Credit: Nick Morrison on Unsplash |
Sering kali sebuah pertanyaan dilontarkan kepada saya, "Nulis itu susah nggak, sih?"
Biasanya, saya akan
menjawab, "Tergantung."
Kenapa begitu? Well,
saya percaya bahwa setiap orang melalui tahapan proses menulis yang berbeda.
Itu pun tergantung jenis tulisan yang akan ia tulis. Seorang penulis fiksi
pasti akan merasakan proses yang berbeda dengan penulis non fiksi atau jurnal ilmiah,
begitu pun sebaliknya. Ada beberapa unsur yang mungkin terkesan memberatkan
bagi seorang penulis pemula untuk memulai karya pertamanya, yang berdasarkan
obrolan dengan beberapa teman, saya simpulkan menjadi: riset dan teknik
menulis.
Beberapa teman saya nggak
jarang menelepon atau mengajak saya bertemu hanya untuk membahas tentang dunia
kepenulisan. Nggak disangka, ternyata banyak sekali orang yang juga punya mimpi
menerbitkan buku, namun bagi mereka, langkah menuju ke sana sangat jauh.
Sebagian dari mereka belum memulai tulisan, namun sudah merasa terkendala
dengan dua hal tadi. Mereka merasa belum mampu melakukan riset untuk tulisan
dan menguasai teknik menulis yang benar.
Pada akhir curhat mereka, saya pun berkata, "Yang bikin susah itu bukan riset,
bukan juga teknik nulis, tapi komitmen."
Ya, komitmen.
Bagi saya, proses dari
karya kita ditulis hingga diterbitkan memang melalui jalan berlika-liku, tapi
semua itu nggak akan terasa berat ketika kita sudah memiliki komitmen yang
kuat. Sama halnya dengan mengerjakan apa pun, niat dan komitmen yang kuat akan
membawa kita pada hasil yang kita inginkan. Tapi, bagaimana jika dari awal kita
nggak memiliki hal mendasar itu?
Saya akui, riset dalam
menulis memang cukup rumit dilakukan, tapi menurut saya, hal itu bukanlah
kesulitan terbesar. Berdasarkan pengalaman, saya melakukan riset melalui
hal-hal yang bisa saya lakukan untuk mencari tahu tentang topik tertentu,
misalnya cari di internet, ngobrol sama orang yang memang ahli dalam bidang
tersebut, atau baca buku. Ayolah, kita semua sudah diajarin riset sejak SD, hal
itu bukan lagi jadi sesuatu yang asing. Di era sekarang, akses informasi juga
mudah, kita bahkan bisa mencari berita apa pun di Google, so...
kesulitan dalam riset seharusnya bukan lagi jadi alasan untuk menunda aktivitas
menulis.
Lalu, bagaimana dengan
teknik? Banyak teman saya yang berpikir bahwa teknik menulis pasti penuh dengan
istilah-istilah sastra dan metode yang sulit dipahami. Padahal, kita sudah menguasai dasar teknik menulis itu bahkan sejak pertama kali kita
mulai menulis.
Pada esensinya, menulis
adalah menyampaikan pesan yang ada dalam pikiran kita kepada orang lain. Seperti halnya berbicara, kita menyampaikan gagasan, hanya medianya saja yang
berbeda. Memang ada beberapa teknik yang berlaku jika kita ingin menulis jenis
buku tertentu, tapi boleh saya katakan... itu bukanlah hal yang mutlak.
Menurut saya, seorang
penulis bahkan bisa menerbitkan karyanya tanpa harus menguasai teknik
penulisan, asalkan ia sudah tahu dasar dari apa yang ingin ia tulis. Misalnya,
ia ingin menulis fiksi, berarti ia harus paham betul unsur intrinsik dan
ekstrinsik dalam fiksi seperti apa, karena mereka adalah elemen wajib yang ada
dalam fiksi. Selebihnya, semua diserahkan kepada kemampuannya dalam
menyampaikan gagasan (atau fantasi) dalam pikirannya.
