Memang terlambat sekali rasanya baru menulis postingan ini setelah novel ketiga saya, Mayday, Mayday, hampir satu bulan terbit di toko buku. Bisa dibilang, saya merasakan jet lag yang cukup berat setelah menulis Mayday, Mayday. Mungkin perasaan ini muncul karena saya sudah lama (terhitung dua tahun) nggak menerbitkan novel. Itu mengapa, ketika Mayday, Mayday terbit, rasanya seperti baru pertama kali menerbitkan novel. Padahal, ini sudah pengalaman ketiga. Tapi, rasa gugup itu tetap menggerayangi saya. Berbagai pertanyaan muncul di kepala tentang apakah Mayday, Mayday akan diterima oleh pembaca atau justru membuat mereka kecewa karena begitulah... semakin banyak novel yang kita terbitkan, semakin besar pula ekspektasi pembaca terhadap tulisan kita.
Sejujurnya, Mayday, Mayday hanyalah draf 'iseng' yang cukup lama saya timbun di laptop. Saya mulai menulis Mayday, Mayday pada tahun 2016, ketika suasana hati saya sedang buruk waktu itu. Tiba-tiba, terlintas di pikiran saya untuk membuat cerita tentang pramugari, yang kebetulan sahabat saya, Nurul, baru saja masuk pendidikan pramugari saat itu. Akhirnya, saya menonton beberapa film bertema pramugari dan penerbangan. Kemudian, berbagai ide muncul di benak saya, dan cepat-cepat saya tuangkan dalam Ms.Word sebelum saya lupa. Mungkin karena saat itu saya sedang mengalami banyak kehilangan, perasaan saya dalam menulis ikut mempengaruhi hasil tulisan saya. Alhasil, Mayday, Mayday ditulis lebih gelap dengan konflik yang berat, bahkan melebihi Haru no Sora, saya rasa.
Ide menulis Mayday, Mayday pun berkembang ketika saya menemukan istilah dalam dunia penerbangan, Mayday, yang biasa diucapkan oleh pilot ketika pesawat sedang berada dalam keadaan darurat. Sejak itu, saya mulai mengerucutkan novel ini seputar bagaimana jika kita mengalami keadaan penuh tekanan dalam hidup sehingga kita harus mencari jalan keluar dari masalah kita? Bisa dibilang, saya 'memanfaatkan' momen jatuh dalam diri saya untuk menulis novel ini. Nggak ada niat untuk segera menerbitkannya, saya hanya ingin melampiaskan amarah dan rasa sedih saya melalui tulisan.
Setiap orang pasti punya cara untuk melepaskan gundah dalam dirinya. Bagi saya, menulis adalah salah satunya. Menulis itu ibarat terapi yang membuat saya bisa dengan leluasa mengeluarkan buah pikiran serta perasaan saya yang selama ini mungkin menjadi beban. Saya bisa menulis di mana pun: notes handphone, blog, buku tulis, Ms.Word, intinya saya harus mengeluarkan pikiran dalam kepala saya. Saya merasa nggak ada seorang pun yang bisa (dan berhak) membatasi saya dalam menulis, itu mengapa menulis Mayday, Mayday rasanya seperti katarsis, karena saya bisa menumpahkan semua perasaan hancur lebur saya dalam novel ini.
Begitulah, Mayday, Mayday hanya teronggok dalam folder di laptop saya tanpa tersentuh lagi. Kira-kira saat itu saya hanya menulis 30-40 halaman. Lalu, saya merasa hidup saya mulai membaik. Saya mulai menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas kampus dan komunitas, sampai akhirnya naskah itu nggak lagi saya kerjakan.
Suatu pengumuman dari Gramedia Pustaka Utama (GPU) di pertengahan tahun 2017 mengubah segalanya. Waktu itu, GPU sedang mencari naskah Teenlit dan Young Adult untuk ajang Gramedia Writing Project Batch 3. Begitu membaca pengumuman itu, saya langsung teringat naskah Mayday, Mayday. Kebetulan, temanya Young Adult, mungkin saya bisa mengikutsertakan naskah itu ke ajang GWP Batch 3. Di sisi lain, saya sadar sudah lama sekali saya nggak menerbitkan novel (padahal, saya niat menerbitkan novel setahun sekali, tapi apalah daya), jadi ajang tersebut kembali memantik semangat saya untuk 'melahirkan' kembali.
Alhamdulillah, naskah Mayday, Mayday berhasil lolos menjadi Pilihan Editor (terima kasih untuk Kakak-kakak Editor GPU! :D). Kemudian, saya diminta untuk melengkapi kembali naskah Mayday, Mayday dan mulai masuk ke tahap sunting. Jadi, naskah Mayday, Mayday yang dulu hanya sekitar 30-40 halaman, saya langsung ngebut menyelesaikannya dalam waktu satu bulan (kebetulan waktu itu lagi Ramadhan tahun 2017, jadi saya bisa menulis setelah sahur sebelum pergi ke kampus). Masa-masa itu cukup hectic karena tugas dan kegiatan organisasi sedang banyak-banyaknya, tapi karena saya rindu masa-masa menulis novel, jadi saya sangat menikmati prosesnya.
Ini pun jadi tantangan tersendiri bagi saya, bagaimana menyerap informasi seputar dunia penerbangan, membayangkan praktiknya, kemudian menuliskannya ke dalam novel agar mampu dipahami pula oleh pembaca. Semoga bagian ini bisa membayar kepuasan pembaca akan informasi seputar dunia penerbangan. Saya sempat khawatir, apakah pembaca akan menangkap pesan yang ingin saya sampaikan melalui novel ini? Bahwa kita semua pernah mengalami momen darurat dalam hidup, namun momen itu justru menghadirkan lebih banyak pelajaran dalam hidup kita. Bagaimana kita berusaha untuk bangkit di sela-sela kehilangan yang kita alami. Bagaimana kita menjadi pahlawan bagi diri kita sendiri. Lalu, kekhawatiran saya perlahan-lahan hilang ketika membaca ulasan bahkan tanggapan pembaca secara langsung kepada saya. Mereka berkata bahwa pesan yang ingin saya sampaikan berhasil diterima. Bahkan, ada salah satu reviewer di Goodreads yang berkata bahwa cara menulis saya lebih progresif dibanding novel-novel sebelumnya. Ini benar-benar penghargaan bagi saya ketika ada pembaca yang menyadari dan terus menyemangati saya untuk menulis lebih baik lagi.
Jadi, saya ucapkan terima kasih banyak kepada segala pihak yang turut berkontribusi dalam terbitnya novel ini. Mungkin Mayday, Mayday tak akan terajut dengan baik tanpa bantuan mereka. Tampaknya, saya juga harus berterima kasih pada orang-orang yang telah meninggalkan dan membuat saya tersungkur pada momen mayday dua tahun lalu––berkat mereka pula, saya bisa menjadi sekuat ini. :)