"Yang diharapkan, yang diperjuangkan, yang didoakan, pasti akan indah pada waktunya... dan dengan izin-Nya."
Saya selalu percaya bahwa di setiap usaha yang kita kerahkan untuk mencapai sesuatu, ada kuasa Tuhan yang 'menentukan' apakah hal yang kita inginkan itu terwujud atau tidak. Dalam kasus saya, sering kali hal-hal yang saya amat inginkan justru nggak tercapai, atau tercapai tapi nggak sempurna. Namun, sebaliknya, beberapa hal yang saya 'pasrahkan' justru bisa kesampaian untuk saya rasakan nikmatnya.
Setelah sekian lama nggak curhat di blog, kali ini saya mau sharing tentang perjalanan saya hingga akhirnya diterima S2 di salah satu kampus. Mungkin untuk sebagian dari kamu yang baca postingan ini, pengalaman diterima S2 adalah hal yang biasa saja atau sudah kamu capai sejak lama. Tapi, buat saya, proses mengejar salah satu impian ini benar-benar menantang, menguras waktu, emosi, dan biaya, juga mendewasakan (pada akhirnya).
Sejak 2016, saya punya keinginan besar untuk bisa melanjutkan studi magister di luar negeri. Tekad ini datang ketika sahabat dan dosen saya banyak memotivasi untuk menggapai pengalaman tersebut. Nggak bisa dipungkiri, kuliah ke luar negeri sudah jadi impian bagi banyak putra-putri Indonesia. Membayangkan diri kita bisa merasakan kehidupan sosial budaya di negara lain, memiliki wawasan dan jejaring yang luas, juga mendapatkan impresi yang membanggakan bahwa kita bisa menuntut ilmu di kampus ternama di luar sana tentu menjadi hal-hal yang menggiurkan. Tak terkecuali untuk saya.
Inggris, tepatnya melalui beasiswa Chevening, sudah menjadi tujuan saya untuk melanjutkan studi magister sejak lama. Berbagai persiapan mulai dari belajar bahasa Inggris, riset kampus dan jurusan, bahkan mencari tahu tentang seluk-beluk kota tempat universitas impian saya berada sudah saya lakukan mungkin sejak empat tahun yang lalu. Hingga akhirnya, pada pertengahan 2020, saya memutuskan lebih serius mengejar impian ini dengan mempersiapkan diri untuk mendaftar beasiswa Chevening. Untungnya, nggak ada perubahan yang signifikan dari persyaratan beasiswa Chevening itu sendiri. Mulailah saya mencicil satu demi satu syarat untuk melengkapi pendaftaran.
Menjadi penerima beasiswa memang menyenangkan karena semua biaya terkait pendidikan akan ditanggung oleh pemberi beasiswa, tapi nggak bohong... proses untuk bisa mendaftar beasiswa ini mengeluarkan cukup banyak biaya. Kita nggak bisa benar-benar hanya bermodal sepuluh ribu rupiah untuk bisa mendaftar. Dalam kasus ini, tes IELTS-lah yang memakan biaya paling banyak.
Proses mengikuti tes IELTS hingga akhirnya berhasil tembus nilai yang saya inginkan dan kampus butuhkan ini jadi yang paling menantang buat saya. Sadar karena bahasa Inggris saya nggak casciscuswasweswos, akhirnya saya mengikuti kursus persiapan IELTS dari salah satu lembaga penyelenggara IELTS di Jakarta. Untuk kursusnya sendiri harga normalnya lima juta untuk satu bulan periode, tapi berhubung pandemi, kelas diadakan daring sehingga biaya diskon menjadi tiga juta. Saya merasa lebih siap menghadapi IELTS, karena mendapat tips dan latihan soal untuk 'mengenal lebih dalam' tipe-tipe soal IELTS seperti apa. Singkat cerita, sampailah saya pada tes IELTS yang ditunggu-tunggu. Kita tahu biaya IELTS nggak murah, yaitu hampir tiga juta rupiah per tes. Itu kenapa, kita musti sungguh-sungguh dan siap saat mengerjakannya. Hasil IELTS akan keluar setelah 13 hari, jadi sambil menunggu, saya persiapkan persyaratan lainnya seperti dokumen-dokumen, surat referensi dari dosen dan atasan, juga esai.
Untuk ikut beasiswa Chevening, kita harus menulis empat esai yang berhubungan dengan rencana di masa depan. Ini bagian yang paling saya sukai, karena paling nggak, tugas esai ini membantu saya menelaah kira-kira apa tujuan saya lima sampai sepuluh tahun lagi. Meski begitu, menulis esai benar-benar memakan waktu––saya menyelesaikan empat esai dalam waktu satu bulan. Berhubung IELTS nggak diwajibkan untuk Chevening tahap awal, jadi saya memasukkan esai beserta dokumen lainnya terlebih dahulu untuk pendaftaran (karena sudah dekat tenggat waktu juga). Dan, setelah pendaftaran awal Chevening selesai, barulah hasil IELTS saya keluar, yang mana....
