Bagi seseorang yang nggak terbiasa menyuarakan isi pikiran di hadapan orang banyak seperti saya, memiliki kemampuan menulis untuk, paling nggak, mengekspresikan isi pikiran sangatlah membantu. Saya sadar, meski hasil tes kepribadian menyatakan ekstrover, berbicara atau berorasi di forum-forum kadang menjadi hal yang membuat saya nggak nyaman. Tapi, sama seperti orang lain, saya juga punya pendapat yang ingin disuarakan. Ketika saya nggak punya kesempatan atau kemampuan yang hebat untuk mengekspresikannya di depan publik, menulis adalah ruang yang tersisa.
Saya pertama kali menulis saat duduk di bangku SD. Singkatnya, saat itu saya nggak punya banyak teman sampai akhirnya lebih banyak menghabiskan waktu dengan menulis di komputer tua milik ayah saya. Saat itu, saya nggak pernah memiliki tujuan dalam menulis. Nulis ya sekadar untuk melepaskan imajinasi saja. Pun ketika pertama kali saya menerbitkan novel di tahun 2014, saya nggak punya tujuan selain ingin imajinasi saya bisa dinikmati banyak orang.
Namun, semakin dewasa, saya sadar bahwa nyatanya tulisan punya kekuatan yang lebih besar dari itu. Misalnya, para jurnalis yang bekerja di media, mereka bisa mengubah perspektif atau bahkan sikap kita terhadap sesuatu hanya dengan membaca tulisan mereka. Dalam ranah sastra, sudah banyak tulisan-tulisan yang pada awalnya (saya rasa) dibuat untuk menyuarakan isi pikiran atau kegelisahan, tapi pada akhirnya bisa menginspirasi orang lain. Pram dengan Bumi Manusia, misalnya, atau Aan Mansyur dengan Kukila, dan saya yakin masih banyak lagi--menyadarkan saya betapa magisnya kekuatan sebuah tulisan. Sejak itu, mata saya terbuka, bahwa ada kontribusi lain yang masih bisa saya lakukan untuk menyuarakan berbagai isu tanpa harus berbicara di atas podium dalam forum-forum tertentu.
Kesadaran ini tumbuh saat saya menerbitkan novel Haru no Sora dalam kompetisi Young Adult Realistic Novel oleh Penerbit Ice Cube, Kepustakaan Populer Gramedia. Seperti namanya, kami ditantang untuk menulis novel dengan mengangkat isu-isu realistis yang dialami oleh para dewasa muda. Jujur saja, saya baru mengenal istilah 'realistic fiction' dari kompetisi ini, bahwa ternyata masih ada genre lain yang bisa dieksplor selain romens dan teman-temannya. Sederhananya, fiksi realistis mengajak pembacanya untuk menelusuri cerita dengan isu-isu yang masuk akal dan nyata dengan porsi romens atau drama yang sedikit.
Jadi, ketika saya menulis Haru no Sora, saya mengangkat isu yang terbilang sensitif, bahkan tabu, untuk dibicarakan oleh masyarakat. Entah mengapa saya begitu tertarik untuk menyuarakan hal tersebut, karena meski selama ini kita berusaha menutupinya, hal itu tetaplah nyata dan menjadi bagian dari hidup kita. Mungkin saya memang nggak nyaman untuk menyuarakan hal ini dalam forum tertentu atau bergabung dengan LSM yang bergerak di bidang yang sama, tapi saya merasa tulisan ini bisa menjadi 'perahu' bagi saya, yang bisa membawa isu ini ke permukaan dan dibaca oleh mereka yang tinggal di tempat-tempat yang bahkan belum pernah saja jajaki. Dengan menyisipkannya dalam sebuah karya fiksi khas dewasa muda (yang nggak terlalu berat dan masih terdapat unsur humornya), saya rasa ini bisa menjadi salah satu cara untuk menyuarakan isu sensitif dengan pendekatan yang ringan dan menyenangkan. Bisa dibilang, Haru no Sora-lah yang mengawali diri saya menemukan 'suara' dalam tulisan.
