Credit: Alexander Hafemann on Unsplash. |
Sering kali kita menilai seseorang dari sisi yang kita lihat. Terkadang, kita memang melihat sesuatu yang ingin ditunjukkan oleh orang tersebut kepada kita, namun kita tidak pernah tahu, ada hal-hal yang lebih besar yang tersimpan dalam diri orang itu, yang memang tidak ia tunjukkan kepada orang lain. Fenomena ini terjadi dalam Iceberg Theory. Masih ingat film legendaris Titanic? Saat itu, sang nahkoda menjamin kapalnya tidak akan karam karena mereka hanya akan melewati gunung es kecil. Jadi, para awak kapal tidak melakukan persiapan apa pun, karena yang mereka lihat hanyalah gunung es kecil (yang mereka anggap tidak punya kekuatan untuk menghancurkan kapal mereka). Namun ternyata, ketika mereka melewati gunung es itu, kapal mereka justru menabrak sesuatu dari dalam laut. Ternyata, sang nahkoda tidak pernah tahu, kalau gunung es kecil itu hanyalah bagian puncak, bukan bagian gunung secara keseluruhan. Di bagian dalam laut, gunung es itu ternyata memiliki bagian yang sangat besar, yang mampu menghancurkan kapal megah seperti Titanic, namun hal itu tidak dilihat oleh sang nahkoda.
Hal semacam ini juga sering terjadi
dalam hidup kita. Kita kerap kali melihat seseorang hanya dari bagian yang
‘tampak’, begitu pula dengan yang orang lain lakukan kepada kita. Tidak bisa
dipungkiri, cara memandang itu mungkin saja mempengaruhi perspektif kita tentang
orang tersebut, menganggap ia tak bisa menjalankan tugasnya atau diri kita yang
lebih baik dari dia. Tapi, kita tak pernah tahu, bahwa sebenarnya di dasar diri
orang itu, tersimpan motif dan potensi yang begitu besar, yang bahkan tak
pernah kita pikirkan. Bisa saja orang yang kelihatannya lemah, sebenarya ia
bisa melakukan lari 10 KM setiap harinya (yang belum bisa kamu lakukan). That’s why, we have to always respect to
others and don’t underestimate them.
Selain itu, kita juga memiliki tugas
untuk menggali potensi kita lebih dalam, agar hal-hal yang tersimpan di ‘daerah
gelap’ itu muncul ke permukaan. Karena terkadang, manusia justru tidak
mengetahui apa yang tersimpan di dalam dirinya, jika ia tidak mencari tahu.
Percayalah, kita semua adalah gunung es, yang punya potensi sangat besar dalam
diri kita. Jangan pedulikan mereka yang meremehkan kemampuan kita, tetaplah
mengeksplor hal-hal positif dalam diri kita, teruslah belajar dan berbagi, maka
mereka akan melihat diri kita yang sebenarnya.
It's almost 2 years after that depressing day.
Pretty, are you mad with yourself? Do you regret because you didn't be true to yourself? You know you have a big chance to catch your happiness that day, but why do you have to lie to yourself?
Pretty, time keeps changing and every morning I know you always feel worst. You just hide your pain with all your activities, tasks, and jobs, but I know, you just try to hold back your tears. Everybody said "keep calm, everything will be better soon. You just have to move on." but pretty... I know you never get better at all, and you can't get your bravery back to start a new page.
It's almost 2 years after that depressing day, but you're still stuck in the same pain.
Pretty, please look out! Everybody's growing up, many problem's coming, you're getting older and mature, but why you're still keeping that sadness in the deep of your heart?
I know, you just can't hide your feeling anymore. It's been too long. It hurts you so much. You can give a wide smile to everyone, but actually you are nothing more than a fragility. You want to yell your honesty out loud, you want to pull out the pain from your body, you want to fall in love again... please pretty, just do it!
It's almost 2 years after that depressing day, look at them, did they ever think about you? They just smile and laugh in front of you, with no thoughts about you at all. They fell in love, they kissed, they kept walking, and they don't care about the pain that you feel! Please, open your eyes and see the big picture. You just poorly manage your feelings.
Pretty, you're too precious to be hurt, please... try to fall in love again. Learn to let him go. Please... survive.
I know you just tired to shout out to everyone that you were done with him, really really done, just to make everything looks okay for them, for everyone, but it the end, all that you do is just lying to yourself.
Pretty, you ever felt the same pain in the past, and you can get through it! Even though you feel the worse pain now, but it's okay. You can get through this as well.
But, stop lying to yourself. It's okay to be not okay. It's okay to say to everyone that you're not okay. Please, stop thinking about people judgments that come to you. You live in your life, this is YOURS, please do everything you want.
It's okay to cry.
It's okay to be mad.
It's okay to be true.
It's okay...
It's okay.
Just do everything that makes you better.
It's almost 2 years after that depressing day.
Pretty, please, live your life well.
