Perjalanan tahun ini diakhiri oleh berkelana bersama mereka. Di sela-sela mengurus portofolio laporan magang dan menunggu sidang, saya dan teman-teman saya (Bulan, Eggy, Ibnu, Theresa, dan Vani) akhirnya memutuskan untuk rehat sejenak dan liburan ke luar kota. Kebetulan, kali ini kami kedatangan tamu khusus, yaitu Theresa, teman Bulan dari Jerman saat mereka mengikuti pertukaran pelajar semasa SMA. Ini juga kali pertama bagi kami menghabiskan liburan bersama. Buat saya, liburan kali ini membawa banyak hal baru yang bisa dikenang.
Bulan dan Eggy yang merencanakan perjalanan ini. Mereka bahkan yang membuat perencanaan sampai rundown liburan, sedangkan saya, Ibnu, Theresa, dan Vani tinggal terima jadi! Hahaha. Tapi, saya suka rencana perjalanan yang mereka buat, karena tempat-tempat yang kami kunjungi benar-benar menarik.
Akhirnya, kami memilih waktu satu minggu untuk pergi. Destinasi pertama kami adalah Wonosobo. Kebetulan, Eggy tinggal di sana dan kami akan menginap di rumahnya. Ini kali kedua saya mengunjungi Wonosobo dan menginap di rumah Eggy. Meski sudah dua kali, saya nggak pernah bosan pergi ke Wonosobo. Ada nuansa tersendiri yang membuat saya senang kembali ke sana. Mungkin karena cuaca yang dingin, juga destinasi wisata yang masih sangat alami.
Kami berangkat dari Jakarta dengan bus dari Terminal Kampung Rambutan sore hari. Harga tiket bus yang kami pilih lumayan mahal, sekitar 132.500 rupiah, tapi kami mendapatkan fasilitas seperti selimut, kursi empuk, inner toilet, sampai makan malam. Ini bisa jadi salah satu rekomendasi jika kamu pengin liburan ala backpacker tapi tetap nyaman, karena perjalanan yang ditempuh lumayan lama yaitu 12 jam. Di sisi lain, memilih perjalanan malam hari lebih aman (buat saya), karena kita bisa lebih banyak istirahat.
Kami sampai di Wonosobo sekitar pukul lima pagi. Kebetulan saat itu kami dijemput oleh Pakde-nya Eggy menuju rumahnya di daerah Kaliwiro. Perjalanan menuju Kaliwiro sangat indah saat matahari terbit karena berada di dataran tinggi yang dikelilingi hutan pinus. Kami langsung disambut oleh orangtua, kakek, dan nenek-nya Eggy (kami biasa panggil Akung dan Uti) begitu sampai di rumahnya. Ibu dan Uti-nya Eggy menyediakan banyak sekali makanan yang mungkin menjadi salah satu momen favorit saya setiap berkunjung ke Wonosobo. Serius, masakan mereka enak! Mungkin berat saya bertambah satu kilo sepulang dari Wonosobo, hahaha.
Keluarga Eggy benar-benar menyambut kami seperti bagian dari anak/cucu sendiri. Ditambah lagi, Eggy punya Akung yang hobi bercerita dan sering berbagi tentang apa pun yang pernah dialaminya. Kami sering duduk di ruang tamu sambil mendengarkan dan menimpali ceritanya. Walau sudah menapaki usia senja, Akung dan Uti-nya Eggy sangat berkharisma. Terlihat sekali mereka menikmati hidup mereka sampai tua, mungkin itu yang membuat mereka tetap bugar sampai saat ini.
Baca rekomendasi tempat wisata lainnya di Menikmati Akhir Pekan di Bukit Cikahuripan Resort.
Bisa dibilang, Theresa adalah tamu istimewa di sini. Jadi, kami excited mengenalkan dia dengan budaya Indonesia, mulai dari makanan, sampai bahasa. Bahkan, kami ajak dia naik motor sampai ke Alun-Alun Wonosobo, dan kami 'jejali' dia jajanan khas Indonesia seperti es dawet durian, siomay, batagor, dan jamur crispy. Theresa mengaku nggak suka pedas, jadi kami cukup memilih makanan yang kami beli. Kehadiran Theresa cukup membuat beberapa orang merasa asing, nggak jarang kami mendengar catcalling yang ditujukan ke arahnya dan itu membuat dia sedikit risih. Tapi, selebihnya, dia merasa senang karena bisa menikmati perjalanan sebagai 'orang lokal' alih-alih turis, karena ia bisa melakukan hal-hal seperti yang orang lokal lakukan.
