tentunya saya bisa mengeksplor banyak hal tentang teknik dan
inspirasi fotografi, juga mengekspresikan diri saya melalui foto-foto yang saya
ambil. Lewat Instagram pula, saya mendapatkan kepuasan, mulai dari bertemu
teman-teman baru, mendapat informasi dari para influencer, sampai
memenangkan kompetisi fotografi. Hal-hal yang berawal dari kebutuhan
mengkespresikan hobi, pada akhirnya menjadi satu hal yang menghasilkan
kepuasan. Itu mengapa saya sangat candu main Instagram sampai hari ini.
Lain halnya dengan LINE, bisa dibilang LINE adalah
media sosial yang paling banyak digunakan oleh anak muda di Indonesia. Hampir
semua anak muda punya akun LINE dan aktif untuk berdiksusi di sana. Saya lebih
memilih LINE ketimbang BBM, karena LINE adalah tempat teman-teman saya berada.
Saya bisa mendapatkan informasi tentang kampus, ngobrol banyak hal di grup,
sampai melakukan personal chat dengan orang-orang tertentu. Kenapa bukan
BBM? Karena BBM cenderung privat, menurut saya. Dan broadcast-nya itu...
sorry it really bothers me. Singkatnya, karena saya bisa melakukan
komunikasi bermedia via LINE, media sosial yang satu itu menjadi penting buat
saya. Jadi, kalau ada apa-apa, lebih baik hubungi saya di LINE saja. Hahaha. :p
Lalu kenapa Facebook, Twitter, Interpals, dan
Soundcloud nggak terlalu aktif? Dimulai dari Interpals, sebenarnya media sosial
yang satu itu saya buat saat kelas 12 untuk memenuhi tugas berkomunikasi dengan
para English native speaker. Setelah tugas itu selesai, saya sempat
meninggalkan akun di Interpals begitu saja meski saya sudah punya beberapa
teman dari luar negeri. Namun, suatu hari, ketika saya sedang gabut luar
biasa, saya iseng mengaktifkan lagi akun saya di Interpals. Akhirnya, saya
mendapatkan beberapa teman, yang sampai hari ini masih berkomunikasi cukup
intens dengan saya, dari Thailand dan Indonesia. Kenapa saya tidak lagi
mengaktifkan Interpals? Sebenarnya saya hanya belum punya waktu dan niat untuk
melakukannya. Mungkin suatu hari akan saya coba lagi. Sedangkan Soundcloud,
dulu saya sempat aktif sekali di sana, namun ketika sadar saya nggak punya
bakat menyanyi dan nggak lagi membuat cover lagu-lagu, akhirnya platform
itu saya tinggalkan, meski akunnya belum saya hapus.
Untuk Facebook dan Twitter, tentu yang dua ini
pernah membuat saya candu, meski sekarang frekuensi saya menggunakan keduanya
sangat kecil. Saya sangat aktif di Facebook saat SMP dan mulai melupakannya
saat SMA karena ada Twitter. Dulu, saya menggunakan Facebook dan Twitter
sebagai buku diari tempat saya mencurahkan semua hal. Sampai-sampai, saya
sering bertengkar dengan teman saya via wall atau mention karena
saling menyindir lewat status. Pada akhirnya, saya menghapus akun Facebook saya
karena banyak sekali drama di sana dan memutuskan untuk membuat yang baru. Akun
Facebook saya sekarang sepi, saya nggak tahu harus melakukan apa karena
sebenarnya sudah nggak tertarik menggunakannya. Di Twitter pun sama, saya
pernah menjadi heavy user yang menebar 100 tweets per hari sampai
jumlah tweets saya sekarang sekitar 40K-an. Saya nggak tahu sebenarnya
apa saja yang saya tulis sampai sebanyak itu. Namun, saya ingat kalau dulu saya
galau di Twitter hampir setiap hari. Hahaha.
Ketika membaca ulang semua postingan yang pernah
saya tulis di media sosial, saya merasa geli sendiri. Menyadari betapa saya
begitu transparan dan menuliskan semua yang terlintas di pikiran saya. Memang
hal itu membuat saya lega karena sudah mengekspresikannya, tapi seiring
berjalannya waktu, saya berpikir hal itu, secara tidak langsung, sudah
membeberkan 'rahasia' saya ke dunia maya. Tanpa sadar, semua perkataan yang
saya lontarkan sudah dibaca semua orang sehingga mereka mengetahui dan menilai
seperti apa saya sebenarnya. Bukankah apa yang kita tulis di media sosial
mencerminkan 'sebagian besar' diri kita sejatinya?
Saya mengurangi frekuensi keaktifan di Facebook dan
Twitter bukan karena ingin menutup diri dan menjaga image, saya hanya
sudah kehilangan minat untuk melakukannya. Entah karena saya lebih bisa
menangani masalah saya saat ini, ketimbang membeberkannya lewat media sosial,
atau karena sudah saatnya saya bersikap 'lebih baik' dengan menggunakan media
sosial sesuai dengan kebutuhan? Itu kenapa, fungsi Facebook dan Twitter buat saya
saat ini hanya untuk update informasi dan promosi buku. Dan saya sudah
berhenti melakukan stalking! Hahaha.