NILAINYA NGGAK CUKUP, PEMIRSA! :)))
Skor secara keseluruhan sudah lolos persyaratan kampus dan sesuai target saya, bahkan nilai Reading saya cukup tinggi, tapi nilai Writing-nya anjlok! Duh, asli di sini galau banget rasanya. Padahal skor lainnya sudah bagus, tapi Writing ini benar-benar bikin frustrasi (Padahal ngakunya penulis ya, hahaha)! Sebenarnya kita bisa ajuin semacam banding gitu ke lembaga penyelenggara IELTS-nya, tapi ada denda yang berlaku seandainya nilai kita memang terbukti nggak bagus, dan saya malas keluar uang untuk itu. Alhasil, saya putar otak untuk mikirin langkah selanjutnya.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya memutuskan mengambil tes IELTS yang kedua (Bye... tiga juta berikutnya!). Jadi, setelah dihitung-hitung, saya sudah keluar biaya sekitar sembilan juta untuk IELTS dan persiapannya. Di situ saya mikir, nggak ada mimpi besar yang murah, jadi saya tancap saja pakai uang yang ada di tabungan. Jujur, saya lebih pasrah saat tes IELTS yang kedua ini, nggak terlalu menggebu-gebu seperti yang awal. Doa saya cuma satu, nilai nggak perlu setinggi langit yang penting setiap skor terpenuhi seperti persyaratan. Jadi, ikutlah saya tes yang kedua. Hasil IELTS yang kedua keluar lebih lama karena adanya libur Natal dan Tahun Baru. Jadi, estimasi saya mendapatkan skor IELTS kedua itu di bulan Januari. Sambil menunggu, saya mulai mempersiapkan kebutuhan untuk mendaftar tiga kampus yang ingin saya tuju.
Namun, jika sesuatu memang belum jadi rezeki kita, pasti adaaa aja hambatannya. Sebaliknya, kalau sesuatu sudah ditakdirkan jadi milik kita, pasti adaaa aja jalannya. Belum sampai hasil tes IELTS kedua saya keluar, saya mendapat surat cinta ini dari Chevening:
Nyesss banget nggak, sih, rasanya? :') Hahaha.
Nggak bisa dipungkiri, e-mail dari Chevening itu seketika bikin saya down. Rasanya semua yang lagi diperjuangin ini diminta buat 'berhenti' gitu aja. Sekitar satu bulan berikutnya, saya masih diselimuti perasaan sedih dan galau. Padahal, nilai IELTS saya yang kedua itu skornya memenuhi syarat, nggak ada yang kurang lagi. Teman-teman saya pun terus menyemangati, bahkan menganjurkan saya mendaftar beasiswa luar negeri lainnya yang memang lagi buka saat itu––Australian Awards, Fulbright, juga beasiswa ke Turki dan Brunei. Tapi, dalam satu bulan itu, saya memberi ruang bagi diri saya untuk berpikir kembali tentang rencana-rencana saya ke depannya.
Saya membaca ulang esai-esai yang saya tulis untuk Chevening. Pertanyaan-pertanyaan muncul di benak saya kala itu: Is it really something that I want to do in the future? If yes, can this plan only be realized by pursuing master degree abroad? Dalam masa-masa itu, saya banyak menghabiskan waktu untuk curhat sama Allah, dan tanpa sadar mengubah doa saya dari "Semoga saya bisa lolos Chevening dan kuliah di Inggris" menjadi "Semoga saya bisa menempuh pendidikan S2 di mana pun tempat yang Engkau kehendaki". Hasilnya? Saat itu, saya merasa jauh lebih tenang. Saya merasa bahwa akan ada hal baik yang datang pada saya, dan Allah pasti akan memberi saya jalan menuju ke sana.
Setelah berkontemplasi dan berdiskusi dengan banyak orang, akhirnya saya sadar bahwa nggak perlu S2 di luar negeri untuk bisa mencapai impian saya di masa depan. Saya mencari tahu lebih lanjut tentang S2 di dalam negeri beserta programnya, dan berpikir kalau sebenarnya mata kuliah di sini pun juga 'bergizi'. Yang saya suka dari pendidikan S2 di Inggris adalah waktunya yang singkat (1 tahun), kampus yang berakreditasi dunia, dan mata kuliah menarik yang beberapa belum ada di Indonesia. Contohnya, karena saya anak Komunikasi, ada mata kuliah Social Media Marketing and Analytics yang tampaknya belum ada di Indonesia. Tapi, setelah saya pikir-pikir, pelajaran tersebut sebenarnya masih bisa didapatkan melalui training dan sertifikasi. Ada pula hal-hal lain yang bikin mata saya terbuka kalau tetap ada jalan meski saya melanjutkan studi di sini.
