Credit: Paulo Evangelista on Unsplash |
- Napasku memburu. Udara musim dingin membuat tulang-tulangku ngilu. Uap putih menguar dari mulutku bersamaan dengan napas yang tersendat karena berlari terlalu jauh. Aku tidak mengacuhkan air mata yang sejak tadi menghangat di pipiku, juga rasa sakit yang meletup-letup dalam dadaku. Kubiarkan orang-orang mengumpat karena sejak tadi aku menyenggol pundak dan menghalangi jalan mereka. Aku tidak peduli, dunia ini benar-benar membuatku penat.
“Brak!”
“Selamat datang,” Suara lembut ibu menyambut
dari arah dapur, namun aku tidak mengacuhkannya dan melangkah cepat menuju
kamar mandi. “Airi... kenapa tidak memberi salam?”
Aku tidak menjawab dan mengunci
pintu kamar mandi rapat-rapat. Aku tak bisa menahan diri lagi, ucapan mereka menggema
di telingaku, membuat dadaku semakin nyeri. Kubuka tutup kloset dan kubungkukkan
tubuhku di depannya. Air mataku merebas, menimbulkan tetesan kecil di dalam
kloset.
Kau
dengar, kan, Akiyama? Kau obesitas.
Kumasukkan telunjuk ke kerongkongan
dan kutekan-tekan perutku sampai mual, berharap bisa memuntahkan sesuatu dari
tubuhku yang mereka bilang obesitas ini. Mataku memanas, perutku
mulai terasa sakit karena tekananku sendiri.
Memangnya
kau tidak sadar betapa gemuknya dirimu? Lihat lipatan-lipatan perutmu, seperti
kuda nil, kau tahu? Bukankah kami pernah mengingatkanmu untuk berolahraga?
Tangisku
semakin pecah. Isi perutku keluar memenuhi kloset. Kutekan tombol flush lalu kuulangi lagi hal yang sama. Aku
terus mengeluarkan muntahan sekeras yang aku bisa. Kudengar ibu memukul pintu
sembari memanggilku. Namun, aku tidak berhenti.
Kenapa kau menangis,
Akiyama? Kau sedih karena aku menyebutmu gemuk?
Aku ingin memuntahkan semuanya agar
mereka tidak menyebutku dengan kata itu lagi. Aku benar-benar muak. Aku benci
dengan tubuh gemuk ini.
Cairan pahit keluar dari mulutku.
Kujatuhkan tubuhku di depan kloset dan menangis sejadinya. Perutku kram, aku
tidak bisa mengeluarkan apa pun lagi. Kepalaku pening, pandanganku
berputar-putar. Dengan susah payah, aku menegakkan tubuh dan membuka kunci
pintu. Hal pertama yang kulihat adalah raut wajah cemas ibuku, ia menarik
tanganku untuk mendekat dan mengusap pipiku.
“Airi... ada apa denganmu?” tanyanya
getir. Namun aku hanya bisa menunduk, tak lagi memiliki tenaga untuk menatap apalagi
menjawab pertanyaannya.
“Apa yang terjadi? Ada masalah apa dengan
tes kesehatanmu?”
Aku melepaskan diri dari genggaman
ibuku dan berjalan cepat menuju kamar. Mengurung diri adalah hal yang ingin sekali
kulakukan kali ini. Aku tidak bisa lagi menahan rasa kecewa yang ditumpahkan
padaku sejak dua tahun terakhir. Rasanya aku ingin meledak dan menancapkan
kepingan kekecewaan itu pada semua orang.