Dalam satu seminar di kampus, Andi Sururi, redaktur
pelaksana salah satu media massa, mengatakan bahwa media sosial sebenarnya bisa
membawa sesuatu yang bermanfaat bagi penggunanya.
"Banyak hal kreatif yang dapat dilakukan di
media sosial, kita punya sarana untuk menunjukkan siapa diri kita. Jika kita
punya potensi untuk melucu, ya buat celetukan ringan yang membangun. Jika kita
bijak, ya buat tweet yang bisa memotivasi banyak orang. Tapi ingat, apa pun
yang kita lakukan di media sosial, akan ada yang mengawasi kita.”
Itu mengapa saya meminimalisir penggunaan media
sosial, karena tak semua media sosial sesuai dengan apa yang saya butuhkan. Saya
tidak ingin membuang-buang waktu hanya untuk membuat akun yang pada akhirnya
tidak saya gunakan dan menjadi 'sampah' di dunia maya. Saya percaya bahwa media
sosial adalah 'muka' kita yang lain, yang memperlihatkan bagaimana etiket kita
ketika menggunakannya. Semakin kita tidak menjaga etiket di dunia maya dengan
menjelek-jelekkan orang atau membeberkan informasi tentang diri kita,
percayalah akan ada orang-orang tertentu yang melihatnya dan menilai hal itu.
Bukan berarti saya takut orang lain memberikan penilaian terhadap saya, saya
hanya ingin menggunakan media sosial untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.
Kenapa saya nggak main Path, Ask.fm, dan Snapchat?
Sebenarnya ini hanyalah pilihan saya. Path memang mengasyikkan dan kekinian,
kita bisa update tentang banyak hal mulai dari lokasi, event,
sampai musik yang kita dengarkan. Tapi pada dasarnya, saya bukan orang yang
suka membagikan hal itu. Saya nggak terlalu suka ketika semua orang tahu apa
yang saya lakukan, di mana saya berada, dengan siapa saya sekarang, melalui
dunia maya. Pun dengan Ask.fm, beberapa orang senang diberi pertanyaan oleh anon
user mengenai seluk beluk diri mereka, namun saya bukan salah satunya.
Apalagi jika pertanyaannya begitu personal dan cenderung menjatuhkan. Saya
nggak ingin buang-buang waktu untuk meladeni orang-orang seperti itu apalagi
dengan memberi jawaban yang sarkatis dan balik menjelekkan. Whatever you
said or wrote, it really shows your attitude. Untuk Snapchat, sejauh ini
saya belum menemukan apa fungsi sebenarnya dari media sosial tersebut yang
sesuai dengan kebutuhan saya. Saya tahu, beberapa orang menggunakannya
untuk release tension dan hiburan, itu mengapa fungsi menjadi tak
terlalu penting. Namun, nyatanya saya terlahir sebagai orang yang nggak terlalu
suka showed up. Nggak peduli orang lain bilang saya konservatif dan
nggak update, saya tetap merasa ini pilihan yang terbaik.
Salah satu teman saya berpikir saya ini introvert
karena nggak suka 'menunjukkan' diri di media sosial. Tapi, hei, ini bukan soal
introvert atau extrovert, ini soal kenyamanan. Malah teman-teman saya yang
mengaku introvert punya lebih banyak media sosial daripada saya. Bagi saya,
media sosial adalah wadah untuk menyuarakan pendapat yang penting untuk
disuarakan, dan hal itu memang tergantung pada perspektif masing-masing orang.
Saya hanya menegaskan bahwa media sosial sangat transparan seolah ada banyak
mata-mata yang mengawasi kita, sehingga kita harus lebih berhati-hati ketika
memosting sesuatu. Memang, nantinya postingan itu bisa dihapus. Tapi
sebelumnya, banyak orang yang telah membacanya. Jadi, mungkin hal itu nggak
mengubah banyak hal.
Alasan terakhir saya, saya merasa lebih tenang
dengan memiliki sedikit media sosial. Saya nggak perlu tahu apa yang orang lain
lakukan, nggak perlu memikirkan apa yang mereka katakan tentang saya, dan nggak
perlu mengurusi mereka. Saya punya hidup dan waktu yang lebih penting untuk
dimanfaatkan ketimbang harus melakukan judgement pada orang lain melalui
media sosial. Well, kita semua tahu betapa besar tingkat judgmental
orang Indonesia. Dan satu hal lagi, saya lebih suka jika seseorang menyapa saya
secara personal dan mencari tahu tentang diri saya lewat percakapan yang kami
lakukan, ketimbang menebak-nebak dan menyimpulkan melalui media sosial.
Jadi, itulah alasan mengapa saya nggak menggunakan
banyak media sosial. Saat ini, kita nggak cuma hidup di dunia nyata, tapi juga
dunia maya. Oleh karena itu, pintar-pintarlah menggunakan dan memanfaatkan
media sosial sesuai kebutuhan. Jangan sampai hal itu justru menjadi bumerang
yang nantinya malah menjatuhkan kita. Let's be smart user in smart media. :)