Menjadi Sarjana, Ketika Ekspektasi Tak Sejalan dengan Realita
Satu pertanyaan yang sering dilontarkan kepada para mahasiswa yang duduk di semester akhir perkuliahan adalah "kapan lulus?". Pertanyaan itu nggak jarang membuat para mahasiswa merasa tertekan, alhasil mereka mengerahkan usaha besar untuk segera mendapatkan gelar sarjana. Tapi, para mahasiswa ini mungkin nggak tahu, kalau setelah mereka resmi menerima ijazah dan diwisuda, mereka akan mendapat pertanyaan lain yang nggak kalah intimidatif yaitu "kapan dapet kerja?".
Siklus hidup memang seolah nggak ada habisnya. Kita sebagai bagian dari masyarakat nggak jarang dibanjiri dengan pertanyaan-pertanyaan yang seolah mendikte setiap hal dalam hidup kita. Misalnya, lulus tepat waktu, dapat kerja tepat waktu, menikah tepat waktu, dan punya anak tepat waktu. Bahkan, kalau bisa... meninggal tepat waktu?
Pertanyaan "kapan lulus?" pada akhirnya memotivasi mahasiswa untuk segera menyelesaikan pendidikan mereka. Pada tahap itu, mereka mungkin akan berpikir bahwa kehidupan setelah lulus akan menjadi lebih indah (dan mudah), karena mereka tak perlu lagi berurusan dengan tugas-tugas akademis yang nggak jarang membuat pusing. Belum lagi, mereka pasti sudah punya target untuk menjadi bagian dari perusahaan tertentu, punya penghasilan tetap, dan bisa lebih bebas mengambil pilihan––sudah lulus berarti sudah dewasa, katanya.
Hal yang mereka mungkin nggak pikirkan adalah apa mungkin kehidupan setelah lulus memang sesuai dengan ekspektasi mereka? Bagaimana kalau kenyataan yang ada justru berbanding terbalik?
Itulah yang terjadi kepada saya saat lulus kuliah tiga tahun lalu. Berbekal ijazah dan nilai semasa kuliah yang bisa dibilang "cukup memuaskan", saya dengan semangat menyebar lamaran kerja ke berbagai perusahaan. Tentu, saya juga memasukkannya ke perusahaan-perusahaan yang sudah saya dambakan sejak kuliah. Di situ, saya membayangkan betapa indahnya kalau setelah ini saya bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai minat dan bidang saya dan menjadi mandiri secara finansial.
Tapi, realitanya? Saya harus menganggur selama enam bulan lamanya. Seluruh lamaran yang saya sebar nggak ada yang membuahkan hasil. Lebih parahnya, nggak ada perusahaan yang memanggil saya satu pun! Selama kurun waktu enam bulan itu, saya menjadi tuna karya yang luntang-lantung mencari pekerjaan. Apalagi, banyak pekerjaan yang membutuhkan minimal dua tahun pengalaman, padahal saya masih lulusan baru yang pengalaman kerjanya mungkin hanya sebatas magang tiga bulan.
Nggak cuma itu, ternyata setelah kita lulus kuliah, masalah hidup pun semakin bertambah. Keluarga banyak menuntut saya menjadi yang terbaik, teman-teman saya mulai pergi satu persatu, dan saya mulai sering menyalahkan diri sendiri. Saya merasa gagal dan tertinggal. Buat saya, usaha belajar selama kuliah bisa dibilang sia-sia. Saya memang nggak berhenti menyebar lamaran, tapi sesungguhnya pertanyaan besar justru muncul di benak saja "Memangnya apa yang saya mau?"
Setelah saya sharing dengan banyak kawan seusia saya, rata-rata mereka juga merasakan hal yang sama, yaitu galau setelah lulus kuliah. Mereka merasa kehilangan arah, nggak berguna, bahkan membenci diri mereka sendiri. Setelah saya telusuri, ternyata kondisi yang kita alami ini disebut sindrom "graduate blues". Menurut survei dari City Mental Health Alliance, Inggris, yang disadur dari Cosmopolitan, ada sekitar 49% dari 300 lulusan baru di Inggris yang mengalami sindrom ini. Di Indonesia, saya belum menemukan datanya, tapi saya yakin jumlahnya pun nggak sedikit. Sayangnya, masih jarang sekali dari kita yang menyuarakan kondisi ini. Kita seolah-olah diminta untuk memakluminya sebagai bagian dari pendewasaan.
Baca juga About Finding Job and Its Struggle
Jadi, ketika editor saya meminta saya untuk menulis tentang pengalaman pascalulus kuliah, saya langsung menyetujuinya! Buat saya, ini bisa jadi kesempatan yang tepat untuk menyuarakan kegundahan para lulusan baru. Setelah melakukan riset dan menulis selama dua tahun, akhirnya novel keempat saya yang berjudul "Fresh Grad" akan segera diterbitkan!
Novel ini bercerita tentang lulusan baru bernama Sofia yang harus menghadapi kenyataan bahwa realita setelah lulus justru membuat hidupnya jungkir balik. Ia harus berjuang mendapatkan pekerjaan, menguatkan mental dari tekanan-tekanan di lingkungan sekitar, sampai mempertanyakan arah hidupnya. Belum lagi, Sofia juga menghadapi konflik dengan keluarganya, sahabat-sahabatnya, bahkan dirinya sendiri. Lalu, bagaimana cara dia berdamai dengan semua situasi yang menimpanya?
Melalui novel ini, saya sangat berharap teman-teman pembaca bisa menyalurkan kegundahannya. Semoga "Fresh Grad" juga bisa menyuarakan realita hidup para lulusan baru dan membuat kita lebih semangat menjalani proses menjadi dewasa. Jangan pernah menyerah untuk mencoba, karena saya yakin setiap jalan yang kita ambil akan membawa kita kepada diri yang lebih baik lagi. Mungkin jalan itu memang nggak mulus, tapi bukan berarti nggak bisa membawa kita sampai ke tujuan.
Dan ingatlah satu hal: kita nggak akan pernah sendirian.
0 komentar