Bisa dibilang, saya menyerah terlalu dini menjadi pejuang beasiswa luar negeri. Ini saya akui kepada diri sendiri. Ketika ada banyak teman saya yang hingga hari ini sudah dan masih berjuang lebih dari dua kali mendaftar beasiswa untuk bisa mencapai impian mereka bersekolah di negeri orang, saya justru memutuskan untuk mendaftar universitas dalam negeri, yaitu Universitas Indonesia, jurusan Manajemen Komunikasi. Kenapa saya nggak coba beasiswa lain di luar Chevening? Selain karena orang-orang terdekat saya yang sebenarnya cukup khawatir jika saya melanjutkan studi ke luar negeri selagi pandemi, saya juga punya rencana lain yang ingin dicapai dalam waktu dua hingga tiga tahun ke depan, yang mana hal ini nggak memungkinkan (atau cukup sulit dilakukan) jika saya bersekolah di luar negeri––dalam konteks ini, misal saya melanjutkan studi di Australia atau Amerika, mungkin saya akan selesai kuliah tahun 2024, sedangkan tampaknya itu terlalu lama untuk saya (dan orang-orang terdekat saya) menunggu. Jadi, saya pun sadar bukan hanya tentang diri saya dan keinginan saya yang harus diperjuangkan, tapi juga orang-orang di sekitar saya.
Bulan Maret 2021, saya mulai bangkit kembali. Saya mengikuti tes SIMAK UI yang saat itu masih berlangsung daring. Buat saya yang nggak terbiasa mengerjakan soal TPA, jujur soal SIMAK itu susah banget. Saya cuma sempat belajar dua minggu sebelumnya dengan buku-buku yang dulu saya pakai untuk mengikuti SBMPTN saat S1, untunglah bentuk soalnya kurang lebih sama. Di sisi lain, saya nggak berhenti minta bantuan sama Allah untuk diberikan yang terbaik. Saya baca percakapan orang-orang di Twitter, banyak juga dari mereka yang nggak lolos SIMAK UI Pascasarjana sebelumnya, di situ saya cukup ketar-ketir.
Dan, tanggal 23 April 2021, hari Jumat kedua di bulan Ramadhan, Alhamdulillah hasil yang baik datang kepada saya:
Nggak hanya itu, saya juga mendapat 'bonus' dengan bisa satu universitas dan satu fakultas lagi bersama pacar saya, yang sudah memulai studi magisternya tahun lalu. Saya juga mendapat kelas malam sehingga paginya saya tetap bisa bekerja. Plus, kampus saya letaknya di Salemba dan nggak jauh dari kantor. Berkah Allah mana lagi yang bisa saya dustakan? ;)
Jujur, saya menangis waktu lihat pengumuman ini. Seumur hidup, inilah ucapan ‘Selamat, Anda lolos!’ pertama yang saya dapatkan. Sejak dulu, setiap saya berjuang mengikuti seleksi apa pun (SBMPTN, CPNS, dan lainnya) selalu saja kata ‘Maaf’ yang datang kepada saya. Tapi, kali ini, akhirnya saya bisa bergumam “Oh, begini ya rasanya lolos di sekolah impian.” Apalagi, ketika melihat orangtua saya bahagia, rasa syukurnya nggak akan bisa terbayarkan. Walau sejauh ini, saya harus menguras tabungan untuk biaya kuliahnya (Pascasarjana UI mahal banget ya, ternyata...), tapi nggak apa-apa, saya percaya Allah pasti akan kasih saya jalan untuk bisa menyelesaikannya.
Untuk teman-teman yang mungkin lagi berproses atau juga pernah merasakan hal yang sama, menurut saya yang terpenting tetaplah optimis dan berprasangka baik pada Tuhan. Setiap kegagalan yang kita rasakan sering kali membawa kita pada sesuatu yang lebih baik. Mungkin nggak sekarang kita merasakan manfaatnya, tapi pasti akan ada saatnya kita menyadari hal itu. Selama proses ini, saya memang harus mengorbankan impian saya untuk bisa studi magister ke luar negeri, tapi di sisi lain saya juga menumbuhkan kembali mimpi-mimpi di lembar yang baru. Caranya boleh beda, yang penting tujuan utamanya tetap sama.
Percayalah, asalkan berusaha dan berdoa, kita semua pasti akan menemukan jalan. :)
Finally, a new journey in 2021 begins!