Esok paginya, kami berangkat menuju tujuan utama kami di Wonosobo, apa lagi kalau bukan Dieng! Dieng adalah salah satu tempat favorit saya di Pulau Jawa, saya senang bisa kembali lagi ke sana. Destinasi pertama kami adalah Puncak Sikunir. Kami ingin melihat golden sunrise di sana, jadi kami memutuskan berangkat lebih awal. Kebetulan, jembatan antara Kabupaten Wonosobo dan Dieng sedang dibangun, jadi kami mengambil jalur memutar lewat Banjarnegara. Dengan sedikit tersasar dan jalan yang berlika-liku, kami akhirnya tiba di Dieng setelah empat jam perjalanan.
Sebelum mendaki, kami memastikan semuanya dalam kondisi sehat. Meski ternyata Ibnu dan Vani sedang kurang fit karena masuk angin, hahaha. Kami mulai mendaki pukul setengah empat pagi, temperatur udara di sana sekitar dua belas derajat celcius. Alhamdulillah, pagi itu nggak turun hujan dan langit cerah hingga saya bisa melihat taburan bintang-bintang (salah satu pemandangan favorit di Dieng). Kami mendaki sekitar setengah jam, udara semakin menusuk dan saya kesulitan bernapas karena dingin. Di sisi lain, Ibnu dan Vani sempat muntah di jalan karena angin lumayan kencang. Tapi syukurlah, kami bisa sampai di Puncak Sikunir bersama-sama dan menikmati golden sunrise yang indah pagi itu.
Puncak Sikunir selalu meninggalkan kehangatan dalam diri saya. Entah karena pemandangannya yang memang benar-benar menawan atau suasana yang sulit dijelaskan. Memang, pendakian kami belum seberapa dengan mereka yang sudah tiba di puncak-puncak gunung. Tapi dari mendaki, saya belajar tentang kerjasama dan melatih kesabaran untuk hasil yang memuaskan.
Setelah turun dari Puncak Sikunir, kami juga mengunjungi beberapa destinasi wisata di Dieng seperti Candi Arjuna dan Kawah Sikidang. Awalnya kami juga ingin pergi ke Telaga Warna, tapi melihat harga tiket antara turis lokal dan turis mancanegara sangat jauh (6.000 rupiah banding 200.000 rupiah, cuy!), akhirnya kami mengurungkan niat ke sana. Untuk wisata lainnya, harga tiket dibandrol mulai dari 5.000 sampai dengan 10.000 rupiah.
Oh ya, kalau sudah sampai di Wonosobo, wajib juga coba beberapa makanan khas sana seperti Mie Ongklok, Kentang Sikunir (ini saya namain sendiri), dan Manisan Carica. Mie Ongklok bentuknya mirip mie ayam namun lebih tebal dan teksturnya lebih kenyal, biasanya dimakan dengan bumbu kacang dan sate ayam. Kalau Kentang Sikunir ini enaknya dimakan waktu baru turun dari Sikunir! Bentuknya kecil-kecil dan biasanya dibuat bumbu kecap (seperti semur) oleh pedagangnya. Kalau Manisan Carica itu mirip buah pepaya yang dikemas dalam gelas plastik, manisnya pas dan teksturnya lebih gurih, tapi saya nggak foto untuk Manisan Carica-nya.
Setelah dari Wonosobo, kami melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta. Destinasi kami di Yogyakarta lumayan banyak, mulai dari Candi Borobudur, Tebing Breksi, Malioboro, Kebun Buah Mangunan, Hutan Pinus Pengger, sampai Pantai Sepanjang. Kami memang sengaja memilih wisata alam karena beberapa dari kami nggak terlalu suka wisata sejarah dalam kota (jangan ditiru, ya). Karena letak destinasi-destinasi itu cukup jauh, jadi kami harus bangun lebih pagi supaya bisa mendatangi semuanya.
Sungguh, perjalanan kali ini benar-benar menyenangkan. Saya banyak belajar, salah satunya dari Theresa, tentang bagaimana cara beradaptasi. Dia sempat curhat sewaktu kami sampai di Hutan Pinus Pengger, kalau dia merasa cukup challenging berada di negara yang berbeda budaya dengannya. Bahkan, dia sempat merasa culture shock, karena mungkin ada banyak hal yang harus dia adaptasikan dalam waktu singkat, mulai dari bahasa, makanan, sampai fasilitas yang nggak sama seperti di Jerman. Tapi, dia bilang bahwa itulah serunya traveling ke negara lain, karena kita bisa tahu sejauh mana diri kita tahan berada di luar zona nyaman. Di sisi lain, dia juga cukup menyenangkan diajak diskusi, bukan cuma hal-hal ringan, tapi juga hal-hal sensitif seperti agama. Ah, semoga saya bisa bertemu dengan dia lagi. Di Jerman, mungkin? Hahaha.
Perjalanan kali ini nggak bakal sempurna tanpa bantuan dari keluarga Eggy juga. Saya sadar kami banyak sekali merepotkan dengan menginap dan makan secara cuma-cuma, tapi keluarganya benar-benar menyambut kami dengan begitu hangat, membuat kami merasa seperti punya keluarga baru. Semoga mereka dilimpahkan rezeki dan sehat selalu. :)