Mereka tak pernah tahu apa yang
sesungguhnya aku rasakan. Gadis itu, Miyazaki Sora, tampaknya tak pernah puas
menjadikanku sebagai boneka penindasannya. Entah kesalahan apa yang kuperbuat,
ia seperti membenciku sampai ke ubun-ubun. Sejak aku bertemu dengan Miyazaki,
aku mulai tak menyukai hidupku. Sekolah adalah neraka bagiku karena di sana aku
akan bertemu dengan gadis itu dan menjadi korban kesenangannya entah untuk ke berapa
kalinya. Mataku tertuju pada kacamata dengan gagang patah yang kini teronggok
di atas meja belajar. Kacamata yang kudapat dari hasil menabung selama dua bulan,
diinjak begitu saja olehnya seolah benda itu tak berharga. Ia tak pernah tahu
bagaimana aku kesulitan melihat tanpa kacamata itu. Ia tak pernah tahu bahwa
menangis adalah satu rutinitas yang kulakukan tiap kali tiba di rumah karenanya.
Aku tak pernah mencampuri urusannya, namun gadis itu selalu saja merusak
hari-hariku. Selama dua tahun, aku tidak memiliki teman di sekolah. Aku tidak
memiliki seseorang yang bisa kuajak berbagi, menemaniku makan siang, belajar
bersama, atau pergi ke tempat-tempat menyenangkan seperti yang ia lakukan
bersama teman-temannya. Aku merasa tidak adil karena mendapatkan itu semua tanpa
tahu apa salahku!
Sayangnya, aku selalu dikalahkan
oleh rasa takut dan tidak percaya diri untuk melawannya. Aku memilih untuk
menyimpan rasa sakitku, membiarkannya mengendap, dan meluapkannya dengan
tangisan. Diam adalah caraku untuk menutupi rasa sakit meski kutahu hal itu
justru menambah lukaku dengan menyerahkan diri untuk penindasan-penindasan
selanjutnya.
Ucapan Miyazaki saat tes kesehatan
tadi tertancap di benakku. Sensei mengatakan
berat badanku meningkat, kali ini melebihi tinggi tubuhku. Ia mengatakan bahwa
kondisiku sekarang obesitas dan tidak baik bagi kesehatan. Aku sangat paham
dengan hal itu, berbagai informasi tentang obesitas sudah kuketahui bahkan
sebelum tes itu berlangsung. Namun, tubuh gemuk ini datang karena aku tidak bisa
menahan rasa laparku. Ibu selalu bilang bahwa makanan adalah rezeki yang harus disyukuri,
karena itulah aku tak pernah memilih soal makanan dan menyantap apa pun yang
disediakan di rumah. Belum lagi camilan-camilan yang selalu menjadi teman
belajarku, aku benar-benar tidak bisa menyingkirkan mereka. Namun aku tahu, aku
tidak bisa seperti ini selamanya.
Aku
harus menjadi kurus.
Aku akan membuktikan pada Miyazaki
bahwa aku bukan lagi gadis gemuk yang bisa diolok-olok seenaknya! Mulai hari
ini, aku tidak akan menyentuh makanan apa pun yang disediakan ibu. Aku akan
berhenti.
Ketika jam makan malam tiba, aku
tidak keluar dari kamarku. Ibu lagi-lagi mengetuk pintu sambil memintaku
keluar. Kudengar suara ayah turut memanggilku, ia sudah pulang rupanya. Mereka membujukku
untuk makan malam bersama, namun aku tidak menghiraukannya. Rasa lapar
bercampur nyeri dalam perutku pun tidak kupedulikan. Aku hanya menangis sambil
menyembunyikan wajahku di atas bantal. Kepalaku terasa semakin lengar,
pandanganku seolah dikerubuti semut, dan perlahan-lahan... segalanya menggelap.
***
“Aku
pulang.”
Pandanganku tertuju ke arah pintu,
mendapati ibu masuk sambil tersenyum. Kulihat tangan kirinya memegang bungkusan
yang cukup besar, sepertinya ia baru saja berbelanja.
“Selamat
datang.”
Ibu
berjalan menuju dapur, sementara aku kembali pada tayangan berita di televisi.
Lima hari yang lalu, aku dilarikan ke rumah sakit. Menyadari aku tak kunjung
menjawab sahutan orangtuaku malam itu, ayah nekat mendobrak pintu dan
menemukanku pingsan di tempat tidur. Aku mendapat perawatan intensif selama dua
hari di rumah sakit, merasakan tusukan infus, dan makan makanan rumah sakit
yang hambar. Ya, aku terpaksa makan karena tidak punya pilihan lain. Setidaknya,
makan makanan tawar itu membuatku dipulangkan lebih cepat.