Oh iya, omong-omong, novel kedua saya Haru no Sora kini dicetak ulang. Siapa tahu teman-teman tertarik untuk membaca, sedang dibuka pre-order dengan diskon dan akses kelas menulis gratis bersama saya!
Untuk pembelian Haru no Sora dapat dilakukan melalui tautan ini.
Kembali ke penulisan, setelah menemukan alasan dan 'suara' dalam menulis, saya merasa kegiatan menulis kini jauh lebih mengasyikkan dari sebelumnya. Jadi, saya nggak hanya menyalurkan imajinasi, tapi juga pesan terkait isu-isu tertentu yang saya temui di tengah masyarakat. Akhirnya, dalam novel ketiga saya Mayday, Mayday, saya kembali menulis tentang isu yang dekat dengan kehidupan, yaitu hamil di luar pernikahan. Terdengar berat, memang. Tapi, buat saya itu menjadi tantangan tersendiri untuk menciptakan tulisan yang tetap bisa dinikmati banyak orang, khususnya dewasa muda.
Banyak sekali teman datang kepada saya dan bercerita bahwa mereka pun punya mimpi menerbitkan novel sendiri. Alasannya macam-macam, ada yang memang gemar menulis, ada pula yang ingin terkenal dan dapat uang (nggak salah juga kok). Kalau kamu juga punya mimpi yang sama, coba tanyakan juga dalam dirimu, adakah hal lain yang mendorongmu untuk menulis--bahkan menerbitkan novel sendiri? Karena rasanya sayang kalau menerbitkan novel hanya sebatas ingin terbit saja, padahal kita punya banyak ruang dan kesempatan untuk bersuara, jadi kenapa nggak pilih tujuan yang lebih besar?
Bagaimana cara menemukan ‘suara’ dalam tulisan? Mungkin kamu bisa coba beberapa tips ini:
- Observasi dan dengarkan sekeliling, isu apa yang sedang marak dibicarakan atau bahkan ada tapi nggak terlalu diangkat ke permukaan?
- Dengarkan kegelisahan atau opini di dalam diri yang ingin kita suarakan atas isu tertentu. Bisa pula yang menjadi bagian dari pengalaman kita.
- Jika nggak dapat dari sekeliling atau diri sendiri, lakukan riset. Pastinya ada banyak isu di luar sana yang butuh diekspresikan. Riset juga bisa memperkuat argumen kita di dalam tulisan.
- Kemas dalam penuturan yang menarik dan ringan (kalau target pembaca adalah remaja atau dewasa muda).
Maraknya buku di toko pun bisa dibilang menjadi tantangan bagi penulis untuk menciptakan karya yang otentik tapi tetap disukai pasar. Hmm... susah banget ya kedengerannya hahaha, tapi itulah yang bikin seru, gimana caranya kita menulis sesuatu yang juga dibutuhkan oleh orang lain, bukan hanya keinginan kita semata "pokoknya gue mau nulis tentang ini, masa bodoh orang peduli atau enggak!" Balik lagi, kalau sudah ngomongin soal penerbitan, ada unsur pemasaran yang mengekor setelahnya. Jadi, saya pun sadar kita nggak bisa idealis 100%, unsur pasar tetap harus dipikirkan, hanya takarannya saja yang kita atur.
Sampai hari ini, saya masih sangat menikmati menulis tentang isu-isu dewasa muda. Di sisi lain, saya pun sedang mengalami fase tersebut. Selalu senang ketika menulis pun bisa jadi ajang untuk refleksi diri, karena kita menulis apa yang kita rasakan atau kita alami. Apalagi, jika tulisan kita bisa bermanfaat untuk banyak orang, meski itu hanya sekadar 'tahu' tentang sesuatu yang baru.
Nah, buat kamu yang lagi menyusun tulisan, apa kamu sudah menemukan 'suara' di dalam tulisanmu? Kalau belum, mungkin ini saatnya kamu untuk mencari tahu. Saya percaya sejatinya tulisan bisa menjadi representasi dari perasaan dan pikiran kita, bahkan jika kita sudah nggak lagi ada di dunia ini. ;-)
*Foto utama disadur dari Unsplash.com.
0 komentar