2016 menjadi
tahun yang hebat buat saya, sangat hebat. Mungkin dari 20 tahun yang saya
lewati selama hidup, tahun 2016-lah yang paling banyak menguras tenaga dan air
mata saya. Tahun 2014 lalu saya pernah down karena ditolak PTN, saya pikir itulah tahun yang paling buruk, tapi nyatanya
kali ini saya merasakan masa-masa yang tiga kali lebih menyedihkan.
Tapi, saya
tetap ingin bersyukur, Ya Tuhan, karena saya diberi kesempatan untuk
menghabiskan begitu banyak jatah kesedihan yang saya punya, berharap di tahun
ini, jatah kesedihan itu sudah menipis. Rasanya saya ingin sekali mengeluarkan
gumpalan kawat besar yang terpendam di dalam hati saya selama satu tahun ini,
melemparnya entah ke mana, hingga menyisakan kekosongan dari hilangnya gumpalan
itu. Kosong. Paling tidak, rasa sakit itu pergi.
Di tahun 2016,
saya kehilangan teman dekat saya dan nenek saya. Entahlah, dua orang ini sangat
berarti dalam hidup saya hingga kepergian mereka menyisakan bekas yang tak bisa
sekejap saja dilupakan.
Saya
menyesalkan, di awal tahun, ada satu masalah yang membuat saya dan teman saya
ini kehilangan kepercayaan satu sama lain. Dia, salah satu orang yang sangat
dekat dengan saya, orang yang saya chat pertama kali jika saya ingin
menceritakan sesuatu, yang saya tumpahkan banyak senang dan resah saya, yang
seumur hidup saya harap tidak akan berubah atau pergi dari hidup saya. But,
she did. Mungkin hubungan kami saat ini sudah membaik, karena kami
sama-sama berusaha untuk dewasa dan berdamai dengan keadaan. But, I know,
the pain stood still. Kami masih merasa awkward satu sama lain.
Dulu, dia adalah orang yang sering memotivasi saya, yang bebas saya peluk
ratusan kali, yang saya genggam tangannya untuk menyemangati satu sama lain,
tapi... sekarang semuanya terasa asing. Secara fisik, dia ada di hadapan saya,
tapi saya merasa kehilangan sosoknya yang selama ini saya kenal, yang akrab
dengan saya, yang begitu dekat hingga saya sangat bersyukur punya teman seperti
dia. Tapi, saya benci mengakui ini, bahwa dalam beberapa hal, cinta memang
berhasil mengalahkan segalanya, termasuk pertemanan.
Kalau dia
membaca tulisan ini, saya hanya ingin bilang kalau saya sangat merindukan dia.
Saya tahu, mungkin pertemanan kami hanya terasa formalitas saat ini atau
dinding yang sudah terbangun di antara kami akan sulit dihancurkan, tapi saya
sangat merindukan dia kembali menjadi sosok yang akrab itu. Mungkin saya pernah
kesal padanya, tapi... tiap kali saya membaca percakapan lama kami di Twitter,
melihat foto-foto lama kami, mengingat hal-hal kecil yang pernah kami lakukan,
saya tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Saya ingat dia pernah bilang,
"Nanti pas naik flying fox, kita teriak, yuk? Biar galau kita
hilang, Le." Tapi, nyatanya, tahun ini saya sudah mencoba dua kali flying
fox sambil berteriak, dan sedih ini tidak juga hilang. Saya hanya
memanfaatkan modal tawa dan senyum temporer, yang mungkin akan lenyap dan
digantikan oleh rasa sakit yang sama tiga atau empat jam kemudian. Saya sayang
teman saya ini, hanya saja, saya terlalu lelah untuk kembali bicara padanya dan
meluruskan semuanya. Saya hanya menyerahkan keadaan ini pada waktu, meski saya
tahu, waktu tak akan menjawab jika saya tidak melakukan apa pun.
But, I'll
always pray the best for her and make a wish to universe to bring our
friendship backs.
Bertengkar
dengan teman saya itu cukup membuat saya depresi, tapi nyatanya Tuhan kembali
'menghadiahkan' saya rasa sakit yang lebih besar ketika nenek saya meninggal
dunia tepat di hari ulang tahun saya yang ke-20. Sebut saya egois, tapi saat
ini saya merasa tidak ada satu pun orang yang paham betapa kacau dan hancurnya
saya akan kehilangan tersebut. Nenek saya masuk rumah sakit tanggal 24 Agustus
2015, saya ingat sekali, karena di tahun itu saya merayakan ulang tahun saya di
rumah sakit bersamanya. Ia masih menggenggam tangan saya dan mengucapkan
"selamat ulang tahun" waktu itu. Saya pikir, sakitnya tidak akan
bertahan lama, tapi nyatanya, ia pergi tepat setahun setelah ia sakit.