Anehnya,
beberapa teman sekelasku datang menjenguk. Mungkin ibu menelepon wali kelasku
dan mengabarkan kondisiku. Aku merasa canggung pada teman-temanku, sedikit
tidak percaya bahwa mereka rela datang hanya untuk mengetahui keadaanku.
Pastinya, tidak ada Miyazaki Sora dan teman-temannya di antara mereka. Namun entah
kenapa, aku menemukan setitik kehangatan dari kehadiran teman-temanku.
“Kau sudah minum obatmu, Airi?”
“Sudah,
Bu.”
Aku
melirik gelas di tanganku. Cairan berupa cuka hitam telah menjadi temanku
beberapa hari ini. Aku tahu, yang ibu maksud pasti obat dengan resep dokter.
Sebenarnya, aku tidak pernah menyentuh tablet-tablet itu. Cuka hitam inilah yang
menjadi obatku. Obat yang akan membuatku lebih kurus dari sebelumnya.
Aku
menemukan informasi tentang minuman ini di internet. Dengan frustasi, kucari
segala referensi tentang cara diet paling ampuh. Salah satu artikel yang muncul
memberiku saran untuk mencoba minuman ini. Lagipula diet cuka hitam memang
sudah terkenal di sini. Beberapa warung minum bahkan menyediakan cuka hitam,
namun mereka pasti tidak akan mengizinkanku minum banyak. Maka lekas aku
membeli kurozu[1]
di supermarket. Rasanya manis bercampur asam, membuatku mengernyit tiap kali
meminumnya. Setelah minum kurozu,
perutku langsung terasa panas luar biasa. Mungkin karena aku minum di luar
dosis yang seharusnya. Tiga hari mengonsumsi minuman itu, efek samping langsung
berdatangan. Panas dan mual di perut, juga pusing yang tak keruan. Namun aku
mencoba menyembunyikan semua itu dari orangtuaku.
Sejak
mengonsumsi obat dietku, aku tidak pernah makan. Aku hanya menemani orangtuaku
di meja makan dan tidak menyantap apa pun. Bukan sekali atau dua kali orangtuaku
memaksa. Dan untuk pertama kalinya, aku mendebat orangtuaku. Perasaan bersalah
bersarang dalam hatiku, namun untuk kali ini, aku bertekad menurunkan berat
badanku.
“Kenapa
kau masih minum cuka itu?” tanya ibu dengan nada tinggi lalu meraih gelas di
tanganku. “Airi, kau harus berhenti mencari penyakit.”
“Ini untuk kebaikanku, Bu."
“Apa kebaikan bagimu adalah menyakiti
dirimu sendiri? Ibu cuma ingin melihatmu makan malam bersama kami, Airi. Sudah
berapa banyak masakan Ibu yang kau abaikan begitu saja?"
“Aku ingin diet, Bu. Tolong jangan
menahanku untuk masalah ini.”
Ibu mendecakkan lidah. “Sudahlah. Lebih
baik kau bantu Ibu siapkan makan malam. Kita akan kedatangan tamu malam ini. Ibu
akan buatkan makanan kesukaanmu, jadi kau harus makan."
“Tamu? Siapa?”
Belum selesai rasa penasaranku, bel pintu
rumahku berbunyi. Ibu memainkan alisnya, memintaku untuk membukakan pintu.
Ketika aku memutar kenop, seorang cowok berdiri di hadapanku. Mataku membesar. cowok
itu menyeringai lebar. Rambut hitamnya terlihat rapi, sepertinya baru saja
dipotong. Ia mengenakan sweter merah gelap dan celana khaki.
“Hai, Airi-chan,” sapanya. “Wow, ke mana kacamatamu?”