Sincerely,
Your Superego
Akhir-akhir
ini, ada satu hal yang cukup mengganggu pikiran saya. Hal ini berkaitan dengan
organisasi yang saya jalani di kampus, yang banyak orang bilang ‘organisasi
krisis kader’. Sebenarnya, julukan ‘krisis kader’ ini bukan hanya ditunjukkan
untuk organisasi kami, melainkan juga organisasi lain yang ada di kampus kami.
Entah kenapa, minat mahasiswa di kampus kami untuk berorganisasi sangatlah
minim, sehingga ada banyak Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang pada akhirnya
tidak menjalankan program kerja karena kurangnya sumber daya manusia.
Kalau
dipikir-pikir, ini hal yang tragis, benar, kan? Bayangkan saja, ketika suatu
organisasi punya program kerja yang begitu positif, namun tidak ada yang
menggerakan, program kerja itu hanya akan menjadi impian di kertas kumal di
tempat sampah. Padahal,kampus kami sudah memberlakukan sistem poin dual
transkrip, yang mana poin itu bisa didapat dari keaktifan organisasi mahasiswa.
Jika poin itu tidak tercapai, mahasiswa tersebut akan sulit untuk lulus.
Namun,
tampaknya hal itu tidak berdampak besar, karena sampai saat ini, mereka yang
aktif di organisasi hanyalah orang-orang ‘minoritas’. Banyak sekali ketua
organisasi yang mengeluh tidak bisa melaksanakan programnya dengan maksimal
karena jumlah anggota yang sedikit. Memang, kuantitas tidak berarti besar.
Bahkan suatu program bisa sukses dijalankan hanya dengan 2 orang inisiator.
Namun, sayangnya, selain jumlah anggota yang sedikit, satu hal lain yang
menjadi masalah adalah minimnya inisiatif.
Tidak
bisa dipungkiri, kebanyakan anggota organisasi di kampus kami mengikuti
organisasi dengan motif untuk mendapatkan poin. Alhasil, kontribusi mereka amat
minim, hanya ikut di acara-acara besar saja. Apakah itu berarti mereka tidak
berkomitmen? Tidak juga. Komitmen tidak dihitung berdasarkan frekuensi
kehadiran, namun tanggung jawab dan job
desc yang tuntas dikerjakan. Sayangnya, masih banyak pula yang tidak
menerapkan hal itu.
Beberapa
minggu yang lalu, organisasi kami membuka kelas marketing dan mengundang salah
satu alumnus kami yang memang sudah sukses dalam bidang digital marketing. Dan,
betapa kecewanya kami ketika dari 50 orang anggota, hanya ada 6 orang yang
datang, kebanyakan dari sisanya tidak memberikan kabar yang jelas. Rasanya,
kami benar-benar tidak dihargai, terutama untuk alumnus yang sudah menyempatkan
waktunya mengisi kelas kami.
Namun,
hal semacam ini tampaknya sudah menjadi habit, bahwa setiap rapat atau pertemuan,
yang datang bisa dihitung jari. Tak cuma itu, bahkan ketika dihubungi via chat,
mereka hanya membaca pesan tanpa membalas. Apa susahnya mengetik satu kalimat
ketika kita sudah benar-benar MEMBACA pesan itu? Apa salahnya memberi kabar?
Gengsi? Malas? Tidak tahukah kalau ada orang di luar sana yang menunggu respon
dari kita?
Kami
tahu, kultur dalam setiap organisasi tidak bisa disamakan, namun kami
mempertanyakan, kultur seperti apa yang harus kami terapkan dalam organisasi
kami? Ketika kami coba untuk sedikit memberi pressure pada anggota kami, kami
justru kehilangan mereka. Dan ketika kami coba untuk lebih ‘lembut’, mereka
justru bersikap seenaknya pada kami.
Kami
sudah membaca banyak buku dan mempelajari cara meningkatkan performa tim, salah
satunya dengan melakukan pendekatan personal berdasarkan kepribadian dan
sebagainya, ya... kami sudah melakukan itu. Tapi, kenapa kenyataannya hal itu
tidak berlaku untuk mereka? Inisiatif mereka tetap kurang, dan kami (beberapa
anggota aktif) merasa sesak napas menjalankan organisasi ini. Padahal, menurut
kami, ketua organisasi kami sudah menerapkan seni memimpin yang SANGAT BAIK,
namun hal itu masih belum berdampak apa pun dalam situasi ini.
Mungkin
hal ini kembali pada motif setiap orang dalam mengikuti organisasi, apakah ia
memang ingin menjadi roda atau hanya sekadar ornamen di organisasi itu? Karena
sebenarnya, organisasi tidak selalu butuh orang-orang hebat, tapi orang-orang
yang MAU bertahan dan berkontribusi dalam situasi apa pun. Kita semua punya
tugas kuliah, punya resolusi untuk dicapai, tapi kita pun punya tanggung jawab
dan job desc yang harus dikerjakan di organisasi ini. Bersikap egois
dengan pura-pura lari atau sembunyi tidak akan membayar apa pun.
