Dari banyak tulisan saya di blog ini, saya sering nulis kalau Tuhan punya rencana yang terbaik. Ini sudah saya alami berkali-kali gimana kegagalan yang saya rasakan justru membawa saya ke tempat yang jauh lebih tepat, dengan rasa bahagia dan puas yang sama sesuai harapan. Mengambil keputusan untuk berhenti kejar ambisi kuliah di luar negeri dan daftar S2 di UI adalah salah satu hal yang saya syukuri di 2021. Meski standarnya nggak sama, saya bersyukur karena nggak menunda niat lanjut kuliah ini terlalu lama, sebelum semangatnya hilang dan banyak hal lain yang harus dikerjain. Sejak itu, saya berpikir, rezeki kuliah di luar negeri mungkin bukan untuk semua orang, tapi paling nggak saya dapetin sesuai apa yang saya butuhkan di UI. Saya suka seluruh materi yang diajarin, yang bisa bikin saya berpikir lebih dalam dan kritis lagi. Dosen-dosennya juga cerdas dan asyik diajak diskusi. Selain itu, saya juga ketemu banyak orang hebat, seperti teman-teman saya, dengan keahlian di bidang mereka yang ternyata membuka pintu-pintu rezeki lain dalam hidup saya. Harapan saya untuk bisa menempuh studi kurang lebih satu tahun pun Alhamdulillah juga bisa dicapai di UI. Memang, kehidupan kuliah di luar negeri bisa jadi lebih seru dan menyenangkan daripada ini, tapi dengan ini aja saya sudah sangat merasa cukup.
Beberapa waktu terakhir, saya sering dengar julukan yang, entah itu serius, bercanda, atau sarkas, disampaikan oleh orang-orang di sekitar saya: Laili si rajin. Salah satunya karena saya lulus S2 dalam waktu 1,5 tahun. Alih-alih bangga atau tersanjung, julukan itu justru bikin saya sedih sendiri, hehehe. Ada satu teman waktu S1 bilang, "Laili, lo itu nggak pinter, tapi akademis lo kebantu karena lo rajin" dan ucapannya membekas di kepala saya sampai hari ini. Bahkan di salah satu forum seminar waktu saya jadi pembicara, tandem pembicara saya juga bilang "Wow, you're truly an ambitious person!".
Yang mungkin mereka lihat adalah diri Laili yang ambisius dan pengin mencapai banyak hal, tapi yang mereka nggak tahu adalah rajin itu sebenarnya bukan sesuatu yang datang begitu aja, melainkan hasil konstruksi.
Terlepas candaan tentang zodiak saya sebagai Virgo yang terkenal rapi dan suka bersih-bersih, sebenarnya sifat rajin itu datang dari hasil didikan orangtua saya semasa kecil. Saya nggak terlahir jadi rajin, tetapi orangtua saya sedikit "menuntut" saya untuk menjadi lebih rajin daripada anak-anak lainnya. Orangtua saya cukup keras mendidik saya, terutama dalam hal pendidikan. Nama saya hampir selalu ada di peringkat tiga besar dari SD sampai SMA. Saya bilang hampir, karena ada kalanya waktu nilai saya turun dan peringkat saya jatuh ke lima atau sepuluh besar, saya pasti dimarahi. Orangtua saya menunjukkan kekecewaan mereka tiap kali saya nggak berhasil melakukan yang terbaik. Jadi, kekecewaan mereka selalu jadi "hukuman" buat saya tiap kali saya merasa performa saya menurun.
Saat kecil, saya nggak pernah memberontak. Namun, semakin dewasa, saya mulai sadar kalau tuntutan ini membebani saya. Nggak satu atau dua kali saya akhirnya bertengkar dengan orangtua saya karena hal ini. Sampai akhirnya, Kakak saya bilang sesuatu yang bikin saya mencelus: Belum tentu lo akan sampai di titik lo sekarang tanpa didikan Ayah-Ibu yang kayak gitu.
Akhirnya, saya coba merenung dengan kepala dingin, kemudian menyadari sesuatu, kalau di balik didikan orangtua saya yang keras tentang pendidikan, sebenarnya ada satu hal yang mereka pengin bisa saya rasakan: kehidupan yang lebih baik.
Baca juga Rencana Tuhan di Balik Doa-Doa Kita
Buat sebagian orang, hidup bisa berubah dengan punya uang dan kekayaan. Tapi buat keluarga saya, hidup akan berubah dimulai dengan pendidikan. Terlepas kekesalan yang pernah saya rasain, semua ini akhirnya terbukti dan jadi logis sekarang, gimana pendidikan membawa saya ke kehidupan yang lebih baik. Ditambah lagi, orangtua saya selalu mendukung saya untuk tumbuh dalam bidang apa pun: jadi penulis novel, jalanin agensi kreatif kecil-kecilan, bikin usaha pastry... mereka nggak pernah halangin saya. Dan lewat pendidikan itu juga, saya bisa rasain pengalaman-pengalaman unik untuk dijadiin pelajaran. Saya juga merasa kemampuan saya bisa lebih diandalkan soal belajar. Mungkin, kalau waktu itu saya nggak serius soal pendidikan, saya nggak bisa rasain semua ini.
Tapi kenapa dituntut untuk rajin? Saya pernah nulis bagian tentang ini di novel keempat saya, Fresh Grad, yang kurang lebih tokohnya merepresentasikan kehidupan saya. It's because I wasn't born as a person with privileges. Di dunia seperti sekarang di mana uang dan koneksi jadi salah satu faktor yang memperlancar segala tujuan, dua hal itu yang saya nggak punya. Kami memang hidup berkecukupan selama ini, nggak pernah merasa kurang, bahkan kadang bisa menikmati fasilitas lebih. Tapi, untuk bisa jadi lebih baik dari kondisi yang sekarang, saya harus bekerja lebih keras. Untuk bisa bangun koneksi dengan orang-orang hebat, saya harus bergaul lebih banyak. Alhasil, menjadi rajin membantu saya buat lakuin segala yang "lebih" itu dengan semangat.
Rajin atau nggak itu pilihan, menurut saya. Bisa aja saya milih untuk jadi nggak rajin, tapi mungkin nggak akan mendapati kehidupan seperti saat ini. Paling nggak, saya jadi punya modal untuk lebih mandiri dan nggak bergantung sama orang lain. Bukan berarti juga saya selalu rajin, ada kalanya saya malas dan maunya rebahan aja. Tapi, memang kadang, beberapa hal harus diusahain dengan lebih keras daripada hal lainnya. Ditambah lagi, kalau kita terlahir sebagai sandwich generation.
Selama masih mampu, mungkin saya masih akan jadi "Laili si rajin". Entah sampai kapan. Intinya, selagi bisa usahain yang terbaik, saya akan melakukannya semaksimal mungkin––walau sambil nangis dikit.
Bekasi,
22 Desember 2022
Kado terindah sebagai penutup tahun: Laili Muttamimah, M.Si!