Berawal dari sebuah ide impulsif untuk 'kencan' di museum, akhirnya satu bulan yang lalu, saya bersama pacar saya mengunjungi Museum Joang 45 untuk pertama kalinya. Sebenarnya, ada beberapa museum yang ingin kami kunjungi hari itu, sayangnya banyak yang tutup saat akhir pekan karena pandemi. Museum Joang 45 adalah satu-satunya museum yang buka, itu pun hanya kami yang jadi pengunjungnya. Alasan kami memilih datang ke Museum Joang 45, selain karena lokasinya yang terjangkau, sebenarnya hari itu kami ingin menelusuri kembali jejak sejarah kemerdekaan Indonesia. Awalnya, kami ingin mengunjungi museum-museum sejarah kemerdekaan ini berdasarkan kronologi, berawal dari Museum Joang 45, Museum Proklamasi, kemudian menuju Tugu Proklamasi. Tapi, nggak apa-apa, kami tetap senang karena akhirnya bisa main ke museum ini.
Terletak di Menteng, Jakarta Pusat, Museum Joang 45 ini bisa dibilang tidak semegah museum kebanyakan di Jakarta (sebut saja: Museum Sejarah Jakarta atau Museum Nasional). Meski begitu, museum ini tetap menyimpan cerita yang menarik untuk dipelajari, bahkan beberapa di antaranya mungkin sudah terlupakan atau nggak diceritakan.
Begitu tiba di Museum Joang 45, kami diarahkan menuju loket. Untuk satu orang dewasa, tiket masuk dijual seharga Rp5.000. Namun, untuk membeli tiketnya, kita harus menggunakan Jakcard dari Bank DKI. Berhubung kami nggak punya Jakcard, akhirnya kami membelinya dengan harga Rp35.000 (terhitung saldo). Petugasnya bilang, Jakcard ini bisa dipakai untuk masuk museum lain di bawah pemerintah DKI Jakarta, jadi menurut saya kartu ini cukup bermanfaat ke depannya, karena kami masih punya daftar museum yang ingin kami kunjungi. Setelah membeli tiket, satpam melakukan pengecekan suhu dan pemberian hand sanitizer, barulah kami masuk ke museum.
Area dalam museum nggak terlalu besar, tapi cukup untuk berkeliling membaca satu demi satu papan informasi di sana. Kami disambut dengan poster besar berisi keterangan awal mula terbentuknya museum ini. Dulu, museum ini merupakan hotel bernama Schomper Hotel yang dikelola oleh warga negara Belanda, L.C Schomper. Namun, sejak tentara Jepang berhasil menduduki Indonesia, bangunan ini akhirnya 'direbut paksa' oleh Departemen Propaganda Jepang untuk dijadikan asrama dan tempat pendidikan politik pemuda Indonesia. Kemudian, nama bangunan ini diganti menjadi Menteng 31, merujuk dari alamatnya. Di gedung ini, pemuda-pemuda Indonesia pada masa itu berkumpul untuk belajar dan, tanpa sepengetahuan Jepang, berdiskusi untuk perencanaan kemerdekaan. Tokoh-tokoh yang terkenal 'suka nongkrong' di Menteng 31 ini adalah bagian dari golongan muda Indonesia, seperti Sukarni, Adam Malik, Chaerul Saleh, hingga A.M Hanafi. Museum ini juga menyajikan biografi masing-masing tokoh untuk dipelajari.
Beranjak ke ruangan selanjutnya, kami menemukan peninggalan-peninggalan sejarah milik Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Salah satu benda yang membuat saya terkesan adalah meja dan kursi kerja milik Moh. Hatta ini, saya membayangkan bagaimana dulu beliau duduk di kursi ini dan merumuskan strategi kemerdekaan Indonesia. Selain itu, ada juga peninggalan lainnya seperti lencana, mesin jahit, senjata tajam, hingga gramophone di bawah ini.
Sewaktu duduk di bangku sekolah, kita belajar kronologi perjuangan kemerdekaan Indonesia dalam mata pelajaran Sejarah. Namun, jujur saja, setelah waktu berlalu, kita mulai melupakan detail-detail dari perjalanan itu. Di Museum Joang 45 ini, kita seolah diajak menjejakkan kaki kembali pada masa-masa menuju persiapan kemerdekaan Indonesia, tepatnya bagaimana golongan muda ini bersikeras untuk merebut kemerdekaan hingga menculik Soekarno, Hatta, beserta Fatmawati ke Rengasdengklok. Museum ini juga memiliki diorama-diorama yang menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan, juga foto-foto yang diambil pada masa itu sehingga kita bisa merasakan emosinya.
Ada hal-hal kecil yang luput dari pengetahuan saya (atau mungkin saya sudah lupa) tentang perjuangan kemerdekaan, seperti misalnya bagaimana Jenderal Soedirman memimpin gerilya di atas tandu dalam keadaan sakit, menyusuri banyak titik di Pulau Jawa. Juga tentang Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) yang juga turun ke medang perang untuk membantu melawan penjajah, yang mana di antara mereka masihlah anak-anak, dalam rentang sekolah dasar hingga mahasiswa. Kami melihat baju salah satu tentara anak TRIP bernama Gombal, ukurannya kecil sekali. Kami menduga ia masih sekolah dasar. Bisa dibayangkan bagaimana dulu seluruh rakyat mengerahkan usaha untuk bisa mencapai kemerdekaan yang nyata.
Selain benda-benda peninggalan sejarah, Museum Joang 45 juga memiliki ruang audiovisual di mana kita bisa menonton dokumenter-dokumenter kemerdekaan. Selain itu, bagian yang terkenal adalah ruang pameran mobil Kepresidenan yang dulu digunakan oleh Soekarno-Hatta dalam bekerja (REP 1 & REP 2). Ada banyak sekali koleksi yang dimiliki museum ini, kami pun cukup 'kenyang' setelah menghabiskan waktu satu jam berkeliling area museum.
Dari segi fasilitas, Museum Joang 45 menyediakan toilet, masjid, perpustakaan, dan area parkir yang mumpuni. Jadi, kalau kamu sedang bosan pergi ke mal atau nongkrong di kafe, Museum Joang 45 tentu bisa menjadi pilihan untuk menghabiskan waktu bersama orang-orang terdekat. Selamat menelusuri jejak perjuangan kemerdekaan Indonesia!
Museum Joang '45
Jl. Menteng Raya No. 31
Kb. Sirih, Menteng
Jakarta Pusat, 10340