Credit: Thought Catalog on Unsplash |
“Lo udah lulus, ya? Kerja di mana sekarang?”
Pertanyaan itu sering kali muncul dalam percakapan mereka
yang baru saja mencicipi indahnya lulus sebagai sarjana. Padahal, keindahan itu
cuma bertahan pada hari wisuda, karena setelah itu para lulusan baru punya
tanggung jawab besar untuk naik ke level kehidupan selanjutnya alias cari
kerja.
Fact About Finding a
Job
Ada satu artikel yang saya pernah baca tentang Post-University Depression (Terima
kasih, Nadya, udah share artikel
ini!), yang menjelaskan betapa banyak lulusan baru memasuki titik terendah
dalam hidupnya setelah lepas dari embel-embel kampus. Memang benar, berhasil
lulus dan menggenggam gelar sarjana hanyalah pintu gerbang menuju kehidupan baru,
yang mana banyak orang belum siap untuk benar-benar menyambutnya.
Let’s say, finding a
job is not easy.
Tahun ini, saya mendapat rezeki untuk lulus sarjana di
bulan April. Tentu banyak lika-liku yang saya rasakan hingga akhirnya saya
berani untuk membagikan pengalaman (serta perasaan saya) tentang mencari
pekerjaan melalui postingan blog ini. Bisa dibilang, saya adalah salah satu
orang yang optimis memandang masa depan dan punya ambisi yang besar untuk
meraihnya. Ditambah lagi, saat kuliah, saya sering mendapat doktrin bahwa
memiliki nilai bagus serta pengalaman organisasi yang mumpuni akan lebih mudah
membawa kita pada tahap wawancara. Itu mengapa, lulus cepat dan mendapatkan
pekerjaan kelihatan seperti sesuatu yang nikmat untuk segera diraih.
Tapi, tentu nggak semua hal berjalan sesuai dengan apa
yang kita harapkan. Ketika saya sudah merasa percaya diri dengan nilai dan
kemampuan yang saya punya, saya justru diempaskan dengan kenyataan bahwa nggak
ada satu pun perusahaan yang menerima saya saat itu. Entah sudah berapa puluh
kali saya mengecek dan mengubah CV serta cover
letter yang saya buat, mencari tahu di mana letak kesalahan, mencoba untuk
intropeksi diri––tapi panggilan kerja itu nggak kunjung datang.
Sebelum wisuda, saya sudah membuat daftar perusahaan yang
ingin saya lamar. Maka, setelah ijazah sudah tiba di tangan, saya dengan
semangat melamar ke perusahaan-perusahaan itu. Saya nggak cuma melamar ke
perusahaan besar, tapi juga menengah dan start
up yang membuat saya yakin bahwa saya bisa belajar banyak dari sana. Dari
seluruh lamaran yang saya kirim saat itu, saya mengambil posisi sebagai PR, marketing, marcomm, dan sejenisnya.
Satu minggu, dua minggu, sampai berbulan-bulan... nggak
ada SATU PUN perusahaan yang manggil saya untuk wawancara. Saya mengecek
e-mail, seluruh akun pencarian kerja yang saya punya, sampai berkas saya
berkali-kali, tapi nggak ada info terbaru di sana. Hanya satu perusahaan yang
memberi saya jawaban “Tidak Lolos” karena waktu itu mereka membutuhkan pekerja
yang berpengalaman (tapi saya nekat ngelamar aja), sedangkan sisanya nggak
memberi kabar apa pun. Sejak itu, optimisme saya terhadap masa depan mulai
digantikan dengan macam-macam pikiran negatif, apakah saya terlalu buruk
sampai-sampai seluruh perusahaan yang saya lamar nggak memberikan saya
kesempatan satu pun?
Welcome, Pressure!
Setelah berbulan-bulan berjuang sebagai pencari kerja dan
belum menemukan kepastian, berbagai pikiran negatif mulai singgah di benak
saya. Ditambah lagi, tekanan semakin besar ketika orangtua terus bertanya
mengapa saya nggak kunjung mendapatkan pekerjaan. Tetangga pun mulai ramai
menanyakan ke orangtua saya, mengingat mereka tahu saya sempat lulus dengan
predikat terbaik saat wisuda. Ucapan-ucapan yang nggak menyenangkan mulai
terdengar di telinga saya maupun orangtua saya saat itu, kelihatannya orangtua
saya cukup tertekan mendengar komentar para tetangga. Sikap mereka kepada saya
pun mulai berubah dengan sedikit menuntut dan mudah marah. Sejak itu, saya
mulai sering menyalahkan diri sendiri dan merasa bahwa saya ini nggak cukup
baik.
