Beberapa waktu lalu, saya mengobrol
dengan dua orang teman saya. Berawal dari topik yang santai, obrolan kami
justru berlanjut menuju pembahasan yang cukup serius. Dimulai dari pertanyaan
yang dilontarkan teman saya “Kalau apa yang kita inginkan nggak tercapai,
apakah itu berarti usaha kita sia-sia?”. Dengan cepat, saya menjawab “nggak”,
namun teman saya yang lain menjawab “sia-sia”. Jawaban yang kontra inilah yang
pada akhirnya membuat topik kami berkembang. Saya membiarkan teman saya yang
menjawab “sia-sia” itu menjelaskan alasannya lebih dulu.
Ia bercerita bahwa ia sempat mempunyai
mimpi besar, yaitu menjadi salah satu mahasiswa di Universitas Indonesia. Sejak
dulu, ia selalu mendambakan diri bisa menjadi bagian dari kampus almamater
kuning, sampai ia mengikuti banyak sekali bimbingan belajar dan tes masuk demi
mencapai keinginannya. Namun, rezeki itu mungkin belum ada di tangannya, karena
ia tidak lolos tes masuk dan mendaftar di universitas swasta yang sama dengan
saya. Ia nyaris depresi, itu mengapa kuliahnya di tempat yang sekarang
cenderung terbengkalai. Ia bahkan merelakan tahun pertama kuliahnya untuk
belajar kembali demi mengikuti tes masuk UI, namun akhirnya gagal lagi. Ia
berpikir bahwa tempatnya sekarang bukanlah tempat yang ia inginkan, ia merasa
tidak puas. Prinsipnya, jika ia masuk UI, ia akan mencari link lebih banyak,
namun jika di universitas swasta, ia tidak akan mendapatkan link yang banyak
itu. Padahal, menurut saya, link bisa didapatkan dari mana saja, tergantung
bagaimana kita memperluas pergaulan. Namun ia bersikeras bahwa universitas
negeri pasti selalu membawa kesuksesan karena link yang ada. Itu mengapa, ia
merasa usahanya belajar selama ini sia-sia, dan waktu yang ia habiskan selama 4
tahun di universitas swasta ini pun nantinya akan sia-sia karena semua ini
bukanlah yang ia inginkan.
Bagi saya, setiap usaha yang dikerahkan
seseorang, walaupun itu tidak membuahkan hasil, tentunya ada hikmah atau
pelajaran yang bisa diambil. Jika orang tersebut merasa usahanya sia-sia, saya
rasa they just take it for granted. Maksud saya, ada banyak hal yang bisa
dilihat secara luas dari sebuah kegagalan. Kita mugkin kecewa dan frustrasi,
tapi bukan berarti hidup kita akan berakhir hanya karena kita tidak berada di
tempat yang kita inginkan. Dulu, saya juga menjadi salah satu orang yang sangat
berambisi untuk mencicipi bangku di universitas negeri. Namun, setelah mengikuti
banyak bimbingan belajar, les privat, sampai nyaris 10 tes masuk, tidak satu
pun nama saya terselip di antara daftar nama yang lolos. Saya sedih, tentu
saja. Tapi, apakah selanjutnya saya hanya menyesali hal tersebut dan
menyia-nyiakan masa kuliah saya (meski itu bukan di tempat yang saya inginkan)?
Saya berpikir bahwa setiap orang
memiliki kesempatan masing-masing, dan Tuhan memberikan hadiah tersebut dengan
cara di luar nalar kita. Masih ada banyak waktu yang bisa digunakan untuk
memperbaiki kesalahan, kenapa harus kita lalaikan? Bahkan ada rezeki lain yang
kita dapatkan di balik hal-hal yang awalnya kita anggap tidak menyenangkan.
Contohnya, jika saat ini saya menjadi mahasiswi di UI misalnya, belum tentu
saya bisa mendapatkan IPK magna cum laude,
belum tentu saya bisa ikut volunteering
bersama Goethe Institut ke daerah-daerah di Indonesia, dan belum tentu saya
bisa mengembangkan potensi saya di bidang penulisan lebih luas. Mungkin, ketika
saya menjadi mahasiswi di UI, saya akan mendapat rezeki lain yang sama bagusnya
atau bahkan lebih. Tapi, saat ini, saya benar-benar mensyukuri kesempatan yang
diberikan Tuhan kepada saya. Pengalaman saya bertambah, dan saya tidak merasa
segalanya sia-sia.
Semua tergantung bagaimana kita
memaknai sebuah kegagalan, dan bagaimana kita berusaha bangkit dari kegagalan
itu. Jika kita menganggap setiap pencapaian yang gagal mengartikan usaha yang
sia-sia, apakah perjuangan B.J Habibie yang ingin membuka perusahaan Dirgantara
di Indonesia (sampai akhirnya ditutup saat ini) adalah sebuah kesia-siaan? Coba
pikirkan lagi.
No comments:
Post a Comment