“Yuki...” bisikku, tidak percaya melihat
sahabat kecilku yang sudah lama tidak kujumpai kini berdiri di depanku. “Itu...
nanti saja kuceritakan.”
“Kau tidak mempersilakan aku masuk? Di
luar dingin, tahu.”
“Ah... masuklah, Yuki.”
“Omong-omong, aku bawa es krim dan puding
kesukaanmu. Maaf tidak menjengukmu di rumah sakit kemarin. Ibumu bilang, kau
sedang tidak nafsu makan akhir-akhir ini. Tumben sekali.” Yuki menyodorkan
kantong putih padaku.
Dengan ragu, aku menerimanya.
Sato Yuki tinggal beberapa blok dari
rumahku, kami selalu bersama sejak kecil. Namun semenjak ia diterima di salah
satu SMA terbaik di Nagano, kami jarang bertemu karena ia menetap di rumah
pamannya. Sepertinya sekarang ia sedang mendapat jatah liburan musim dingin. Aku
tidak percaya ia tiba di Tokyo dan mampir ke rumah kami tanpa memberitahuku
terlebih dahulu.
Yuki membungkukkan badan dan bertukar sapa
dengan ibuku, ibuku menyambutnya dengan semringah. Aku meletakkan oleh-oleh
dari cowok itu di kulkas dan membantu ibuku menyiapkan makan malam. Ibuku
memasak banyak sekali teppanyaki,
makanan kesukaanku. Biasanya aku akan melahap makanan itu dengan porsi besar,
namun kali ini aku harus menahan diri.
Ketika ayahku pulang, kami pun duduk
melingkar di meja makan. Aku menatap mangkuk nasi dan sup yang ada di depanku,
tidak berselera untuk memakannya. Aku beranjak dan kembali mengisi gelasku
dengan cuka hitam. Ketika aku kembali, kulihat orangtuaku mendengus sambil
menggelengkan kepala, sedangkan Yuki mengernyitkan dahinya. Aku tidak
menghiraukan mereka, hanya meneguk cairan itu sambil menahan napas.
“Kenapa kau tidak memakan nasimu, Ai? Aneh
sekali, biasanya kau makan teppanyaki
seperti babi kelaparan,” cibir Yuki sambil meraih satu daging lagi dari teppan. “Cepat makan atau kuhabiskan
bagianmu!”
“Habiskan saja,” jawabku singkat.
Yuki langsung menatap orangtuaku.
Sepertinya, ibuku paham maksud dari
tatapan cowok itu. “Akhir-akhir ini, dia cuma mau minum kurozu. Aku sudah lelah menyuruhnya makan. Padahal dia baru saja
pulih.”
“Kami sudah coba menasehatinya, tapi dia
keras sekali.” Ayahku menambahkan.
“Apa gunanya cuka hitam itu, hah? Kau mau
diet?”
Aku tidak menjawab, hanya merasakan panas
yang menjalar di perutku. Tiba-tiba, aku merasa mual. Dengan cepat, aku bangkit
dan berjalan menuju kamar mandi. Di sana, aku kembali mengeluarkan isi perutku
yang hanya berupa cairan dan cairan.
Makan malam selesai dan aku sama sekali
tidak menyentuh nasiku. Yuki menghampiriku di ruang duduk dengan raut wajah
kesal. Aku tahu ia akan memarahiku setelah ini. Namun sebelum itu, aku ingin ia
tahu masalahku. Aku tidak ingin ia menghakimiku begitu saja.
“Apa yang terjadi, Ai?” Suara Yuki
terdengar serius.
Aku menghela napas. “Sensei bilang aku obesitas...”
“Lalu?”
“...karena itu aku harus menurunkan berat
badanku.”
“Tapi kau tidak perlu terlalu keras pada
dirimu sendiri.”
“Aku tidak tahan, Yuki. Kau tidak tahu betapa
aku frustrasi karena semua orang mengejekku gemuk dan menjauhiku!” Mendadak,
air mataku meleleh. “Hanya karena aku gemuk, aku tidak memiliki teman. Hampir
setiap hari seseorang menindasku dan tak ada satu pun yang membantu. Kau tak
pernah tahu itu, kan?!”