Percayalah,
kami bukan ingin mengeluh, kami hanya kehabisan akal menangani hal ini. Siapa
pun yang membaca catatan ini (dan merasakan hal yang sama), kami berharap kita
bisa saling berdiskusi.
Setiap orang pasti memiliki pencapaian.
Untuk meraih sesuatu yang kita inginkan, tentunya kita harus melewati proses
yang tak mudah. Ada usaha yang harus kita kerahkan untuk mencapai sesuatu,
meski hal itu harus membuat kita 'jungkir balik'. Namun, nyatanya, ada beberapa
orang yang lebih memilih untuk melakukan cara instan dalam mendapatkan
pencapaian itu.
Sungguh, pola pikir pragmatis ini sangat disayangkan
jika dibiarkan membudaya di Indonesia. Dalam lingkup kecil, saya baru merasakan
kerugian dari budaya pragmatis itu baru-baru ini. Sekitar satu minggu yang
lalu, kampus saya mengadakan lomba fotografi, yang mana foto-foto yang lolos
seleksi lomba akan ditampilkan di pameran selama satu minggu. Saya tidak
mengikuti kompetisi tersebut (meskipun saya suka fotografi), karena memang
tidak mempersiapkan diri untuk ikut serta. Jadi, saya hanya menjadi audiens
yang memberikan voting untuk foto-foto yang terseleksi di pameran.
Namun, betapa kagetnya saya, ketika melihat salah
satu foto hasil karya saya (yang saya posting di Instagram) terpajang di
pameran tersebut. Karena saya tidak mendaftar di lomba itu, otomatis saya
mempertanyakan. Betapa kecewanya saya ketika melihat nama yang terpajang di
bawah foto itu adalah nama orang lain, yang setelah diselidiki, ternyata orang
itu adalah adik kelas di jurusan saya. Saya tidak mengenal orang itu, tapi saat
itu, saya merasa dia sudah melanggar etiket sekaligus peraturan lomba karena
menggunakan HAK CIPTA orang lain tanpa izin. Di situ, saya langsung menemui panitia,
dan meminta untuk bertemu dengan orang yang sudah mengambil karya saya itu.
Pada akhirnya, foto itu didiskualifikasi dari lomba yang berlangsung.
Mungkin foto saya memang tidak sebesar karya foto
para fotografer profesional. Tapi, bagi saya, tetap saja karya itu memiliki
nilai. Di balik sebuah karya, ada perjuangan seseorang untuk menghasilkan karya
tersebut, yang mungkin tidak kita ketahui. Biasanya, kita hanya melihat secara
visual betapa bagus/jeleknya sebuah karya foto, tanpa memikirkan usaha sang
fotografer saat memotretnya. Buat saya, usaha itu berupa terjun ke pasar Glodok
siang hari dengan panas yang terik, dimarahi dan diteriaki orang, sampai pulang
larut malam dengan tubuh lelah demi menghasilkan foto Human Interest yang
dipakai seenaknya di lomba tersebut. Ditambah lagi, orang itu MENGKLAIM foto
tersebut sebagai miliknya dan diikutsertakan dalam lomba. Apa motivasinya? Jika
ia memang ingin menang dalam lomba tersebut, seharusnya ia berusaha dengan
tangannya sendiri, seburuk apa pun itu hasilnya.
Hal semacam ini mungkin tidak hanya terjadi dalam
kasus saya, tapi banyak seniman di luar sana yang karyanya diplagiat dan
diklaim seenaknya sebagai milik orang lain. Satu pesan saya, berusalah hargai
dirimu sendiri dengan cara mengapresiasi setiap usaha dan karya yang kamu buat.
Walaupun hasilnya tidak memuaskan, ada satu kelegaan dalam diri kita karena
mengerjakannya dengan tangan kita sendiri. Sekecil kamu mengikuti ujian,
walaupun kamu tahu jawabanmu mungkin tidak memberikan hasil yang sempurna, tapi
kamu sudah mengerahkan pikiranmu di sana, ketimbang kamu mencontek dan merasa
puas karena hasil ORANG LAIN.
Setiap orang adalah pemenang. Setiap orang bisa
mencapai apa yang ia inginkan. Tapi, cobalah untuk berusaha. Ingat, proses itu
indah walaupun membuat kita babak belur. Jadilah pemenang di jalan yang benar,
jadilah dirimu sendiri, karena dengan kejujuran itu, kamu tidak hanya bisa
menjadi pemenang secara fisik, tetapi juga batin. Jika kamu terus bergantung
dengan usaha orang lain, bersiaplah, kamu akan tertinggal jauh di belakang
ketika semua orang berlari begitu cepat di depanmu.
Kamu yang memilih.