Satu demi satu teman kampus saya mulai mendapatkan
pekerjaan. Nggak bisa dimungkiri, rasa senang bercampur sedih pasti ada,
apalagi ketika melihat mereka update job
position di profil LinkedIn atau share
IG story lagi di kantor barunya. Iri?
Perasaan itu tentu sempat muncul, mengingat kami mengikuti perkuliahan bersama,
mengerjakan skripsi bersama, sampai merasakan wisuda bersama... tapi mereka mendapatkan
pekerjaannya lebih dulu. Saya nggak tahu berapa waktu yang saya habiskan hanya
untuk berdiam diri di kamar, scrolling
tentang info-info lowongan kerja, lamar sana-sini, bikin cover letter baru, dan hal lainnya yang lama kelamaan membuat saya
jenuh. Pada akhirnya, memasuki pertengahan tahun, saya mulai sering menangis di
kamar dan merasa bodoh. Entah sudah berapa kali saya menangis ketika seseorang
menyinggung saya masalah pekerjaan dan saya marah pada orangtua saya ketika
mereka terus-terusan bertanya.
Semuanya semakin buruk ketika saya tahu beberapa teman
membicarakan saya di belakang. Sejujurnya, saya nggak pernah menganggap siapa
pun sebagai saingan, tapi selalu saja ada omongan nggak yang menyenangkan yang
sampai di telinga saya. Namanya juga manusia, kita memang nggak bisa disukai
semua orang, kan?
“Kuliah IP bagus, tapi kok masih nganggur.”
“Lah, itu Wisudawan Terbaik aja belum dapet kerja.”
“Idealis banget sih jadi orang, susah sendiri kan
jadinya.”
Ucapan-ucapan itu tentu sempat membuat saya down, saya sampai enggan pergi ke kampus
atau takut bertemu teman-teman saya karena hal itu. Tentu saya marah, karena
mereka bahkan nggak tahu usaha apa yang sudah saya lakukan untuk sampai pada
tahap mendapat pekerjaan.
Saya sempat berada di posisi ketika saya menyesal punya
IP bagus, menyesal jadi Wisudawan Terbaik, menyesal memperjuangkan nilai baik
selama ini, karena saya sadar ketika orang lain sering melihat diri kita ‘sukses’,
mereka nggak akan memuji kita ketika berhasil meraih kesuksesan dan justru
mengejek habis-habisan ketika kita ‘gagal’. Sebaliknya, saya iri dengan
beberapa teman yang mungkin mendapatkan nilai biasa-biasa saja, karena ketika
mereka berhasil meraih pencapaian, banyak orang akan memuji mereka, sedangkan
ketika mereka gagal, orang-orang akan memaklumi itu. Sampai akhirnya saya mengerti bahwa apa pun yang saya kerahkan untuk menjadi sukses bukanlah demi impresi atau pujian orang lain, melainkan diri sendiri. Lagipula, sukses dan gagal
nggak dilihat dari seberapa bagus nilai kita, kan? Setiap orang punya jatah
sukses dan gagalnya masing-masing.
Bisa saya katakan bahwa peer pressure adalah hal terberat yang saya rasakan ketika mencari
pekerjaan. Rasanya saya ingin marah pada mereka yang menyapa saya hanya untuk
bertanya soal pekerjaan seolah nggak ada topik lain yang bisa dibahas, juga
pada mereka yang menghakimi saya idealis karena melihat saya terlalu memilih
lowongan kerja.
“Realistis aja, jadi orang idealis nggak bakal bawa lo ke mana-mana.”
Terkadang, menjadi idealis di mata orang lain dipandang
sebagai orang yang nggak realistis. Padahal, kalau saya idealis, mungkin saya
hanya melamar ke satu atau dua perusahaan yang benar-benar saya inginkan dan
nggak melirik perusahaan lain yang membuka kesempatan. But I applied for more than 50 companies! Dari perusahaan yang saya
kenal, sampai yang namanya belum pernah saya dengar sama sekali, saya selipkan
lamaran di sana.
Salah satu teman saya bahkan pernah berkata bahwa saya
terlalu pemilih karena hanya melamar untuk posisi PR dan sejenisnya, sedangkan
ada posisi lain yang terbuka seperti admin, HR, accounting, sampai supply chain
yang menurutnya bisa dipelajari secara otodidak.