Aku tidak pernah meledak-ledak seperti ini
sebelumnya, namun tampaknya Yuki mengerti. Ia menatapku dengan tenang dan
tatapan itu sama sekali tidak merendahkanku.
“Satu-satunya teman yang kupunya cuma kau,
Yuki. Tapi sekarang sekolahmu jauh dan aku harus menjalani semuanya sendirian.
Kau tidak tahu betapa menyakitkan rasanya.”
Yuki tidak berkata apa-apa, hanya menyeringai
lalu merengkuhku. Kubenamkan wajahku di bahu cowok itu dan menangis sepuasnya.
Sudah lama sekali aku menantikan kehadiran seseorang untuk kutumpahkan segala kegelisahanku.
Aku tahu Yuki adalah orang yang tepat, karena itu aku senang ia ada di sini.
“Aku ingin mengatakan tiga hal padamu,”
kata Yuki sambil menatapku. “Pertama, kau membuat ibumu sedih karena tidak
memakan masakan yang susah payah ia buat untukmu. Kedua, cuka hitam memang
sehat, tapi kalau kau meminumnya berlebihan, asam asetat hanya akan menyiksamu,
bukan menurunkan berat badanmu. Ketiga, bahuku pegal.”
Dengan cepat aku menegakkan tubuh. “Maaf.”
Yuki tertawa. “Ne... aku hanya bercanda, Ai. Aku rela kau buat sweterku basah
kuyup karena air matamu,” ujarnya, namun cepat-cepat ia meralat, “Ah, tidak.
Jangan menangis, Ai! Aku tidak suka melihatnya.”
Kini, aku tersenyum dan memukul bahunya
pelan. “Kau benar-benar menjengkelkan.”
“Omong-omong, besok kau ada waktu? Aku ingin
mengajakmu ke Fujioka.”
“Fujioka? Untuk apa?”
Yuki tersenyum misterius. “Kau penasaran,
ya? Kalau begitu kau harus ikut! Aku akan menjemputmu besok pukul tujuh pagi
dan jangan sampai kau lewatkan sarapanmu!”
Aku terperangah melihatnya, namun
lagi-lagi, Yuki hanya menampilkan seringai konyolnya padaku. Aku pun mengangguk
dan kembali melanjutkan obrolan dengan cowok itu. Kami membicarakan banyak hal,
termasuk perlakuan-perlakuan buruk yang kuterima di sekolah. Yuki
mendengarkanku dengan sabar dan sama sekali tidak menginterupsi. Sepertinya
malam itu adalah malam terhangat sepanjang dua tahun terakhirku.
***
Tepat
pukul tujuh, Yuki sudah tiba di rumahku dengan mantel abu-abunya. Cuaca tidak
terlalu dingin pagi ini dan salju belum terlihat meluncur dari kaki langit. Aku
dan Yuki berjalan menuju terminal, menunggu bus yang akan berangkat menuju prefektur
Gunma. Sejak tadi Yuki menanyakan apakah aku menghabiskan sarapanku, aku pun
memastikan kalau aku benar-benar sarapan pagi ini. Khusus untuk pagi ini saja,
kurasa.
“Memangnya kita akan pergi ke mana?”
tanyaku ketika kami sudah menempati tempat duduk di sisi kiri bus.
“Nikmati saja perjalananmu, Ai.”
“Ah... biar kutebak, Fuji Fureaikan?”
Yuki mendecak lidah. “Bisakah kau
menahan rasa penasaranmu? Memang cuma kau gadis di dunia ini yang tidak suka
kejutan.”
Aku mengabaikan ucapan Yuki dan
mendesaknya. “Jadi, kita akan ke Fuji Fureaikan?”
Yuki menyerah, cowok itu menggeleng dan
menatapku. “Kita akan ke Taman Sakurayama. Sudah puas kau, mata hijau?”
