Menu

Wednesday, February 8, 2017

Tentang Sebesi dan Orang Asing Itu


Saya nggak tahu motivasi apa yang memutuskan saya menulis postingan ini. Tiba-tiba saja, tangan saya tergerak untuk membuka laman blog dan jemari saya langsung menulis judul di atas. Bahkan, sampai detik ini, saya masih meyakinkan diri untuk melanjutkan tulisan ini. Sejujurnya, saya merasa aneh dan... sedikit canggung. Tapi, coba kita mulai saja karena laman ini sudah terlanjur terbuka dan saya nggak mau menyia-nyiakan kuota.

10 hari kemarin, saya baru saja mengikuti salah satu kegiatan dari kampus. Kegiatan ini diwajibkan untuk para pimpinan organisasi beserta calon dewan Serikat Mahasiswa (seperti BEM) sebagai bentuk tahap jenjang kaderisasi. Kami ditugaskan untuk pergi ke salah satu pulau terpencil di provinsi Lampung, yaitu Pulau Sebesi. Di sana, ada banyak sekali agenda yang harus kami lakukan, yang kebanyakan adalah bentuk dari penerapan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, hingga pengabdian masyarakat.

Awalnya, saya cukup skeptis mengikuti kegiatan ini. Bayangkan saja, bagaimana kami bisa melakukan tiga hal tersebut hanya dalam waktu 10 hari? Belum lagi, begitu sampai di Pulau Sebesi, saya baru tahu kalau pulau itu hanya punya fasilitas listrik dari jam 6 sore sampai 12 malam. Tidak ada sinyal di sana, kecuali kami mau berjalan cukup jauh ke dermaga. Banyak binatang seperti kerbau, kambing, dan anjing yang berlalu-lalang dengan bebas. Jalanan minim lampu, sehingga malam benar-benar terasa gelap. 

But, every cloud has a silver lining. Keraguan saya perlahan-lahan hilang dan digantikan dengan kenyamanan. Sering kali kita terburu-buru memikirkan hal negatif sebelum benar-benar merasakan pengalamannya. Pulau Sebesi meninggalkan banyak sekali cerita yang bahkan tak pernah saya ekspetasikan. Hari ini, saya duduk di kamar dan kembali dengan laptop saya, diam-diam mulai merindukan Desa Tejang yang mungil namun penuh kenangan yang membuat siapa pun merasa hangat. 

Ketika memasuki hari keempat, saya baru sadar betapa keterbatasan yang kami rasakan sama sekali tidak menghalangi kami melakukan banyak hal. Kami memang tidak menemukan pemandangan pencakar langit yang sering kami lihat di Jakarta, tapi hamparan laut biru yang luas benar-benar memanjakan mata. Bahkan, kami sama sekali tidak bergerak menuju dermaga untuk mencari sinyal (kecuali ketika dalam keadaan darurat) dan memilih untuk duduk di rumah bersama house fam kami, makan pisang rebus sambil mengobrol tentang apa pun. Keterbatasan sinyal yang awalnya menjadi hal yang kami ragukan, justru menjadi bentuk kesyukuran karena kami bisa menghargai kehadiran satu sama lain dan mendengarkan obrolan dengan intens tanpa dering ponsel dan notifikasi dari media sosial. Bahkan, jalanan gelap yang awalnya membuat saya takut, justru menjadi satu hal yang saya sukai ketika saya terlentang di atas rumput dan melihat bintang-bintang yang sungguh terang, pemandangan yang mungkin tak bisa saya dapati di Jakarta atau kota mana pun. Banyak hal kecil yang mengubah saya, mulai dari menandaskan sisa makanan di piring saya tiap makan, padahal kalau di rumah saya jarang menghabiskannya. Tidur tanpa kipas angin dan lampu, tapi tetap nyenyak dan bisa mimpi indah. Sampai kulit hitam terbakar matahari, tapi tidak membuat saya menggerutu. Saya baru tahu bahwa hidup di luar zona nyaman rasanya akan senyaman ini.

Satu hal lain yang membuat pengalaman 10 hari kemarin terasa lebih menyenangkan, mungkin karena orang itu. Ya, mungkin hal ini akan terdengar klise. Tapi, saya ingin sekali menuliskan cerita ini, paling tidak untuk saya kenang, entah sampai kapan.

Kampus kami kecil, hanya ada tiga fakultas dan delapan jurusan. Tapi, lucunya, saya tidak kenal orang itu. Bahkan, saya baru lihat dia ketika kami mengikuti kegiatan ini. Awalnya, saya apatis dan tidak terlalu memperhatikan dia. Sampai hari ketika kami berada di perahu yang membawa kami dari Dermaga Canti ke Dermaga Tejang, saya duduk di samping orang itu. Hal klise selanjutnya adalah perahu kami tiba-tiba miring dan refleks saya pegangan sama dia. Di situlah, saya baru benar-benar sadar keberadaan orang itu. Tapi, setelah itu kami langsung bertukar posisi, dan saya duduk di bagian belakang perahu. 