“Kerjaan itu nggak harus sesuai sama jurusan kuliah, tau.”
Saya paham dengan hal itu, tapi pernahkah kamu ada di
posisi ketika kamu sangat cinta dengan bidang yang kamu dalami, menemukan passion di sana, dan ingin
mendapatkan pengalaman lebih dalam bidang itu? Mungkin saya bisa melamar
menjadi supply chain, misalnya. Saya
akan belajar secara otodidak dan bekerja dalam bidang baru, tapi masalah yang
akan saya dapatkan adalah... I will learn
it from zero. Ketika kamu dihadapkan dengan pilihan untuk mendapatkan pengalaman
lebih dalam bidang yang sudah kamu tekuni hingga mampu memberikan performa yang
memuaskan atau mempelajari bidang baru dan butuh waktu untuk bisa memberikan performa
yang maksimal, mana yang akan kamu pilih?
Saya nggak bilang bahwa bekerja di luar jurusan kuliah
itu salah, bahkan banyak orang yang justru sukses ketika bekerja di bidang yang
berseberangan. Tapi, ini hanya soal pilihan. Saya mengenali diri saya bukan
sebagai orang yang bisa memberikan performa terbaik ketika saya nggak menguasai
suatu hal. Saya bisa cepat belajar, namun mungkin nggak bisa menjadi expert karena bidang itu bukanlah tempat jiwa saya berada.
Know Your Reason
Sejak saya kuliah, saya selalu ingin mendapat pekerjaan
di mana saya bisa belajar banyak dari pekerjaan itu. Bagi saya, bekerja bukan
semata-mata mendapatkan gaji dan melakukan rutinitas, melainkan lebih besar
daripada itu. Pekerjaan yang menyenangkan adalah ketika kita merasa ‘hidup’ di
dalamnya, bisa menggali banyak ilmu, memberikan performa terbaik, dan
mendapatkan keuntungan secara materi dari hal yang kita sukai. Pekerjaan bukan
semata-mata kita akan terlihat keren di LinkedIn, membangun impresi orang lain
bahwa kita bekerja di perusahaan X, bangun pagi pulang malam hanya untuk
memberi penekanan bahwa “Saya punya pekerjaan, lho”, tapi sebenarnya nggak
menikmati apa yang sedang dikerjakan. Tapi, semua ini kembali lagi pada pilihan
masing-masing.
Pada satu titik frustrasi, saya pernah menangis semalaman
dan menumpahkan amarah saya kepada Ibnu. Sedihnya, saya bahkan bilang bahwa
saya nggak lagi punya cita-cita karena semuanya sudah terasa hambar. Ketika banyak
orang menceritakan mimpi besar mereka, saya merasa kehilangan itu. Saya nggak
tahu mana jalan yang harus saya ambil, saya nggak tahu apa yang harus saya
lakukan. Singkatnya, saya kehilangan tujuan hidup saya (yang dulu pernah saya
susun serapi mungkin, namun mendadak jadi berantakan).
Lalu, Ibnu mengajak saya untuk mengilas balik bulan demi bulan yang sudah saya lalui setelah wisuda. Saat itu, ucapan “Sabar...” adalah teman akrab yang sering dia lontarkan kepada saya, pelan-pelan... dia membawa saya kembali pada mimpi-mimpi yang sempat saya ragukan. Dia juga menyadarkan bahwa saya 'hanya' menghabiskan waktu menganggur selama tiga bulan, bukan enam bulan seperti yang saya pikirkan.
Setelah saya lulus bulan April, saya baru sadar bahwa selama enam bulan berjalan, saya nggak benar-benar
menganggur karena ada pekerjaan yang saya lakukan. Di bulan Mei dan Juni, saya
masih giat mencari pekerjaan, tapi saat itu bisnis kecil-kecilan saya,
PACARITA, alhamdulillah sedang meningkat penjualannya.