“Jangan mengejek lensa kontakku, Yuki! Ini
kupakai khusus untukmu.”
Tawa Yuki lepas, ia pun
mengacak-acak rambutku. Aku hanya mencibir sambil menoleh pada jendela di
sampingku. Langit biru tak berawan menemani perjalanan kami hari ini. Perlahan
salju-salju kecil pun mulai berjatuhan. Sudah lama sekali aku tidak berpergian
dengan Yuki. Kami selalu sibuk belajar pada waktu senggang dan mengikuti kursus
tambahan saat liburan. Biasanya, Yuki dan aku hanya berkomunikasi lewat
telepon. Namun kini, aku bisa menikmati liburan musim dingin bersamanya.
Sepanjang perjalanan, kami mengisi kebosanan dengan bermain tebak-tebakan atau menyanyikan
lagu-lagu dari earphone. Aku mendapati
masa kecilku kembali tiap berada di dekatnya.
Perjalanan selama dua jam tidak
terasa melelahkan. Kami tiba di depan Taman Sakurayama yang kini ditumbuhi
sakura bermekaran. Yuki terlihat sangat antusias dan menggandeng tanganku
berjalan memasuki taman. Kami menyusuri jalan setapak yang dipayungi
sakura-sakura berwarna putih merekah. Benar-benar cantik.
“Pemandangan inilah yang ingin
kutunjukkan padamu, Ai,” ujar Yuki sambil memasukkan tanganku ke saku
mantelnya. “Fuyuzakura.”
Aku mengerutkan dahi. “Sakura musim
dingin?”
Yuki mengangguk lalu menghentikan
langkahnya. Otomatis, langkahku pun ikut menjeda. Kami mengangkat wajah dan
memandangi pohon sakura di atas kami. Sakura musim dingin berbeda dengan sakura
musim semi. Bunganya berwarna putih, tak kontras dengan salju yang menyelimuti
rantingnya. Sakura musim semi sangatlah indah, namun fuyuzakura menyajikan pemandangan yang berbeda. Selain itu, fuyuzakura tidak mekar di semua tempat
di Jepang. Itu mengapa Yuki mengajakku berkelana sampai ke Fujioka.
“Kau lihat bunga-bunga itu, Ai?
Mereka bukan bunga yang ditunggu oleh banyak orang, bahkan tidak ada tradisi
khusus seperti Hanami untuk melihat fuyuzakura ini. Warnanya pun tidak
secerah sakura musim semi. Seperti albino, kau tahu?”
Aku tergelak, namun membiarkan Yuki
melanjutkan filosofinya.
“Meski begitu, bunga-bunga ini tetap
mekar sempurna. Di cuaca ekstrem dengan sedikit sinar matahari, mereka tetap
bisa bertahan hidup. Mereka menjadi indah dengan cara mereka sendiri. Tidak
peduli berapa banyak orang yang menginginkan mereka, mereka tetap tumbuh
menghiasi musim dingin yang kelabu.”
Indah
dengan sendirinya. Dalam hati, aku menyetujui kata-kata Yuki. Meski warna fuyuzakura tak secerah sakura musim semi,
kehadirannya telah membuat musim dingin yang terkesan kelam menjadi lebih
berseri.
“Kau
tahu, Ai? Terkadang kita merasa tersisihkan dan menganggap dunia ini tidak
adil. Tapi sebenarnya tidak ada hidup yang hanya berisi kesialan-kesialan. Setiap
orang pasti memiliki cerita baik dalam hidupnya yang akan membuat mereka
berpikir dua kali untuk mengakhiri hidup itu sendiri. Itu pun jika mereka
menyadarinya.”
“Tapi
Yuki... kau tidak mengerti bagaimana rasanya dikucilkan. Seperti tenggelam di dasar
lautan dan tidak ada yang menolongmu. Seburuk itu! Karena itu, aku sering kali
merasa diriku bukanlah apa-apa, mereka bahkan tak pernah melihatku.”