Sejujurnya, saya nggak
pernah baca buku "How to be A Writer" atau "How to Write Your
Novel" sampai hari ini, walaupun saya mengganti materi itu
dengan mendatangi banyak workshop dan seminar tentang menulis.
Tapi, sedikit sekali dari teknik menulis yang saya pelajari pada akhirnya saya
aplikasikan ke dalam tulisan saya. Kenapa? Karena bagi saya, menulis itu
seperti seni, kita hanya perlu mengekspresikan diri kita tanpa perlu terlalu fokus pada sekat-sekat yang jika nggak digunakan pun nggak akan berpengaruh dalam tulisan
itu sendiri (kecuali pembendaharaan kosakata dan EYD, sebaiknya menjadi hal
yang sudah dipahami di luar kepala. Saya juga masih terus belajar tentang ini).
Tapi, menulis bukanlah fisika yang jika satu hukum nggak digunakan, hasilnya
akan berantakan. Ibarat manusia, mungkin menulis itu adalah sosok yang luwes,
fleksibel, dan adaptif. Nggak ada hukum atau teknik mutlak yang harus diikuti
untuk menciptakan sebuah tulisan.
Salah seorang pembaca saya
pernah mengkritik bahwa ada satu kalimat di novel saya yang nggak tepat secara teknik,
kurang lebih semacam ada fragmented sentence, run-on
sentence, sampai konjungsi yang tumpang tindih. Kalau boleh jujur, saya
memang nggak memperhatikan hal itu saat menulis, tapi kritikannya menjadi
masukan baru buat saya. Saya sempat berpikir, mungkin ia adalah orang yang
berfokus pada teknik saat menulis, sehingga meneliti teknik menulis sampai
begitu detail. Itu sama sekali nggak salah, saya justru kagum dengan mereka
yang bisa menguasai teknik menulis dengan sangat detail. Tapi bagi saya (dan
beberapa penulis yang pernah saya ajak diskusi), jarang sekali penggunaan
teknik itu dilakukan saat menulis, karena mereka fokus kepada pesan yang ingin
disampaikan dan 'pembangunan' seluruh unsur intrinsik dan ekstrinsik dari karya
yang mereka tulis.
Hal ini juga pernah saya
dan teman-teman diskusikan saat Kelas Skenario Ernest Prakasa. Waktu itu, Koh
Ernest mengajarkan teknik 8-sequences yang kurang lebih seperti plot ideal
dalam pembuatan film. Kemudian, kami diberi tugas untuk menganalisis suatu film
menggunakan teknik tersebut. Diskusi dimulai ketika salah seorang peserta
berkata bahwa di film A, teknik 8-sequences itu tidak dilakukan secara urut
seperti yang diajarkan oleh Koh Ernest. Di situlah, Koh Ernest bilang bahwa
teknik dalam menulis itu ibarat panduan bagi mereka yang ingin menulis karya
dengan 'ideal', dalam arti sesuai dengan standar yang ada. Tapi, kebanyakan
film (lebih banyak karya luar negeri) justru nggak menggunakan teknik itu,
karena kemampuan mereka semacam sudah 'di atas standar'. Teknik membuat kita
lebih mudah dalam menyusun cerita, karena kita sudah memiliki panduan. Namun,
nggak ada salahnya jika kita ingin sedikit 'bereksperimen' dengan menulis
sesuatu yang nggak biasa, meski hal itu berada sangat jauh dari teknik.
Baca juga Belajar Nulis Skenario Bareng Ernest
Prakasa.
Misalnya, kebanyakan
teknik menulis yang saya temui di novel-novel belakangan ini adalah memulai
cerita dengan shocked scene, karena dianggap pembaca akan
penasaran untuk membalik halaman selanjutnya. Apakah teknik
tersebut ampuh? Bisa jadi, ibarat first impression, paragraf pertama novel kita
terkadang menjadi penentu apakah pembaca akan menyelesaikan ceritanya atau DNF.
