Akhir-akhir
ini, ada satu hal yang cukup mengganggu pikiran saya. Hal ini berkaitan dengan
organisasi yang saya jalani di kampus, yang banyak orang bilang ‘organisasi
krisis kader’. Sebenarnya, julukan ‘krisis kader’ ini bukan hanya ditunjukkan
untuk organisasi kami, melainkan juga organisasi lain yang ada di kampus kami.
Entah kenapa, minat mahasiswa di kampus kami untuk berorganisasi sangatlah
minim, sehingga ada banyak Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang pada akhirnya
tidak menjalankan program kerja karena kurangnya sumber daya manusia.
Kalau
dipikir-pikir, ini hal yang tragis, benar, kan? Bayangkan saja, ketika suatu
organisasi punya program kerja yang begitu positif, namun tidak ada yang
menggerakan, program kerja itu hanya akan menjadi impian di kertas kumal di
tempat sampah. Padahal,kampus kami sudah memberlakukan sistem poin dual
transkrip, yang mana poin itu bisa didapat dari keaktifan organisasi mahasiswa.
Jika poin itu tidak tercapai, mahasiswa tersebut akan sulit untuk lulus.
Namun,
tampaknya hal itu tidak berdampak besar, karena sampai saat ini, mereka yang
aktif di organisasi hanyalah orang-orang ‘minoritas’. Banyak sekali ketua
organisasi yang mengeluh tidak bisa melaksanakan programnya dengan maksimal
karena jumlah anggota yang sedikit. Memang, kuantitas tidak berarti besar.
Bahkan suatu program bisa sukses dijalankan hanya dengan 2 orang inisiator.
Namun, sayangnya, selain jumlah anggota yang sedikit, satu hal lain yang
menjadi masalah adalah minimnya inisiatif.
Tidak
bisa dipungkiri, kebanyakan anggota organisasi di kampus kami mengikuti
organisasi dengan motif untuk mendapatkan poin. Alhasil, kontribusi mereka amat
minim, hanya ikut di acara-acara besar saja. Apakah itu berarti mereka tidak
berkomitmen? Tidak juga. Komitmen tidak dihitung berdasarkan frekuensi
kehadiran, namun tanggung jawab dan job
desc yang tuntas dikerjakan. Sayangnya, masih banyak pula yang tidak
menerapkan hal itu.
Beberapa
minggu yang lalu, organisasi kami membuka kelas marketing dan mengundang salah
satu alumnus kami yang memang sudah sukses dalam bidang digital marketing. Dan,
betapa kecewanya kami ketika dari 50 orang anggota, hanya ada 6 orang yang
datang, kebanyakan dari sisanya tidak memberikan kabar yang jelas. Rasanya,
kami benar-benar tidak dihargai, terutama untuk alumnus yang sudah menyempatkan
waktunya mengisi kelas kami.
Namun,
hal semacam ini tampaknya sudah menjadi habit, bahwa setiap rapat atau pertemuan,
yang datang bisa dihitung jari. Tak cuma itu, bahkan ketika dihubungi via chat,
mereka hanya membaca pesan tanpa membalas. Apa susahnya mengetik satu kalimat
ketika kita sudah benar-benar MEMBACA pesan itu? Apa salahnya memberi kabar?
Gengsi? Malas? Tidak tahukah kalau ada orang di luar sana yang menunggu respon
dari kita?
Kami
tahu, kultur dalam setiap organisasi tidak bisa disamakan, namun kami
mempertanyakan, kultur seperti apa yang harus kami terapkan dalam organisasi
kami? Ketika kami coba untuk sedikit memberi pressure pada anggota kami, kami
justru kehilangan mereka. Dan ketika kami coba untuk lebih ‘lembut’, mereka
justru bersikap seenaknya pada kami.
Kami
sudah membaca banyak buku dan mempelajari cara meningkatkan performa tim, salah
satunya dengan melakukan pendekatan personal berdasarkan kepribadian dan
sebagainya, ya... kami sudah melakukan itu. Tapi, kenapa kenyataannya hal itu
tidak berlaku untuk mereka? Inisiatif mereka tetap kurang, dan kami (beberapa
anggota aktif) merasa sesak napas menjalankan organisasi ini. Padahal, menurut
kami, ketua organisasi kami sudah menerapkan seni memimpin yang SANGAT BAIK,
namun hal itu masih belum berdampak apa pun dalam situasi ini.
Mungkin
hal ini kembali pada motif setiap orang dalam mengikuti organisasi, apakah ia
memang ingin menjadi roda atau hanya sekadar ornamen di organisasi itu? Karena
sebenarnya, organisasi tidak selalu butuh orang-orang hebat, tapi orang-orang
yang MAU bertahan dan berkontribusi dalam situasi apa pun. Kita semua punya
tugas kuliah, punya resolusi untuk dicapai, tapi kita pun punya tanggung jawab
dan job desc yang harus dikerjakan di organisasi ini. Bersikap egois
dengan pura-pura lari atau sembunyi tidak akan membayar apa pun.
Percayalah,
kami bukan ingin mengeluh, kami hanya kehabisan akal menangani hal ini. Siapa
pun yang membaca catatan ini (dan merasakan hal yang sama), kami berharap kita
bisa saling berdiskusi.
1 komentar
Lingkungan yang krisis membentuk pemikiran yang kritis
ReplyDeleteSama saja kakak ku:)