Yuki
menatapku serius. “Bagaimana bisa kau merasa dirimu bukanlah apa-apa? Kau
adalah Ai, sahabat kecilku yang dinobatkan menjadi siswa terbaik sejak SD, yang
membuatku susah payah menyaingi peringkatmu, yang menang dalam
kompetisi-kompetisi debat bahasa Inggris, yang membantu teman-teman di kelas belajar
sampai larut, dan yang tak pernah menyerah akan sesuatu! Ai yang kukenal
bukanlah Ai yang pengecut. Kau melupakan semua nilai-nilai dalam dirimu karena terlalu
sibuk memikirkan kelebihan dari fisikmu!”
“Kelebihan?”
tanyaku sambil tertawa hambar. “Kelebihan lemak, maksudmu?”
“Kelebihan
karena kau punya fisik yang sempurna tanpa kekurangan. Pernahkah kau menyadari
itu, Ai?”
Aku
merasakan sesuatu meninju jantungku. Kutatap cowok di hadapanku tanpa berkedip,
menemukan pancaran ketulusan dari mata teduhnya. Perlahan, tatapan itu berubah
menjadi lebih tenang dan sebuah senyuman terpahat di wajahnya.
“Bangun
kembali rasa percaya dirimu, Airi, tidak perlu merasa malu. Kau punya kuasa
atas dirimu sendiri.”
Aku
menghela napas dan kembali memandang sakura di atasku. “Tapi apa yang harus aku
lakukan agar mereka berhenti menindasku?”
“Jadilah
dirimu sendiri. Biarkan orang lain menilaimu dengan cara mereka masing-masing.
Jika mereka mampu melihat kebaikan hatimu, mereka pasti akan bertahan
bersamamu. Sesederhana itu.”
Senyumku
mengembang, hatiku mulai terasa hangat. Selama ini, aku hanya memedulikan apa
yang orang lain pikirkan terhadapku dan bersikap seperti apa yang mereka
inginkan. Namun aku tak pernah menyisakan waktu untuk memikirkan diriku sendiri
dan melakukan hal-hal seperti yang kuinginkan.
“Terima
kasih, Yuki. Kau harus sering-sering mengajakku pergi seperti ini.”
Yuki
menyeringai. “Butuh perjalanan 120 kilometer hanya untuk membuatmu sadar betapa
berharganya dirimu.”
Aku
tertawa. “Aku berjanji tidak akan meminum cuka hitam lagi.”
“Omong-omong,
kalau kau tetap ingin melanjutkan dietmu...” Yuki mengeluarkan secarik kertas
dari sakunya yang bebas. “...mungkin kau bisa mengikuti saran ini.”
Kuterima
kertas dari Yuki dan membukanya. Di sana tertera menu diet dengan mengganti
makanan utama dengan makanan yang lebih sehat beserta takaran porsinya. Aku
langsung menatap Yuki. “Dari mana kau tahu semua ini?”
Yuki
menggaruk kepalanya. “Mm... dari kakakku. Semalam aku menceritakan masalahmu
padanya dan dia memberikanku resep itu. Dia bilang, kau juga harus
menyeimbanginya dengan olahraga. Tapi ingat! Ini diet sehat, bukan diet gila seperti
yang kau lakukan kemarin.”
“Jadi,
kau juga mendukungku untuk diet?”
Cowok
itu mendecak lidah. “Diet atau tidak, kau tetap manis, kok.”
Melihat
Yuki tersipu, aku pun tertawa. Yuki tidak pernah menyebutku manis sebelumnya dan
kini wajahnya terlihat lucu sekali. Yuki mencibir padaku lalu berjalan beberapa
langkah menjauhiku. Aku langsung meminta maaf dan berlari untuk menyamainya. Berkat
Yuki, aku tahu apa yang harus kulakukan setelah ini. Aku akan menjalankan diet sehat
itu dan belajar untuk lebih percaya diri menghadapi teman-temanku.
Aku
akan menjadi sakura musim dingin yang indah dengan caranya sendiri.
No comments:
Post a Comment