Dewasa
ini, integritas telah menjadi satu hal yang marak digembar-gemborkan oleh
masyarakat. Integritas dianggap sebagai alat pengukur konsistensi seseorang,
yang mana sering kali dikaitkan kepada generasi muda. Generasi muda yang
dianggap sebagai motor penggerak dan pelopor perubahan untuk masa depan,
dinilai wajib memiliki integritas dalam dirinya. Akan tetapi, apakah menanamkan
integritas di dalam diri setiap orang adalah hal yang mudah? Integritas
bukanlah persoalan reputasi, melainkan kesesuaian anatara perkataan dan
perbuatan. Integritas adalah konsistensi yang tak tergoyahkan dalam menjunjung
tinggi nilai-nilai luhur dan keteguhan dalam mempertahankan kejujuran. Apakah
kini semua orang, termasuk generasi muda, memiliki integritas dalam
dirinya?
Kenyataannya,
integritas adalah barang langka yang tak mudah didapatkan. Kenyataannya, banyak
orang sibuk menyuarakan integritas sebagai kunci kemajuan suatu bangsa, namun
tak diimbangi oleh perbuatan mereka dalam menjunjung tinggi nilai-nilai
kejujuran.
Salah
satu godaan besar integritas adalah budaya pragmatis. Dalam dunia yang semakin
terbuka akan modernisasi, banyak orang memilih untuk melakukan sesuatu secara
instan. Ketika dunia ini telah berubah menjadi instan, maka kemustahilan
sekejap menjelma jadi kemungkinan. Tidak sedikit masyarakat, terutama generasi
muda, seolah melupakan arti penting dari ‘berusaha’ dan menjadikan kemodernan
itu sebagai fasilitas untuk mendapatkan sesuatu secara praktis. Tak jarang,
mereka menghalalkan segala cara untuk meraih kepentingan agar mendapat hasil
yang memuaskan. Ketika masyarakat mudah mendapatkan sesuatu secara praktis,
akankah integritas masih berdiri kokoh dalam diri mereka? Budaya pragmatis
memang menjadi hal positif jika dikaitkan dengan inovasi yang berujung pada
pembangunan suatu negara. Akan tetapi, jika budaya pragmatis dijadikan alat
untuk mencari jalan pintas, kita sama saja telah berbuat curang.
Dimulai
dari hal kecil, seperti mencontek saat ujian dan menitipkan absen ke teman. Di
dunia digital yang semakin terbuka, beberapa generasi muda memanfaatkan Google
untuk membantu mereka menemukan jawaban saat ujian. Bagi mereka, mencontek
sudah menjadi hal yang lazim, karena secara tidak langsung hal itu pun telah
membudaya di kalangan pelajar. Ditambah lagi, jika orang-orang di sekitar
mereka melakukan hal yang sama. Titip absen juga menjadi fenomena yang tak
terhindarkan, khususnya di kalangan mahasiswa. Bahkan, banyak mahasiswa menilai
solidaritas seseorang melalui perilaku titip absen tersebut.
Sungguh
ironis ketika banyak orang kini menganggap bahwa mencontek dan menitip absen
adalah sebuah kebiasaan, yang mana hal itu tidak lagi menjadi sesuatu yang
disegani. Selain titip absen dan mencontek, apakah perbuatan curang lainnya
juga dianggap sebagai sesuatu yang biasa? Persoalan mencontek memang terjadi
pada konteks personal yang mana hal itu tidak merugikan orang lain dalam segi
materi secara besar-besaran, tetapi apakah mencontek itu adil jika
terus-menerus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari? Padahal, ujian adalah
salah satu bentuk evaluasi pembelajaran mahasiswa, yang mana mereka ditantang
untuk menguji diri sendiri sejauh mana mereka bisa memahami materi selama
perkuliahan. Sayangnya, ujian saat ini dipandang sebagai suatu masalah yang
harus dihadapi, bagaimana pun caranya, yang penting hasil akhirnya memuaskan.
Banyak mahasiswa kini lebih berorientasi pada hasil, bukan lagi proses. Inilah
salah satu bukti dari budaya pragmatis. Tak hanya itu, persoalan titip absen
juga mampu menggoyahkan integritas mahasiswa. Mereka seolah menyepelekan
peraturan yang ada dan mementingkan diri mereka sendiri. Lebih parahnya, mereka
yang mau menuliskan absen untuk temannya, seolah tidak menyadari bahwa mereka
telah dibodohi karena hadir di kelas hanya untuk mengisi absen temannya yang
tidak hadir. Sayangnya, lagi-lagi, banyak orang menganggap hal itu adalah
sesuatu yang biasa.
Dalam
Teori Chaos, ada satu istilah yang disebut dengan Butterfly Effect. Istilah ini
pertama kali dipakai oleh Edward Norton Lorenz, merujuk pada pemikiran bahwa
kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil dapat menghasilkan tornado di
Texas beberapa bulan kemudian. Kepakan sayap kupu-kupu secara teori menyebabkan
perubahan-perubahan sangat kecil dalam atmosfir bumi yang akhirnya mengubah
jalur angin ribut (tornado) atau menunda, mempercepat, bahkan mencegah
terjadinya tornado di tempat lain. Kepakan sayap ini merujuk kepada perubahan
kecil dari kondisi awal suatu sistem, yang mengakibatkan rantaian peristiwa
menuju kepada perubahan skala besar.
Jika
dikaitkan dengan persoalan sebelumnya, Butterfly Effect ini bisa saja terjadi
jika kita menyepelekan hal-hal kecil. Mungkin banyak orang memandang bahwa
mencontek atau titip absen bukanlah hal yang harus dicegah dan dikhawatirkan
secara serius, karena itu hanya ‘perbuatan kecil’. Tapi, tanda disadari,
perbuatan itu telah meruntuhkan integritas seseorang, yang mana jika tidak
dilawan, akan terus tumbuh menjadi sebuah kebiasaan. Kita tidak pernah tahu,
bahwa perbuata kecil seperti mencontek bisa berakhir menjadi pengorupsian uang
secara besar-besaran. Semua ini tidak hanya dilihat dari tindakannya, tetapi
juga nilai integritas yang tidak lagi dijunjung.
Ini
adalah tantangan bagi kita semua. Coba bertanya pada diri masing-masing, apakah
kita ingin terus menjadi bangsa yang terjajah oleh budaya instan dan
menghalalkan segala cara? Tentu saja, pendidikan karakter harus lebih
diutamakan dalam sistem pendidikan di Indonesia saat ini. Akan percuma jika
kita menelan berbagai ilmu yang mendukung kemajuan bangsa, namun tetap mengisap
karakter yang bobrok dalam diri kita. Bangsa yang besar adalah bangsa yang
memiliki karakter kuat dalam dirinya. Jangan malu jika hasil belajar membuatmu
tak puas, malulah jika hasil itu didapat dengan cara yang culas. Mengubah
karakter pun tak bisa dilakukan sekejap mata, semuanya butuh proses, tergantung
bagaimana kita bertekad untuk memulainya. Jadikanlah budaya pragmatis sebagai
masa lalu yang harus diperangi, bukan menjadi masa yang terus-menerus
disinggahi. Bersiaplah untuk membangun masa depan yang lebih baik sebagai
generasi yang tegas, generasi berintegritas.
(Tulisan
ini juga diposting di laman Young On Top https://www.youngontop.com/articles/integritas-di-tengah-budaya-pragmatis)
0 komentar