Hari-hari selanjutnya berjalan biasa saja, saya tidak lagi memperhatikan dia dan sibuk mengikuti kegiatan. Sampai di hari ketiga, dia terpilih menjadi koordinator project kami, dan di situlah saya mulai memperhatikan dia lagi. Saya masih ingat ketika untuk pertama kalinya saya menatap dia saat dia bicara, lalu dia menatap balik ke arah saya, dan saya langsung memalingkan wajah. Aneh, saya langsung merasa canggung sama dia waktu itu. Tapi, saya kagum cara dia mengoordinir kami, memperlakukan kami sebagai timnya, dan mendengarkan setiap pendapat yang kami utarakan. Sejak hari itu, mata saya tidak pernah absen menangkap sosoknya, yang biasanya saya abaikan. Sampai suatu hari ketika saya baru pulang dari dermaga untuk cari sinyal, saya bertemu orang itu dengan motor pinjaman, dan dia menawari tumpangan. Biasanya, saya ragu untuk menerima tumpangan dari orang yang belum saya kenal, tapi entah mengapa hari itu saya mengangguk dan duduk di boncengannya. Untuk pertama kalinya, kami mengobrol, walaupun cuma sebentar dengan topik yang sangat sederhana. Saya masih ingat aroma bajunya selama kami duduk di atas motor dan caranya mengucapkan "sama-sama ya" ketika saya berterima kasih.

Entah mengapa, sejak itu, selalu ada momen ketika kami bisa mengobrol meski cuma hal-hal singkat dan ada banyak hal kecil yang membuat saya tersenyum ketika bersama dia. Seperti ketika saya bantu menghitung IP semesternya, ketika dia lari sambil membuka kemeja hitam ke arah laut kemudian kembali membawa bulu babi hasil temuannya, ketika dia naik kano sendirian, ketika hujan turun di malam hari dan kami ada di bawah payung yang sama, ketika dia sangat intens menonton film Sang Pemimpi, sampai ketika mata kami saling bertemu untuk ke-sekian kalinya. 


Hal lucu lain yang baru saya sadari adalah letak host fam-nya yang ternyata berada di seberang host fam saya. Sejak itu, saya sering mengintip aktivitas dia di teras lewat jendela. Ketika dia minum teh sambil duduk di pagi hari atau ketika dia mengobrol dengan housemate-nya malam-malam. Kegiatan mengintip ini benar-benar bodoh, tapi saya tidak bisa berhenti melakukannya. 

Saya suka tiap kali dia ada di dekat saya. Ketika kami membangun benteng pasir di Pulau Umang-umang, sambil bermain game "12 facts about..." bersama peserta lain yang entah perlu saya syukuri atau tidak karena saya kebagian menjawab "12 facts about..." orang itu. Saya baru mengenalnya beberapa hari, jadi saya hanya menyebutkan fakta-fakta yang saya lihat. Bahkan, saya salah menyebut tim bola favoritnya, yang membuat teman-temannya menyoraki "salaaaah" ke arah saya saat itu. 

Perasaan ini sungguh asing, mengingat sudah hampir dua tahun saya tidak pernah merasakannya lagi. Tapi, satu hal yang membuat saya bersyukur mengenal orang itu, dia berhasil membuat saya melupakan luka-luka lama saya. Saya masih membawa luka itu begitu saya tiba di Pulau Sebesi, tapi saya berhasil pulang tanpa membawanya lagi. Dia mungkin hanya orang yang masih asing, tapi kehadirannya seolah bisa menyembuhkan rasa sakit saya selama ini. Sampai hari ini, saya masih tidak percaya, kenapa orang ini? Kenapa dia yang bisa membuat sedih saya hilang? Tapi, ya... sesuatu yang menyenangkan memang hadir ketika kita tak banyak berekspetasi.

Tapi, menjelang hari kepulangan kami, saya tidak bisa memungkiri ada sedikit rasa kecewa dan takut dalam diri saya. Bagaimana kalau setelah ini kami kembali menjadi asing? Meski saya tahu, kami akan bekerjasama selama satu tahun ke depan. Bagaimana kalau perasaan ini hadir hanya karena keterbatasan dan kesepian yang sama-sama kami rasakan? Bagaimana kalau setelah ini, kami tidak bisa seperti kemarin lagi?

Jadi, dua hari sebelum kami pulang ke Jakarta, saya menghabiskan lebih banyak waktu bersama orang itu. Ketika kami kembali duduk di atas motor melewati hutan di dusun Regahan Lada yang gelap dan saya mendongak melihat ribuan bintang yang menemani kami, momen itu tak akan terlupakan. Ketika kami duduk bersebelahan di tronton yang akan membawa kami ke pelabuhan Bakauheni, kami berdua tidur dan dia membangunkan saya ketika kami tiba. Ketika kami berdiri di dek kapal, melihat matahari perlahan tenggelam sampai adzan magrib berkumandang. Dan ketika dia berjalan di sebelah saya keluar dari pelabuhan menuju bus sambil menikmati pikiran dan perasaan kami masing-masing.

Kami memang tidak melakukan hal-hal besar, tapi menyadari keberadaan satu sama lain rasanya sudah sangat cukup. Di dekat dia, saya tidak berdebar-debar, tapi justru merasa nyaman dan aman. Entahlah, apakah setelah ini kami masih diberi kesempatan? Namun, apa pun itu, saya ingin berterima kasih karena kehadirannya sudah membuat saya melepaskan rasa sakit yang lalu.

I know, it may be too early to say this...

But, Dude, thanks for letting me know how does it feel to be in love again.

No comments:

Post a Comment