Tapi, apakah teknik tersebut wajib? Nggak juga, kita bahkan bisa memulai
paragraf pertama dengan adegan konyol atau senyap sekali pun. So, that
is my point. Selama kita memiliki unsur-unsur penting dalam tulisan
kita, teknik menulis bukanlah hal yang harus terlalu dirisaukan. :)
Nah, terus kenapa kita
masih susah menyelesaikan tulisan? Kembali ke komitmen tadi. Mungkin kita sudah
melakukan riset yang luar biasa, juga menguasai teknik menulis yang mantap,
tapi tetap saja kita melongo menatap Ms.Word tanpa menulis satu kalimat pun.
Hal itu sering kali terjadi karena kita belum memiliki komitmen besar untuk
memulai dan menyelesaikan tulisan kita seperti halnya puluhan draf di
folder saya yang hanya teronggok tanpa dilanjutkan. Kendala terkait
komitmen ini bisa datang dari banyak hal, mulai dari MALAS sampai alasan paling
klise yaitu nggak punya waktu (padahal jawabannya kembali lagi ke alasan
pertama :p).
Ada salah satu teman saya
yang pernah menggebu-gebu bercerita kalau ia akan menulis buku non fiksi
pertamanya. Ia meminta masukan kepada saya tentang beberapa hal seputar
menulis, lalu saya sarankan untuk riset lebih dalam karena ia akan menulis non
fiksi. Ia bahkan sudah membuat rencana pemasaran, book tour, roadshow,
dan mimpi indah lainnya tentang menjadi penulis. Ditambah lagi
ketika saya bilang bahwa proses menerbitkan buku nggak terlalu rumit, ia
langsung ambisius untuk segera menulis. Saya sempat mengingatkan kepadanya,
"Biasanya yang susah itu komitmennya. Gue waktu nulis Haru no Sora bisa kelar 6 hari. Tapi pas Mayday, Mayday selesainya 2 tahun.
Kayak skripsi aja, musti besar komitmennya." Lalu, saya amazed ketika dia
menjawab dengan santai, "Alah, gampang. Satu bulan juga kelar kok ini.
Tinggal wawancara dan nulis doang."
Tapi, setelah lima bulan
percakapan itu berakhir, ia belum menunjukkan kemajuan sama sekali. Prediksi
saya, ia terkendala karena komitmen menyelesaikan tulisannya itu luntur
perlahan-lahan :))
Saya akui, ketika kita
memulai tulisan pertama kali, semangat berapi-api itu pasti ada. Tapi sama
halnya dengan mengerjakan sesuatu dengan deadline yang dibuat
sendiri, kita akan lebih mudah menjadi toleran terhadap kemalasan dan alasan
klise yang tiba-tiba hadir. Hal ini juga masih sering saya rasakan, karena
membangun komitmen itu benar-benar nggak mudah (apalagi untuk jenjang yang lebih
serius). Kita harus mendedikasikan waktu, tenaga, dan pikiran untuk tulisan
itu. Rela melakukan riset sampai malam atau begadang mengejar target, semua itu
butuh niat yang besar. Itu kenapa, komitmen sangatlah penting.
Saya (atau mungkin penulis
lain) bisa mengatakan bahwa proses menulis hingga menerbitkan buku sebenarnya
nggak serumit yang dibayangkan, namun banyak penulis lebih dulu gugur bahkan
sebelum tulisannya selesai karena komitmen yang lenyap di tengah jalan. Itu
mengapa, kita harus mengapresiasi diri sendiri ketika benar-benar berhasil
menyelesaikan tulisan yang sudah dimulai, ibarat sudah sampai di garis akhir
setelah melakukan maraton sepanjang 42 KM.
Jadi, apa hal paling sulit
dalam menulis? Semoga teman-teman sudah menemukan jawabannya dan semakin
menguatkan komitmen untuk segera menyelesaikan tulisan. Karena seperti ucapan
dosen pembimbing, "Sebaik-baiknya tulisan adalah tulisan yang selesai."