Saya tidak
pernah bisa mengingat nenek saya tanpa menangis. Bahkan, tiap kali saya
mendengar suara pengumuman kematian di masjid atau melewati rumah seseorang
yang baru saja ditinggal keluarganya pergi, saya pasti menangis. Saya tidak
tahu apakah mereka yang pernah kehilangan keluarganya juga merasakan hal yang
sesakit ini, karena ini kali pertama buat saya. Saya sangat dekat dengan nenek
saya, tapi saya terlalu bodoh karena jarang menyisakan waktu untuknya selama
saya kuliah. Saya sibuk dengan urusan organisasi, rapat, dan sebagainya,
sehingga jarang menjenguknya, padahal jarak rumahnya hanya 2 blok dari rumah
saya. Bahkan, saya juga sangat egois dengan menganggapnya tidak terlalu penting
sehingga saya beberapa kali mengabaikannya. Ia selalu meminta saya untuk
menginap dan tidur bersamanya, tapi sekali pun tak pernah saya kabulkan
permintaan itu. Ia sering menanyakan saya pada ibu saya dan minta ditemani,
tapi sering pula saya marah padanya padahal ia hanya minta dipakaikan selimut.
Nek... maaf,
aku minta maaf... bahkan aku baru bisa mengucap maaf itu ketika Nenek sudah
nggak ada, ketika aku terus menerus nangis di samping Nenek sambil ciumin
kening nenek yang dingin. Maaf karena aku begitu egois, Nek. Ketika Nenek butuh
aku, aku justru sibuk dengan urusan kampus, pergi liburan ke Dieng, main sama
teman-teman dan sebagainya, padahal saat itu Nenek sangat nunggu aku. Bahkan,
Nenek pergi setelah ujian beasiswaku selesai supaya aku bisa fokus. Aku tahu...
Nenek pergi di hari ulang tahun aku, karena Nenek mau aku selalu ingat Nenek,
kan? Walaupun aku nggak akan lagi suka hari ulang tahunku setelah ini dan nggak
akan mau merayakannya lagi.
Nek... ajarin
aku gimana caranya punya hati sebesar Nenek. Ketika Nenek sering aku cuekin,
bahkan Nenek mau lihat foto-foto di handphone aku aja sering nggak aku izinin,
ketika aku sering bikin Nenek sedih dan sebagainya, kenapa Nenek masih tetap sayang
dan ingat aku? Kenapa aku tetap jadi satu orang yang Nenek terus menerus sebut
namanya sebelum meninggal, padahal akhir-akhir itu aku jarang ada di dekat
Nenek? Nek... baru kali ini aku rasain sakit disayang seseorang, karena aku
sadar selama ini aku nggak memberikan kasih sayang yang sama atau lebih buat
Nenek. Kepergian Nenek bakal selalu jadi pelajaran buat aku, Nek, selalu. Aku
harus menghargai setiap waktu yang aku punya untuk berbuat kebaikan sama
orang-orang yang aku sayang dan sayang sama aku.
Aku selalu
bertanya-tanya apakah setelah ini aku akan kuat, Nek? Karena aku masih suka
nangis, apalagi kalau kunjungin makam Nenek. Aku gila-gilaan sibukin diri buat
ngelupain dan ngalihin rasa sakit ini, tapi tetap aja, rasa sesaknya nggak akan
pernah hilang.
Tapi, aku
mencoba ikhlas, Nek. Aku akan mencoba ikhlas sebisaku.
Maaf, sampai
hari ini aku juga belum bisa datang ke rumah Nenek lagi, walaupun Ayah sudah
renovasi sedikit, tapi aku masih belum siap terjebak kesedihan yang sama. Aku
minta maaf.
Tuhan, di tahun
2017 ini, bisakah saya lebih dewasa dan belajar untuk mengikhlaskan mereka yang
sudah pergi? Orang bilang, kehilangan membuat kita kuat, tapi kenapa
kenyataannya saya sangat rapuh? Saya capek, Tuhan. Saya lelah harus
berpura-pura pada semua orang kalau saya baik-baik saja, kalau saya bahagia,
kalau saya bisa tertawa... tapi semua itu saya lakukan dengan terpaksa. Saya
ingin jujur pada diri saya sendiri, Tuhan, bahwa saya ingin menghentikan semua
ini. Saya lelah... saya sangat lelah. 2016 seperti jalur marathon sepanjang 366
KM, yang membuat saya terus berlari tanpa henti sampai saya sesak luar biasa.
Tuhan, sekarang saya sedang memulai garis start yang baru, bisakah saya
lebih kuat lagi untuk menghadapi 363 KM ke depan?
Saya harap,
saya benar-benar kuat. Kuat untuk mengikhlaskan kenyataan. Kuat untuk merelakan
kepergian. Dan kuat untuk berdamai dengan diri sendiri.
0 komentar