Saya dan Ibnu cukup kewalahan mengurus PACARITA karena banyaknya pesanan, kebetulan
waktu itu kami sama-sama belum mendapatkan pekerjaan tetap. Lalu, di bulan Juli
sampai September, salah seorang senior menawarkan saya project di digital agency
tempat dia bekerja (Terima kasih banyak, Kak Agung!). Saya dipercaya untuk
menjadi content writer dan socmed officer untuk event salah satu media besar, yang
membuat saya belajar banyak hal baru dari sana. Di bulan Oktober, project
sudah selesai dan saya mulai mendapat panggilan kerja di dua instansi
pemerintah––yang sayangnya nggak berhasil lolos, hahaha. Sampai akhirnya di
bulan November, saya memulai pekerjaan saya sebagai PR Assistant di institut kebudayaan
Jerman. Alhamdulillah, saya diberi kesempatan mengerjakan hal-hal yang saya sukai dengan waktu yang lebih fleksibel, jadi saya masih
bisa melakukan kegiatan lain seperti menulis, urus bisnis, dan personal project di luar pekerjaan itu.
God’s Plan is Always
Best
Setelah kilas balik itu, saya jadi ingat bahwa saya sering menjadi orang yang tertinggal. Ketika bulan Agustus tahun 2014, banyak teman saya yang sudah memulai perkuliahan, sedangkan saya belum diterima di kampus manapun. Bulan Juni 2017, teman-teman sekelas saya sudah memulai masa magang, sedangkan saya masih terus menyebar lamaran. Bulan Desember 2017, beberapa teman saya sudah mengerjakan skripsi sampai bab 3, sedangkan saya baru mau sidang portofolio (judul skripsi aja belum ada). Ya... saya sering tertinggal, seharusnya itu bukan menjadi hal yang asing lagi. Been left behind made me have more time to get to know what I really want.
Segalanya terasa lebih ringan ketika saya menyerahkan kehendak kepada Tuhan, karena memang Dia yang berhak menentukan. Saya sadar bahwa sekeras apa pun saya berusaha, jika hal itu memang nggak ditakdirkan untuk saya, saya nggak akan pernah memilikinya. Suatu pintu ditutup untuk membawa kita pada pintu lain yang memang benar-benar rezeki kita, karena setiap hal yang saya miliki saat ini adalah pemberian Tuhan, itu mengapa saya nggak berhak menuntut apa pun yang memang bukan menjadi porsi saya.
Segalanya terasa lebih ringan ketika saya menyerahkan kehendak kepada Tuhan, karena memang Dia yang berhak menentukan. Saya sadar bahwa sekeras apa pun saya berusaha, jika hal itu memang nggak ditakdirkan untuk saya, saya nggak akan pernah memilikinya. Suatu pintu ditutup untuk membawa kita pada pintu lain yang memang benar-benar rezeki kita, karena setiap hal yang saya miliki saat ini adalah pemberian Tuhan, itu mengapa saya nggak berhak menuntut apa pun yang memang bukan menjadi porsi saya.
Dalam proses ini, tentu ada hikmah yang saya dapatkan, bahwa
kita nggak bisa mengontrol sesuatu di luar batas diri kita dan membandingkan
hidup dengan orang lain. Situasi ini pasti membawa kita pada titik yang
temaram, tapi percaya... kita nggak pernah sendirian. Kita mungkin bukan
satu-satunya orang yang merasakan perjuangan ini, kita bukan yang paling sial.
Proses ini, ketika kita sudah mengetahui kunci dan hikmah di baliknya, akan
terasa lebih mudah dan nggak seburuk yang kita bayangkan.
Saya memang pernah merasa nggak cukup baik, membandingkan
hidup saya dengan orang lain, iri dengan teman-teman saya, dan segala hal toxic lainnya, sampai akhirnya saya
sadar bahwa masa depan bukanlah kompetisi. Mendapatkan pekerjaan, menikah,
punya anak, punya properti, dan sebagainya bukanlah hal yang harus dilombakan.
Kita nggak berkompetisi dengan orang lain tentang hidup siapa yang paling baik,
karena nggak ada penghargaan untuk ‘Orang Terbaik’ di dunia ini––kita hanya
menjalani apa yang memang sudah direncanakan untuk hidup kita.
Jadi, untuk kamu yang tengah mengalami hal yang sama,
jangan resah... masa-masa ini akan kita kenang nantinya sebagai proses yang
membuat kita menjadi pribadi yang lebih kuat. Kita mungkin kehilangan banyak
kesempatan, tapi kita menemukan hal yang paling berharga, yaitu diri kita
sendiri. Every process will guide us to know
ourselves more.
Saya ingin menutup postingan panjang ini dengan kutipan
salah satu sahabat penulis saya, Fakhrisina Amalia:
“Jangan terlalu keras pada diri sendiri, karena kita
selalu punya kesempatan untuk diri sendiri.” :)