Menu

Saturday, July 21, 2018

Tumpukan Buku Usang di Galeri Buku Bengkel Deklamasi


Pada satu akhir pekan, saya dan dua orang teman pergi ke Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, untuk menghadiri salah satu festival kebudayaan. Itu adalah kali pertama bagi saya bertandang ke Taman Ismail Marzuki, selama ini saya hanya mendengar dan membaca nama tempat itu di portal berita atau ucapan teman, namun hari itu saya berkesempatan untuk menjejakkan kaki di sana secara langsung. Beberapa teman saya juga sering berkumpul di tempat ini, ada banyak pagelaran seni maupun sastra yang diadakan, kata mereka. Mungkin itu mengapa nuansa Taman Ismail Marzuki tak lepas dari dua unsur tersebut.

Kebetulan, festival yang akan saya hadiri baru dimulai pukul empat sore, sedangkan saya dan teman-teman sudah tiba di Taman Ismail Marzuki sejak pukul tiga. Alhasil, kami menghabiskan waktu untuk berkeliling dan memperhatikan aktivitas anak-anak yang tengah bermain layang-layang di sekitar area Teater Besar. Melihat sekeliling Taman Ismail Marzuki membuat saya seolah tidak sedang berada di Jakarta. Entahlah, aura tempat itu menimbulkan kesan melankolis dan romantis (atau mungkin saya yang terlalu berlebihan) sampai-sampai saya berpikir "asyik juga kalau bisa kencan ke sini kapan-kapan."

Sambil duduk-duduk menanti festival dimulai, pandangan saya tertuju pada salah satu toko buku yang terletak di pojok gedung Graha Bakti Budaya. Saya langsung mengajak teman-teman menghampiri toko itu. Aroma debu dan kertas usang langsung menguar. Berbagai jenis buku tua berjajar rapi di rak, dari tampilannya saya menyimpulkan toko ini menjual buku-buku bekas.


Mendatangi toko buku bekas selalu menimbulkan efek senang sekaligus sedih untuk saya. Senang, karena saya bisa melihat banyak koleksi buku langka yang usianya bahkan lebih tua daripada saya (beberapa adalah cetakan pertama dengan kertas yang sudah robek di bagian ujung dimakan rayap). Sedih, karena buku-buku ini seolah 'dibuang' oleh pemilik mereka, dibiarkan tak terbaca bertahun-tahun, dan menunggu seseorang untuk mengadopsinya kembali. Buku yang dijual di toko ini benar-benar bervariasi, mulai dari buku-buku sejarah Indonesia, sampai novel luar negeri. Akhirnya, saya memutuskan untuk berkeliling toko buku sambil menunggu festival dimulai. 


Baca rekomendasi toko buku bekas lainnya di Surga Kecil di Sosrowijayan, Yogyakarta

Rasanya tidak puas hanya menghabiskan waktu sekitar setengah jam di balik rak-rak buku tua ini. Sayangnya, saya keluar dari toko buku tanpa membeli apa pun (tapi saya berjanji untuk kembali lagi!). Sepulang dari Taman Ismail Marzuki, akhirnya saya mencaritahu informasi seputar toko buku itu. Ternyata namanya Galeri Buku Bengkel Deklamasi atau biasa dikenal Toko Buku Jose Rizal Manua. Seperti namanya, toko buku ini didirikan oleh aktor Jose Rizal Manua pada 27 Juli 1996 (bahkan saya belum lahir) dan dihadiri oleh para budayawan, sastrawan, dan seniman terkemuka seperti Rendra, Taufiq Ismail, Iwan Fals, Seno Gumira Ajidarma, Eka D. Sitorus, dan masih banyak lagi. (Sumber: https://nusantaranews.co/sejarah-singkat-galeri-buku-bengkel-deklamasi-tim/).

Ide awal Jose Rizal Manua mendirikan toko buku ini adalah ketika ia berkunjung ke Broadway dan melihat banyak sekali penjual buku bekas sepanjang jalan. Dari sana, ia berpikir bahwa akan menarik jika bisa melakukan hal yang sama di Jakarta. Bagi saya, toko buku bekas di pojok Graha Bakti Budaya ini menjadi potret tersendiri di balik megahnya gedung-gedung pusat perbelanjaan Jakarta yang ramai dengan merk-merk luar negeri. Toko buku ini seolah menjadi saksi bahwa zaman boleh berubah, tapi pemikiran selalu hidup di atas kertas-kertas usang tak tersentuh, walau pemikir yang menuangkannya mungkin sudah berada di tempat antah berantah saat ini. 


Sayangnya, toko buku ini memang tidak terlalu ramai dikunjungi anak muda. Mungkin karena jenis buku yang dijual kebanyakan buku-buku edisi lama. Ditambah lagi, ada berita yang sempat mengabarkan bahwa toko buku ini akan digusur dan diubah menjadi kafe oleh Gubernur DKI Jakarta saat ini. Namun, saya belum menemukan kembali kabar terbaru tentang toko buku ini, apakah benar digusur atau dibiarkan tetap berada di sana? Sangat disayangkan jika toko buku ini dipindahkan, karena ada 'nyawa' tersendiri yang dihadirkan di pojok gedung Graha Bakti Budaya ini.

Tentu, saya menginginkan toko buku ini tetap ada. Selain keinginan untuk berkunjung kembali, toko buku ini juga menumbuhkan semangat membaca masyarakat Indonesia, terutama mereka yang mencari buku-buku langka untuk sekadar kebutuhan bacaan atau penelitian. Hanya dari toko buku bekas ini, banyak pemikiran bisa tergali dan menciptakan dialog-dialog baru. Seiring dengan semangat pemerintah dalam meningkatkan kegemaran membaca masyarakat Indonesia (khususnya kepada generasi muda), saya berharap mereka juga tetap tetap menjaga dan melestarikan toko-toko buku tua semacam ini. 

No comments:

Post a Comment